Jakarta - Konflik kepentingan di Laut Cina Selatan antara Cina dan Filipina semakin memanas, terutama setelah Pengadilan Tetap Arbitrase...
Jakarta - Konflik kepentingan di Laut Cina Selatan antara Cina dan Filipina semakin memanas, terutama setelah Pengadilan Tetap Arbitrase yang berpusat di Den Haag, Belanda, pada 12 Juli 2016. Pengadilan memutuskan bahwa klaim sejarah Beijing atas perairan tersebut tidak memiliki dasar hukum.
Cina langsung menolak keputusan yang diajukan Filipina sejak 2013 dan menegaskan akan menjaga kedaulatannya dengan cara apapun. Beberapa hari berselang, Cina lantas memberikan pernyataan akan segera membangun pertahanan udara di wilayah perairan strategis di mana lebih dari US$ 5 triliun nilai perdagangan bergerak setiap tahunnya.
Selain itu, pada Senin, 18 Juli 2016, pemerintah Cina mengatakan akan menutup Laut Cina Selatan untuk mengadakan latihan militer dan simulasi nyata keadaan perang. Komandan Tentara Pembebasan Rakyat Cina (PLA), Wu Shengli mengatakan bahwa mereka tetap akan melanjutkan pembangunan di Laut Cina Selatan dan mengklaim tindakan itu sah dan legal.
Pergesekan tidak hanya terjadi di kalangan pejabat tinggi kedua negara, namun menjangkit ke kalangan rakyatnya. Warga Cina mengkampanyekan pemboikotan produk Filipina dan Amerika Serikat yang dianggap berada di belakangnya. Begitupun masyarakat Filipina.
Cina langsung menolak keputusan yang diajukan Filipina sejak 2013 dan menegaskan akan menjaga kedaulatannya dengan cara apapun. Beberapa hari berselang, Cina lantas memberikan pernyataan akan segera membangun pertahanan udara di wilayah perairan strategis di mana lebih dari US$ 5 triliun nilai perdagangan bergerak setiap tahunnya.
Selain itu, pada Senin, 18 Juli 2016, pemerintah Cina mengatakan akan menutup Laut Cina Selatan untuk mengadakan latihan militer dan simulasi nyata keadaan perang. Komandan Tentara Pembebasan Rakyat Cina (PLA), Wu Shengli mengatakan bahwa mereka tetap akan melanjutkan pembangunan di Laut Cina Selatan dan mengklaim tindakan itu sah dan legal.
Pergesekan tidak hanya terjadi di kalangan pejabat tinggi kedua negara, namun menjangkit ke kalangan rakyatnya. Warga Cina mengkampanyekan pemboikotan produk Filipina dan Amerika Serikat yang dianggap berada di belakangnya. Begitupun masyarakat Filipina.
Kondisi pun semakin memanas, Menteri Luar Negeri Filipina, Perfecto Yasay, pada Selasa kemarin menolak proposal mitranya dari Cina untuk memulai pembicaraan bilateral tentang sengketa di Laut Cina Selatan. Buntutnya, Menteri Luar Negeri Cina mengatakan bisa terjadi konfrontasi jika tidak ada negosiasi.
Ketegangan antar dua negara tersebut diperparah dengan keterlibatan Amerika Serikat. Amerika dilaporkan telah mengirim dua kapal induknya mendekati area yang disengketakan. AS dan Filipina selama ini sering mengadakan latihan militer bersama. Filipina juga mendapatkan sumbangan beberapa armada militer dari Amerika.
Sementara itu, Indonesia juga kini tengah waspada karena disebut memiliki dampak dari perseteruan tersebut. Beberapa waktu lalu Indonesia sempat bersitegang dengan Cina terkait wilayah Natuna. Cina mengklaim Natuna sebagai bagian dari wilayahnya dengan berdasarkan pada tradisi nelayannya menangkap ikan di wilayah tersebut.
Beberapa kapal nelayan Cina pun telah ditahan yang kemudian mengundang kemarahan pengambil kebijakan Cina. Setelah mendapat protes dari Cina, presiden Joko Widodo menggelar rapat tertutp dengan sejumlah lembaga negara untuk membahas kemanan di Natuna.
Jokowi kemudian meminta agar pengembangan ekonomi di wilayah Kepulauan Natuna dan sekitarnya dipercepat. Langkah itu merupakan salah satu bagian dari penegasan bahwa Indonesia akan menegakkan kedaulatan di Natuna.
m.tempo.co