Keberhasilan Kediri Yang Di Warisi Majapahit Dalam Menekan Habis Radikalisasi Agama

Apakah Kerajaan MAJAPAHIT itu berplatform ke-Agama-an ? Dan agama apa yang berlaku sebagai agama Pemerintahan ? Sebuah tindakan yang cukup ...

Apakah Kerajaan MAJAPAHIT itu berplatform ke-Agama-an ? Dan agama apa yang berlaku sebagai agama Pemerintahan ?
Sebuah tindakan yang cukup berani dan revolusioner,melebur tiga agama terbesar saat itu (kejawen,hindu,budha) Menjadi Satu keyakinan SYIWA-BUDHA


Wawancara dengan salah satu rekan wartawan bidang budaya dengan tema peran agama didalam pemerintahan Kerajaan MAJAPAHIT di masa lampau. Hal ini dilatar belakangi dengan semakin maraknya isue SARA dan RADIKALISME yang menghantam lini politik dan pemerintahan di negara kita : INDONESIA.

Rekan Wartawan : Mas Deddy, sebagai salah satu pemerhati budaya dan sejarah yang intens mempelajari kerajaan Majapahit, saya ingin mendapatkan informasi apakah di era Majapahit dahulu juga mengalami Radikalisme keagamaan ? dan apakah kerajaan berplatform pada salah satu agama yang ada. Dan maaf sebelumnya, kami masyarakat awam ini kadang bingung juga dengan klaim beberapa orang yang mengatakan : Majapahit itu kerajaan Hindu, ada yang bilang Budha, ada juga yang mengatakan Syiwa-Budha, bahkan yang terakhir ini ada pula ilmuwan bilang Majapahit itu Kesultanan Islam, mana yang benar ?.

Saya : Waduh pertanyaan dirangkap-rangkap dan kelas berat semua ini. Tapi saya akan coba jawab seobyektif mungkin berdasarkan pemahaman saya ketika mempelajari kesejarahan Majapahit. Sebelumnya kita harus pahami terlebih dahulu konteks Radikal yang berlaku umum, bahwa radikalisme adalah suatu pemikiran dan perbuatan yang dilakukan seseorang demi membela suatu pemahaman yang diyakininya secara ekstrem berlebihan. Khusus bahasan kita adalah Radikalisme Keagamaan, berarti pemahaman tersebut dilakukan seseorang guna membela agamanya dengan anggapan paling benar dan paling layak untuk jadi panutan bagi orang lain disekelilingnya dan menganggap pemahaman pihak lain adalah keliru serta harus menurut kepada apa yang diyakininya.
Untuk diketahui, bahwa radikalisme keagamaan ini bisa menimpa semua umat agama apapun dan sejarah mencatat itu sebagai tinta kelam sejarah. Misal : yang dilakukan radikalisme Islam di Afghanistan dan Suriah, radikalisme Budha di Myanmar, radikalisme Hindu di India, radikalisme Nasrani di Africa dan Eropa, radikalisme Jehovah di Israel dan banyak lagi. Jadi bukan hanya satu agama saja yang dijangkiti oleh radikalisme, tetapi semua agama pernah menjadi korban dari radikalisme.

Khusus untuk kasus di Majapahit, Jawaban saya “Iya, Majapahit pernah mengalami radikalisme keagamaan tetapi berhasil keluar dari permasalahan dengan elegant”.
Kita harus mundur beberapa dinasti kerajaan sebelum Majapahit guna melihat friksi keagamaan yang terjadi era itu. Kita mulai saja dari era Mpu Sindhok atau dikenal sebagai dinasti Isyana yang bertahta atas kerajaan bernama Medang Kadiri. Beliau pulang mudik ketanah kelahirannya diseputaran gunung Wilis akibat pertikaian politik bernuansa agama yang terjadi pada dinasti Mataram Kuno di Jawa Tengah. Ternyata hal tersebut belum menyelesaikan pertikaian, bahkan terjadi serbuan besar oleh kerajaan Sriwijaya dibantu vasalnya menggempur kekuatan Mpu Sindhok. Kejadian itu tersebut terekam jelas pada prasasti “Anjuk Ladang” (Nganjuk) dan merupakan hegemoni kekuatan Hindu dan Budha yang diwarisi dari Mataram Kuno yang merembet ke Jawa Timur.



Berikutnya masih juga terjadi letupan pertikaian bernuansa radikalisme keagamaan hingga berdirinya kerajaan baru bernama Kahuripan.
Sri Airlangga sebagai raja Kahuripan berupaya meredam pertikaian tersebut dengan mengawini dua putri dari Hindu Kejawen (Dhaha) dan Budha (Jenggala) pada masa pemerintahannya. Sesaat persoalan bisa selesai, akan tetapi kembali tersulut ketika sang raja mengundurkan diri dan putra-putranya berebut tahta. Kembali latar belakangnya adalah radikalisme keagamaan, bahkan harus berakhir tragis karena kerajaan harus dibelah dua dan putra-putra Airlangga dikembalikan pada dinasti kakeknya di Dhaha dan Jenggala.
Apakah selesai masalahnya ? Tidak, perebutan pengaruh terjadi dalam masa yang panjang dan menelan korban darah dari kerabat sendiri. Pertikaian bahkan berkembang menjadi segitiga antara : Kejawen – Hindu – Budha. Dilain sisi peristiwa yang memedihkan ini menimbulkan rasa ingin bersatunya kembali darah yang terbelah oleh radikalisme, dan itu terekam dalam karya sastra “Panji Semirang” dan “Panji Asmarabangun” yang mengisahkan keinginan bersatu kembali dua dinasti lewat perkawinan suci trah Dhaha dan Jenggala.
Hingga suatu saat pada dinasti Dhaha-Panjalu, dimana sang penguasa berupaya melepaskan diri dari pertikaian berkepanjangan itu. Dimana pemerintahannya tidak mau dikuasai oleh salah satu agama yang ada dan malah mendeklarasikan dirinya adalah penganut agama baru yang bernama : Syiwa-Budha. Tujuannya jelas adalah melakukan blokade keinginan kaum radikal agama bisa masuk kedalam sistem pemerintahan, agama Syiwa-Budha sendiri tidak ada referensinya di negara asal agama Hindu atau Budha di India, karena merupakan pencampuran dari paham Kejawen, Hindu sekaligus Budha. Maka sejak saat itu redalah upaya radikalisme yang hendak mengambil posisi di pusat pemerintahan.

Kejadian tersebut diatas ternyata diambil sebagai inspirasi oleh satu dinasti kerajaan dibawahnya Singhasari dan terakhir malah diwariskan kepada Majapahit sebagai penerus dinasti Rajasa penguasa kerajaan Singhasari. Apa yang dilakukan Dhaha-Panjalu – Singhasari dan Majapahit saya anggap sebagai langkah sangat berani demi kepentingan perdamaian dan pemerintahan yang berwibawa, bagaimana tidak … dalam urusan kehidupan keseharian diterapkan ajaran Kejawen, dalam pemerintahan diterapkan ajaran Hindu dan ketika membahas spiritual berperilaku ajaran Budha. Ini dapat dijejaki dari artefak arca maupun candi pendharmaan dari 3 dinasti tersebut, semuanya mengandung 3 elemen ajaran yang dilebur. .Misalkan arca, perhatikan dengan seksama artefak arca Dhaha-Panjalu – Singhasari – Majapahit : pasti mempunyai langgam Kejawen, atribut pendewaan Hindu tapi berwajah dan telinga khas Budha.
Apakah setelah itu Majapahit lepas dari goyangan radikalisme ?, TIDAK … setelah runtuhnya Singhasari terjadi pelonggaran pertahanan sehingga masuklah imigran asing kedalam wilayah ibukota kerajaan yang dahulu tidak pernah terjadi. Maka kasus Radikalisme dengan masuknya agama baru muncul kembali ditambah bonus SARA lintas etnis. Klaim agama raja adalah Syiwa-Budha tidak lagi bisa menjawab permasalahan yang ada, karenanya dibutuhkan solusi baru guna mengatasi kasus tersebut. Penyelesaian tidak bisa lagi dilakukan parsial tetapi harus terintegrasi dalam sistem ketatanegaraan yang ada dengan cara melibatkan langsung para pihak bertikai dalam memutuskan kebijakan negara dengan berpayung kepada hukum negara yang kaku, adil dan tegas bagi semua golongan.
Penguasa Majapahit merasa tidak bisa mempunyai sudut pandang obyektif sepihak, maka diangkatlah para penegak hukum dari golongan agama itu sendiri guna menyelesaikan permasalahan diantara umatnya (pengadilan agama). Hal yang sama juga berlaku di lingkungan adat-istiadat (pengadilan adat), terkecuali bila pelaku sengketa adalah lintas agama dan adat maka negara / kerajaan akan mengambil alih sebagai hakimnya. Maka di Majapahit berlaku 3 jenjang pengadilan yang saling mengisi dan saling menghormati : Pengadilan Kerajaan (bersifat kaku, adil dan tegas) – Pengadilan Agama (bersifat moderat ) – Pengadilan Adat (bersifat luwes). Pengadilan adat dipimpin oleh Uppapati dan Kejawen dipimpin oleh pejabat bergelar Dharmadhyaksa Karesyan; Pengadilan agama Budha oleh Dharmadhyaksa Kasogatan; Pengadilan agama Hindu oleh Dhardhyaksa Kasaiwan. Sedangkan pengadilan kerajaan yang disebut Amawabhumi adalah gabungan dari semua tersebut ditambah raja. Dalam lini pengadilan agama digunakan kitab agama yang bersangkutan sebagai tolok ukur perbuatan, pada adat adalah awig-awig wilayah adat sedang negara menggunakan panduan kitab : Kutara-Manawa Dharmasastra.
Seiring era di masa Rani ke-7 Wilwatikta : Sri Prabhu Stri Suhita, menambah lagi elemen keagamaan Islam dengan menambah Mufti Agung yang dijabat pertama kali oleh Sayyid Jumadil Qubro. Di lain sisi juga dilakukan upaya pencegahan dengan clustering wilayah hunian keagamaan. Desa Bejijong adalah wilayah Budha; desa Watesumpak adalah wilayah Hindu; Mojoagung adalah wilayah Kejawen; untuk Muslim karena saat itu masih minoritas dilindungi didalam benteng kraton di wilayah Sentonorejo. Sedang agama lain yang baru dikenal (dibawa oleh imigran) ditampung di wilayah Mojowarno. Harapannya dengan clustering terjadi homogen keyakinan masyarakat menghindari pergesekan yang mungkin terjadi. Negara juga secara tegas mengajarkan toleransi beragama dengan cara memerintahkan cluster agama lain untuk membantu tenaga dan materi apabila ada cluster agama tertentu melaksanakan hari raya keagamaannya, Dengan pola gotong-royong kekeluargaan semacam itu dapat dipupus habis radikalisme dan SARA oleh sikap tegas negara dalam mengayomi rakyatnya secara adil.


Bagaimana bila kita bandingkan dengan negara kita saat ini ? … ya kuncinya sebenarnya adalah sama saja, bila saja negara bersikap tegas, adil dalam penegakan hukum negara, saya pikir radikalisme dan SARA tidak akan pernah muncul. Sebab yang menjadi jalan lahirnya radikalisme / SARA yaitu ketidak adilan, hukum yang timpang dan bisa dibeli atau lainnya bisa dicegah. KUNCINYA NEGARA HADIR PADA PORSINYA MEMBERI PENGAYOMAN DAN KEADILAN TANPA PILIH KASIH.
Jadi saya simpulkan bahwa di Majapahit yang jadi sandaran itu adalah HUKUM (baik adat, agama dan kerajaan), bukannya keagamaan. Memelihara kondisi dengan KEADILAN, TOLERANSI dan GOTONG ROYONG. Kalau ada yang mengklaim Majapahit adalah Kesultanan Islam atau Kerajaan Hindu-Budha, suruh saja yang bersangkutan belajar lagi membaca sejarah Majapahit secara obyektif (pelajari semua elemen agama adalah unsur pembangun kekuatan Majapahit). Jangan malah melahirkan sentimen baru pembakar Radikalisme dan SARA, apa nggak malu dengan leluhur kita …
Saya pikir begitu dahulu ya mas jawaban dari saya, semoga bermanfaat …/PG
Name

artikel,23,berita,45,budaya,12,Cermin,1,dharma,1,fiksi-file,7,filsafat,6,ghaib,2,ilmu,1,inspiratif,11,internasional,11,iptek,5,islami,31,kaweruh,6,kejawen,5,kesehatan,7,kisah,6,militer,9,mistik,6,nasional,1,nusantara,2,olahraga,1,opini,1,politik,3,psikologi,1,sejarah,21,selebriti,3,seni,3,spiritual,31,supernatural,2,tasawuf,4,Tausiah,6,tips,8,Unik,5,wanita,4,
ltr
item
SWARA NUSANTARA: Keberhasilan Kediri Yang Di Warisi Majapahit Dalam Menekan Habis Radikalisasi Agama
Keberhasilan Kediri Yang Di Warisi Majapahit Dalam Menekan Habis Radikalisasi Agama
http://patriotgaruda.com/wp-content/uploads/2016/07/deddy53-224x300.jpg
SWARA NUSANTARA
https://suwarnews.blogspot.com/2017/09/keberhasilan-kediri-yang-di-warisi.html
https://suwarnews.blogspot.com/
http://suwarnews.blogspot.com/
http://suwarnews.blogspot.com/2017/09/keberhasilan-kediri-yang-di-warisi.html
true
3038772048707643647
UTF-8
Loaded All Posts Not found any posts LIHAT SEMUA Readmore Reply Cancel reply Delete By Home PAGES POSTS View All RECOMMENDED FOR YOU LABEL ARCHIVE SEARCH ALL POSTS Not found any post match with your request Back Home Sunday Monday Tuesday Wednesday Thursday Friday Saturday Sun Mon Tue Wed Thu Fri Sat January February March April May June July August September October November December Jan Feb Mar Apr May Jun Jul Aug Sep Oct Nov Dec just now 1 minute ago $$1$$ minutes ago 1 hour ago $$1$$ hours ago Yesterday $$1$$ days ago $$1$$ weeks ago more than 5 weeks ago Followers Follow THIS CONTENT IS PREMIUM Please share to unlock Copy All Code Select All Code All codes were copied to your clipboard Can not copy the codes / texts, please press [CTRL]+[C] (or CMD+C with Mac) to copy