Mengenai pengunaan kata "Allâh" ini dari sudut bahasa. Kalimat "Allâh" berasal dari dua kata: al, dan ilâh. Al adal...
Mengenai pengunaan kata "Allâh" ini dari sudut bahasa. Kalimat "Allâh" berasal dari dua kata: al, dan ilâh.
Al adalah kata sandang (banding bahasa Inggeris; the), dan ilâh berarti: “yang kuat”, dewa, dll.
Dalam bahasa-bahasa Semitik, kata ini menunjuk pada kuasa yang ada di luar jangkauan manusia, yaitu pada dewa atau tuhan.
Kata / Kalimat Allah tsb adalah telah dikenal semenjak jaman Nabi adam n penggunaanya terus menyebar kepenjuru bumi dan masuk kedalam peradaban manusia dan termasuk dalam kehidupan bangsa Arab.
Sudah di zaman pra-Islam, al-ilâh telah disambung menjadi Allâh.
Dan dalam AlQuran dijelaskan "La Ilaha Illallah" Tiada “ilah” / tiada Tuhan selain Allah. Yang berarti Tuhan Yang Maha Esa (Tuhan pencipta Alam semesta)
Dan penggunakan Kata / kalimat “Allah” ini digunakan oleh kalangan Nabi- nabi Allah dan para pengikutnya yg mengajarkan kalimat Tauhid ( Keesaan Tuhan) kalimat tsb digunakan.
Adapun para penyembah berhala ga menggunakan kata “Allah” untuk menyebut tuahan / “ilah” mereka.
Dalam literatur sejarah bangsa Arab ga pernah ada yg mengatakan; Allah Lata , Allah Uza, dll dengan kata lain ga ada embel –embel kata “Allah” didepan Nama-nama Tuhan penyembah berhala.
Dengan kata lain, penyembah berhala langsung menyebut nama – nama tuhan mereka seperti ; Latta, Uzza, dkk.
Menanggapi tuduhan segelintir umat Kristen yg menuduh jika Allah adalah Nama Tuhan penyembah berhala adalah sebuah pernyataan adalah sangat lucu sekali. Sebetulnya Umat Kristen serbasalah mengajukan pertanyaan seperti ini.
Karna, bukankah dalam Injil sendiri dikatakan jika Tuhan mereka juga adalah Allah ???
Jikalau mereka mengangap Allah adalah Berhala / Tuhan penyembah berhala, lalu apakah mereka sendiri tidak menuhankan Allah?
Yang juga berarti selama ini mereka telah salah karena sama – sama menyembah berhala selama ratusan tahun dan itu juga menandakan jika Injil mereka adalah palsu karna dalam injil mereka juga menuhankan Allah.
Namun pada umumnya yg getol sekali menanyakan hal demikian adalah dari kalangan Umat Kristen minoritas yaitu Sekte YHWH / saksi YHWH. Dari merekalah propaganda – propaganda jika Allah adalah Tuhan Penyembah berhala itu muncul.
Mereka getol sekali mengeluarkan propaganda – propaganda demikian dan mereka juga berusaha untuk mengganti kata / kalimat Allah dalam Injil mereka dengan nama Tuhan mereka yaitu “YHWH”
Akan tetapi sesungguhnya mereka juga tidak menyadari karna bukti – bukti ataupun dari temuan- temuan dari Para Ahli arkeolog menunjukan jika nama YHWH adalah sesungguhnya berasal dari ajaran penyembah Dewa Bulan.
"MENAGGAPI HUJATAN KEPADA ALLAH"
(Makna kata Allah)
Menurut orang-orang “Kristen Radikal” informasi dari Robert morrey sangatlah bermanfaat untuk menyerang “ketuhanan islam”,seperti mendapatkan sebuah amunisi.
tetapi orang-orang yang begitu bersemangat untuk memberikan tuduhan seperti itu tidak berfikir panjang,bahwa faktanya didalam Al kitab banyak sekali menggunakan “istilah Allah”
maka ada sebagian orang-orang Kristen yang meyakini bahwa nama Allah sebagai nama “dewa bulan” , dan melihat realita didalam al kitab menggunakan istilah Allah maka mereka melakukan perubahan / penggantian nama Allah diganti dengan nama YHWH.
maka persoalan ini saya akan menyampaikan pandangan/tanggapan / penjelasan nama Allah dari berbagai sudut “Intelektual” baik yang masih Kristen ataupun dari Intelektual Islam.
pertama dari orang Kristen:
Banyak pertanyaan diajukan mengenai ‘Apakah Allah Islam sama dengan Allah Kristen?’ dan argumentasi yang banyak dikemukakan adalah bahwa ‘Allah Islam tidak sama dengan Allah Kristen’ alasannya ‘Karena ajaran keduanya berbeda!’. Pandangan ini tercermin dalam buku Dr. Robert Morey yang beredar bahkan dianut belakangan ini di kalangan tertentu di Indonesia:
“Islam claims that Allah is the same God who was revealed in the Bible. This logically implies in the positive sense that the concept of God set forth in the Quran will correspond in all points to the concept of God found in the Bible. This also implies in the negative sense that if the Bible and the Quran have differing views of God, then Islam’s claim is false.” (Islamic Invasion, Harvest House Publishers, 1992, h.57).
Definisi Morley ini memiliki kelemahan dasar berfikir yang fatal yang menganggap masalah-masalah teologi (ilmu sosial) bersifat eksakta dan mencampur adukkan pengertian soal ‘identitas’ dan ‘opini’ (meta basis). Dari dasar berfikir atau asumsi ini, maka dihasilkan kesimpulan bahwa (1) Bila Allah Islam adalah Tuhan Kristen, maka secara positif konsep keduanya mengenai Tuhan harusnya sama dalam setiap butirnya, sebaliknya secara negatif disebut bahwa (2) Bila Al-Quran dan Alkitab memiliki pandangan berbeda mengenai Tuhan, maka klaim Islam adalah salah.
Pandangan yang terlalu sederhana ini dengan mudah bisa digugurkan bila kita mengambil contoh soal ‘Suharto’ mantan presiden ORBA. Menurut definisi Morley, bila Suharto yang dimaksudkan oleh para pengikut ORBA sama dengan Suharto yang di demo mahasiswa, maka konsep keduanya mengenai Suharto akan sama dalam setiap butirnya. Faktanya sekalipun Suhartonya sama konsep keduanya berbeda. Bagi para pengikut ORBA, Suharto adalah bapak pembangunan yang membawa kesejahteraan dan mendatangkan kesatuan dan keamanan regional, padahal Suharto yang sama itu oleh para mahasiswa dianggap sebagai bapak pembangkrutan yang membawa kemiskinan karena KKN dan tiran yang membawa bangsa Indonesia kepada disintegrasi bangsa.
Mengapa berbeda? Dan kalau berbeda apakah klaim mahasiswa mengenai Suharto salah? Di sini kita berhubungan dengan dua soal yang tidak bisa dicampur adukkan satu dengan lainnya, yaitu bahwa Suharto sebagai pribadi (oknum) dengan namanya dan konsep orang (ajaran atau aqidah) mengenai oknum yang sama itu.
Soal yang sama terjadi dalam hubungan dengan pertanyaan mengenai apakah ‘Allah Islam sama dengan Tuhan Kristen?’. Jawabannya perlu kita lihat dari Kitab Suci Islam (Al-Quran) maupun Kristen (Al-Kitab), dan juga sejarah bangsa dan bahasa Semit.
EL SEMIT
Faktanya, bila kita membandingkan agama Yahudi (Alkitab Perjanjian Lama), Kristen (Alkitab Perjanjian Lama dan Baru), dan Islam (Al-Quran), kita dapat melihat bahwa ada butir-butir yang sama, namun banyak butir-butir lainnya yang tidak sama (jadi bukan semua sama atau semua tidak sama).
Bila kita melihat Alkitab PL, kita dapat mengetahui bahwa nama Tuhan ‘El/Elohim’ adalah pencipta langit dan bumi, manusia dan segala isinya. Dan ia juga Tuhan yang menyatakan dirinya kepada Adam, Nuh, Abraham, Ishak, dan Yakub. Agama Yahudi, Kristen dan Islam mempercayai itu semua, namun mereka berbeda dalam kepercayaan akan wahyu mana yang dari El yang sama itu yang dipercayai. Agama Yahudi mempercayai wahyu yang dibukukan menjadi Alkitab Perjanjian Lama, namun sekalipun agama Kristen menerima hal ini, agama Kristen juga mengakui penggenapan dalam Tuhan Yesus Kristus yang wahyunya dibukukan dalam Perjanjian Baru padahal Yahudi menolak.
“Katakanlah: Kami telah beriman kepada Allah dan (kitab) yang diturunkan kepada kami dan apa-apa yang diturunkan kepada Ibrahim, Isma’il, Ishaq, Y’qub dan anak-anaknya, (begitu juga kepada kitab) yang diturunkan kepada Musa dan ‘Isa, dan apa-apa yang diturunkan kepada nabi-nabi dari Tuhan mereka, tiadalah kami perbedakan seorang juga di antara mereka itu dan kami patuh kepada Allah” (Al-Quran, Al-Baqarah, 2:136, Mahmud Yunus, Tafsir Quran Karim).
Agama Islam, sekalipun menerima kitab yang diterima Ibrahim, Ishak, Yakub dan Isa, namun lebih menerima kitab wahyu yang diterima Muhammad dari jalur Ismael, dan menerima kitab-kitab Ibrahim, Ishak, Yakub dan Isa sejauh diterima oleh Muhammad yang dipercayai sebagai nabi, dan sekalipun menerima kitab-kitab Yahudi dan Kristen, namun karena dianggap telah dipalsukan, maka kepercayaan kepada berita Al-Kitab terbatas hanya bila hal itu dikuatkan dalam Al-Quran.
Jadi, dari terang Alkitab (PL+PB) dan Al-Quran jelas terlihat bahwa sebagai oknum dengan namanya, Allah Islam adalah Tuhan Yahudi dan Kristen. Namun karena wahyu yang dipercayai berbeda, dengan sendirinya banyak pengajaran (aqidah)nya yang berbeda.
Agama Yahudi, kepercayaannya hanya bergantung kepada Perjanjian Lama, akibatnya mereka memandang Tuhan ‘El’ (yang sejak Musa diberi nama juga sebagai ‘Yahweh’ (Kel.6:1-2)) sebagai Tuhan monotheisme yang transenden dengan hukum Taurat sebagai pedoman, namun agama Kristen berbeda dan menerima kenyataan bahwa El Abraham itu juga telah menyatakan diri dalam oknum Yesus dalam ke-Tritunggalannya, dan hukum kasih/Injil menjadi pedomannya.
Islam mengikuti jalur Abraham mempercayai Tuhan ‘El’ itu yang dalam dialek Arab disebut ‘Allah’ (dari al-ilah). Dalam bahasa Ibrani kata sandang ‘the’ (‘al’ dalam dialek Arab dan ‘ha’ dalam dialek Aram-Siria namun diletakkan di belakang menjadi ‘alaha’) tidak digunakan bila menyebut Tuhan.
Dari sejarah kita mengetahui bahwa sejak awalnya ‘El’ bisa memiliki arti umum sebagai sebutan untuk ‘Tuhan/Ketuhanan’ dan ‘Elohim’ sering digunakan dalam arti kata jamak (politheistik) dan dipakai oleh suku-suku keturunan Sem (menjadi rumpun Semit) dan karena perkembangan zaman sering merosot sehingga dimengerti dalam berbagai-bagai ajaran aqidah, namun ‘El/Il’ juga digunakan untuk menyebut ‘nama diri’ Tuhan.
“‘Ilu, El’ sebagai sebutan untuk ketuhanan. Istilah ‘il mempunyai arti sebutan umum (generic appelative) untuk menunjuk pada ‘tuhan’ atau ‘ketuhanan’ pada tahap awal semua cabang utama rumpun bahasa Semit. Ini terlihat jelas di Semit Timur, Akadian kuno (ilu) dan dialek-dialek sesaudara dimulai zaman pra-Sargon (sebelum 2360 BC) dan berlanjut sampai akhir masa Babil. Penggunaan sebagai sebutan juga muncul di Semit Barat Laut, di Amrit (‘ilu, ‘ilum, ‘ila), di Ugarit, di Ibrani, dan umum di dialek-dialek Arab Selatan kuno, di Arab Utara digantikan dengan nama ‘ilah. ‘Ilu, El juga digunakan sebagai Nama Diri (proper name). … Di Semit Timur ada bukti kuno yang menunjukkan bahwa ‘Il’ adalah nama diri tuhan … tuhan Il (kemudian El Semit) adalah kepala ketuhanan pada rumpun Semit Mesopotamia pada masa Pra-Sargon.” (G. Johanes Botterwech, Theological Dictionary of the Old Testament, Vol.I, 242-244).
Dari sejarah ini kita dapat melihat bahwa ‘Allah’ di kalangan bangsa dan bahasa Arab tidak lain menunjuk pada ‘El’ Semit’ yang sama, ini dijelaskan dalam buku-buku teologi Kristen maupun Ensiklopedia Islam bahwa setidaknya bangsa Arab mewarisi tiga jalur nenek moyang yang semuanya mengenal ‘El Abraham’ yaitu sebagai keturunan Sem, Yoktan (keturunan Eber), dan Adnan (keturunan Ismael anak Abraham).
Bahwa ajaran/konsep mengenai ‘Allah’ (El) itu kemudian merosot dan makin tidak mendekati hakekat yang di’nama’kan dan ditujukan kepada pribadi lain seperti yang terjadi pada jalur Ishak (Kel.32, Anak Lembu Emas disebut ‘Elohim’ dan ‘Yahweh’) maupun jalur Ismael (masa jahiliah, dewa berhala disebut ‘Allah’), tentu tidak mengurangi hakekat nama itu sendiri sebagai menunjuk kepada ‘El’ semitik dan monotheisme Abraham. Namun, sekalipun diyakini bahwa ‘Allah’ Yahudi, Kristen dan Islam sama, tentu tidak disimpulkan bahwa Tuhan Semua Agama sama. Dalam pengertian ‘Universalisme’ (pluralisme agama) disebutkan bahwa semua agama itu menyembah Tuhan yang sama (universal) namun melalui jalan-jalan yang berbeda (partikular).
Kita harus menyadari bahwa setidaknya ada 4 golongan agama, yaitu (1) ‘Theisme’ – Tuhan yang berpribadi (Yahudi, Kristen, Islam), (2) ‘Monisme’ – Tuhan kekuatan semesta (Hindu-Upanishad, Tao dan Kebatinan), (3) Non-Theis – Tuhan yang ‘non-exist’ (Buddhisme), dan (4) Demonisme – Tuhan Okultis (satanisme). Bisa juga dimasukkan ‘politheisme’ (Hindu-Veda) sebagai golongan ke-5.
Sudah jelas ke-empat (atau ke-lima) bentuk Tuhan itu tidak sama, namun harus diakui bahwa Tuhan ‘Theisme’ (Yahudi, Kristen, Islam) adalah Tuhan Semitik agama samawi yang berpribadi, berfirman dan menurunkan wahyu kepada umatnya, jadi sekalipun kita menyebut Tuhan Theisme Yahudi, Kristen dan Islam menunjuk pada oknum yang sama namun sekalipun ada yang sama juga ada yang berbeda ajaran/aqidahnya, sedang Tuhan Theisme, Monisme, Non-Theisme, dan Demonisme jelas berbeda baik sebagai nama oknum maupun ajaran/aqidahnya.
Tetapi bagaimana dengan definisi yang dicantumkan dalam kamus-kamus dalam bahasa Inggeris? Disana disebutkan bahwa “Allah … Muslim’s name for God” (a.l. Oxford Dictionary & Grollier Ensyclopedia). Kita dapat membandingkan hal ini dengan definisi yang disebutkan dalam Enyclopaedia Britannica, yang sekalipun mengakui ke-khasan nama Allah dalam penggunaannya di kalangan agama Islam sebagai salah satu artinya, dalam arti yang lain jelas memberikan pengertian yang lebih ilmiah dan lebih mengandung kebenaran:
“Allah (Arabic:”God”), the one and only God in the religion of Islam. Etymologically, the name Allah is probably a contraction of the Arabic al-Ilah, “the God.” The name’s origin can be traced back to the earliest Semitic writings in which the word for god was Il or El, the latter being an Old Testament synonim for Yahweh. Allah is the standard Arabic word for “God” and is used by Arab Christians as well as by Muslims.”
Definisi yang benar ini juga disebutkan dalam Ensiklopedi Nasional Indonesia dimana disebutkan bahwa: “ALLAH adalah Tuhan, pencipta alam raya termasuk segala isinya”. (Vol.I, h.270).
Memang dalam literatur Barat termasuk dalam beberapa kamus, ada sentimen kuat anti Arab/Islam sehingga sering timbul ungkapan-ungkapan memojokkan yang tidak ilmiah seperti ucapan Morley di atas yang memberi stigmata seakan-akan nama ‘Allah’ itu nama dewa/i masa jahiliah Arab seperti Dewa Pengairan atau Dewa Bulan, namun banyak pula literatur Barat yang lebih bersifat netral dan ilmiah seperti Ensyclopaedia Britannica dan umumnya kamus-kamus teologia yang menyebut bahwa nama ‘Allah’ adalah nama dalam dialek/bahasa Arab untuk menunjuk pada ‘El’ Semitik, dan juga digunakan oleh orang Arab pra-Islam (terutama kaum Hanif yang tetap mempertahankan Allah monotheisme Abraham) maupun bangsa Arab yang menganut agama Yahudi dan Kristen:
“Karena Islam memperbaiki agama yang dibawa Ibrahim, yakni agama fitrah, maka jahiliyah dipandang sebagai sebuah zaman sebelum kedatangan Islam, ibarat kegelapan sebelum terbit fajar. Pada zaman ini ajaran monotheisme Ibrahim telah musnah berganti dengan sitem paganisme, dan diwarnai dekadensi moral. Sejumlah berhala sesembahan didatangkan ke Makkah dari berbagai negeri di Timur Tengah. Namun tidak semua warga Arab pada saat itu menganut sistem keyakinan pagan, melainkan terdapat beberapa suku Arab memeluk agama Kristen dan Yahudi. Bahkan terdapat sejumlah pribadi yang menekuni dunia spiritual, mereka itu dinamakan ‘hunafa’ (tgl. hanif) yang mana mereka tidak memihak kepada satu di antara kedua agama tersebut, melainkan mereka bertahan pada ajaran monotheisme Ibrahim”. (Cyrill Glasse, Ensiklopedia Islam, h.190, dibawah kata al-Jahiliah).
Kenyataan ini juga diperkuat dengan ditemukannya peninggalan arkeologis beberapa abad sebelum masa Islam abad-VII (yang secara keliru disebut dalam buku Morley bahwa Alkitab dalam bahasa Arab baru ada pada abad-IX dan menggunakan nama Allah karena dipaksa orang Islam dan bandingkan dengan buku-buku yang bertema ‘Asal bukan Allah’ yang menganggap orang Islam tidak menyukai orang Kristen menggunakan nama ‘Allah’). Suatu pengingkaran sejarah yang dihasilkan semangat Arab/Islam fobia, sebab jauh sebelum ada agama Islam nama Allah sudah digunakan bersama-sama oleh umat Yahudi Arab, Kristen Arab dan bangsa Arab pra-Islam.
Namun, kalau ‘El’ (Ibrani) sama dengan ‘Alaha’ (Aram-Siria) dan ‘Allah’ (Arab), mengapa tidak memilih saja ‘El/Elohim’ yang merupakan bahasa aslinya?
Tuhan dalam menyebarkan firmannya menggunakan kendaraan bahasa-bahasa. Pada zaman Ezra, Alkitab Ibrani sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Aram, dan sejak itu sampai abad ke-XIX bahasa Ibrani hanya digunakan dalam penulisan/penyalinan Kitab Suci saja. Ketika bahasa Yunani menguasai kawasan sekitar Laut Tengah, atas perintah imam besar di Yerusalem, Eliezer, Alkitab PL diterjemahkan dari bahasa Ibrani ke bahasa Yunani (Septuaginta/LXX), inilah yang digunakan Yesus, para Rasul, umat Kristen dan dipakai juga di sinagoga-sinagoga. Demikian juga di hari Pentakosta, Roh Kudus sendiri mengilhami para Rasul untuk mengkotbahkan firman (termasuk nama El/Theos) ke bahasa-bahasa pendengar, dalam arti kata penerjemahan nama Tuhan ke dalam bahasa-bahasa lokal didorong oleh Roh Tuhan/Kudus sendiri.
Berbeda dengan ‘El’ yang diterjemahkan ke dalam bahasa Yunani sebagai ‘Theos’ dan bahasa Barat sebagai ‘God, Gott, Dieu’, maka nama ‘Allah’ (Arab) sebenarnya bukan terjemahan melainkan perkembangan dialek dalam rumpun Semit sendiri untuk menyebut El (di samping a.l. Alaha dalam bahasa Aram-Siria).
Islam sudah masuk ke Indonesia sejak abad ke-XIII, Kristen Katolik baru masuk abad ke-XVI dan Protestan pada abad ke-XVII, ini berarti sudah tiga abad lebih dimana agama Islam dan bahasa Arab sudah merakyat di Indonesia, dan kemudian nama ‘Allah’ masuk menjadi kosa-kata bahasa Indonesia. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, dalam bahasa Indonesia, ada banyak kosa-kata yang berasal dari bahasa asing, yaitu bahasa Arab (1.495, termasuk kata ‘Allah’), Inggeris (1.610), dan Belanda (3.280), maka adalah tepat bila kata yang sekarang menjadi kosa-kata Indonesia itu dipakai untuk menyebut El/Elohim Perjanjian Lama dan Theos Perjanjian Baru dalam Alkitab terjemahan bahasa Indonesia, karena kata itu bukan saja dekat tetapi termasuk keluarga serumpun Semit dengan bahasa Ibrani.
Salam kasih dari Herlianto/YBA.
kemudian bisa kita baca juga yang ini:
MENJAWAB HUJATAN PARA PENENTANG ALLAH DI DALAM ALKITAB
Baru-baru ini beberapa gereja-gereja dan segelintir umat Kristen diresahkan dengan terbitnya “Alkitab Eliezer ben Abraham” berjudul Kitab Suci Taurat dan Injil. Tidak kurang juga orang Kristen telah bingung dengan gerakan ini. Gerakan ini menuntut agar istilah Allah dalam Kitab Suci umat Kristian dihapuskan. Alasannya, nama Allah itu kononnya berasal dari “dewa air” yang mengairi bumi.
Saya sendiri sudah pernah menanggapi usul kontroversial ini dengan menggelar seminar yang menghadirkan pembicara Muslim dari IAIN Syarif Hidayatullah, Dr. Kautsar Azhari Noer.(1) Rekan Muslim saya ini menanggapi dengan kepala dingin, seraya mengatakan: “Itu hanya gerakan kaum awam yang tidak perlu ditanggapi.: Mengapa? Menurut Kautsar, “Setiap agama mengenal kontekstualisasi atau inkulturasi.” Ya, memang dulu istilah Allah pernah dipakai di lingkungan orang-orang jahiliah sebelum zaman Islam. Tetapi Islam justru datang untuk mengubah makna teologis istilah itu.
SEKITAR PENYIMPANGAN NAMA YAHWEH DAN ALLAH
Setelah seminar tersebut, reaksi berdatangan dari pihak “penentang Allah”. Bahkan terbit traktat baru yang khusus menanggapi makalah saya. Saya sendiri memutuskan untuk menghentikan polemik ini. Terus terang, amatlah sulit untuk sesiapa pun memahami “logika” kaum yang kurang cerdas itu.
Bayangkan saja, menurut mereka Allah sebenarnya adalah nama “dewa air.” Yang menjadi dasar mereka adalah buku-buku sumber yang mereka kutip sepenggal-sepenggal dan lepas dari konteks. Saya pun membuktikan berdasarkan inskripsi-inskripsi kuno yang ditemukan di Kuntilet Ajrud, di sekitar Nablus sekarang. Di daerah tersebut nama Yahweh pernah dipuja bersama-sama dewi kesuburan Asyera. Salah satu bunyi inksripsi Kuntilet Ajrud, seperti disebut Andrew D. Clarke dan Bruce W. Winters (ed.), One God, One Lord; Christianity in a world of religious Pluralism, dalam bahasa Ibrani:
Birkatekem le-Yahweh syomron we le ‘asyeratah
Yakni – Aku memberkati engkau demi Yahwe dari Samaria dan demi Asyera. (2)
Dengan fakta di atas, apakah kita dapat mengatakan kita jangan menggunakan nama Yahwe karena nama ini sekutu Asyera, dewi kesuburan Palestina? Argumentasi ini dijawab oleh mreka, bahwa semua yang saya kemukakan itu tidak perlu ditanggapi karena tidak berdasar pada Alkitab. Ya, maksud mereka adalah saya tidak perlu mengutip data-data arkeologi dalam berargumentasi, kecuali hanya berdasarkan ayat-ayat Alkitab.
Nah, di sinilah terbukti ketidakadilan kaum penentang “Allah” dengan amat jelas! Mengapa? Sebab umat Islam tentu saja boleh bertanya balik, “Apakah Allah sebagai dewa air itu ada dalam Alquran?” Lalu, umat Islam pun mengajak kita untuk berargumentasi dan berdebat tanpa bukti sejarah. Cukup dengan ayat-ayat Al-Quran saja. Kalau begitu, jelas tidak ada sepotong ayat pun dalam Alquran yang menyebut Allah sebagai dewa air. Menurut Alquran, Allah adalah Pencipta langit dan bumi (Q.surah al-Jatsiyah 45:22, “Wa khadaq Allah as-samawati wa al-ardh”).
Begitu juga, siapakah Allah itu bagi umat Kristen Arab? “Allah” – demikian menurut Buthros ‘Abd al-Malik, dalam Qamus al-kitab al-Muqaddas – adalah “nama dari Ilah (sembahan) yang menciptakan segala yang ada” (hadza al-llah khalaq al-jami’ al-kainat). (3)
Begitu juga, setiap umat Arab Kristen sebelum atau sesudah Islam mengawali mengucapkan Qanun al-Iman (syahadat Kristian) yang diawali dengan kalimat:
“Nu’minu bi-ilahun wahidun, Allah al-Ab al-dhabital kull, khalaqa as-sama’I wa al-ardh, kulla ma yura wa maa layuura”
yang bermaksud :
Kami percaya kepada satu-satunya sembahan/ilah, yaitu Allah Bapa, yang berkuasa atas segala sesuatu, Pencipta langit dan bumi, dan segala sesuatu yang kelihatan maupun yang tidak kelihatan. (4)
Mengapa mreka menuduh bahwa Allah adalah “dewa air” berdasarkan sumber-sumber tulisan yang bukan Alquran, sementara mereka menolak data yang telah saya kemukakan tentang penyimpangan nama Yahwe, karena tidak ada dalam Alkitab?
Oleh karena itu, saya menyarankan agar belajar lebih banyak tentang sejarah kekristenan di Timur Tengah, tempat kekristenan mula-mulanya berkembang. Peranan filologi (ilmu perbandingan bahasa) juga sangat penting dalam memperkaya kajian ini, sebelum mereka begitu bersemangat menyebarkan pendapat yang jelas-jelas tidak ilmiah.
KATA ALLAH DAN PADANANNYA DALAM BAHASA IBRANI DAN ARAMI
Dalam menilai kata Allah, kita harus memahami bahwa kata itu serumpun dengan kata-kata bahasa Semitik yang lebih tua (yang dipakai di Timur Tengah: Ibrani dan Arami). Kata Allah itu cognate dengan kata Ibrani: El, Eloah, Elohim; dan kata Arami Elah, Alaha, yang semuanya terdapat dalam Perjanjian Lama ataupun dalam Targum (komentar-komentar Taurat dalam bahasa Arami yang lazim dibaca mulai dari zaman sebelum Al-Masih, zaman Sayidina Isa hingga hari ini).
Perlu anda ketahui, sebagian kecil Kitab Perjanjian Lama juga ditulis dalam bahasa Arami, yakni beberapa pasal Kitan Ezra dan juga beberapa pasal dari Daniel. Marilah kita baca dan cermati ayat-ayat yang menggunakan kata elah di bawah ini:
“Be Shum elah yisra’el …”
Daniel 5 : 1, “Demi Nama Allah Israel.”
“…di elahekon hu elah elahin, umara malekin
Daniel 2:47, “Sesungguhnya Elah-mu itu elah yang mengatasi segala elah dan berkuasa atas para raja.
Sedangkan bentuk Ibrani yang dekat dengan istilah Arami elah dan Arab ilah, al-ilah dan Allah adalah sebutan eloah, misalnya disebutkan:
“Eloah mi-Teman yavo we Qadosh me-Har Paran, Selah”
Yaitu Habakuk 3 : 3, yang bererti -
“Eloah akan datang dari negeri Teman, dan Yang Mahakudus dari pergunungan Paran, Sela.”
Tetapi argumentasi ini pun segera ditanggapi dengan traktat mereka. Menurut mereka, istilah el, elohim, eloah (Ibrani) dan elah, alaha (Arami/Syriac) tidak sejajar dengan istilah Arab Allah berasal dari ilah (God, sembahan). Dengan awalan kata sandang di depannya Al (Inggris: the), makna the god, “sembahan yang itu”. Maksudnya sembahan atau ilah yang benar.
“Laa ilaha ilallah”. Tidak ada ilah selain Allah. Allah adalah satu-satunya ilah. Ungkapan Laa ilaha ilallah ini, dijumpai pula dalam Alkitab terjemahan bahasa Arab, 1 Korintus 8 : 4-6 berbunyi :
“… wa’an Laa ilaha ilallah al-ahad, …faa lana ilahu wahidu wa huwa al-Abu iladzi minhu kullu sya’in wa ilahi narji’u, wa huwa rabbu wahidu wa huwa Yasu’ al-Masihu iladzi bihi kullu syai’in wa bihi nahya”
Yakni maksudnya :
Dan sesungguhnya tidak ada ilah selain Allah, Yang Mahaesa … dan bagi kita hanya ada satu ilah/sembahan yaitu Bapa, yang dari-Nya berasal segala sesuatu dan kepada-Nya kita akan kembali, dan hanya ada satu Rabb/Tuhan, yaitu Yesus Kristus yang melalui-Nya (sebagai Firman Allah) telah diciptakan segala sesuatu dan untuk Dia kita hidup). (5)
Mereka begitu entengnya menanggapi hal ini. Menurut brosur mereka, istilah ‘Allah’ memang ada dalam Alkitab berbahasa Ibrani, tetapi artinya “sumpah” (1 Raj. 8:31; II Taw. 6:22). Mereka benar, tetapi mereka juga harus tahu, seperti kata Yahweh tidak turun dari langit. Demikian pula kata elohim, eloah, elah berasal dari akar kata tertentu. Menurut C.L. Schofield, istilah elah berasal dari akar kata el (Yang Maha kuat) dan alah (sumpah):
“to swear, to bind oneself by an oath, so implifying faithfullness.” (6)
Jadi, di hadapan hadirat El (Yang Maha kuat) seseorang mengikat sumpah (alah). Dari kata El dan alah ini, kemudian terbentuklah kata elah. Sedangkan bentuk elohim, dengan akhiran im menunjukkan jamak untuk menekankan kebesaran (pluralis maestaticus). Oleh para pujangga gereja kata tersebut ditafsirkan secara alegoris sebagai bukti dari sifat ketritunggalan Allah. Karena itu, sangat gegabah untuk menolak fakta keserumpunan antara Arab dengan bahasa Ibrani dan Aram, hanya dengan argumentasi dangkal seperti ini.
Kata alah (dengan satu “l”) memang ada dalam bahasa Ibrani yang berarti “sumpah, kutuk”. Berbeda dengan bahasa Arab allah (dengan dua huruf “L”). Dua huruf “l” (lam) yang dalam istilah Allah menunjukkan asal-usulnya dari kata sandang Al (the) dan ilah (god) seperti dikemukakan di atas. (7)
ISTILAH ALLAH DI LINGKUNGAN KRISTIAN SYRIA PRA-ISLAM
Seperti istilah Yahweh pernah dipuja secara salah di sekitar wilayah Samaria, terbukti dari inskripsi Kuntilet Ajrud dan Khirbet el-Qom, demikian juga istilah Allah disalahgunakan di sekitar Mekkah sebelum zaman Islam. Tetapi istilah Allah dipakai sebagai sebutan bagi Khaliq langit dan bumi oleh orang-orang Kristen Arab di wilayah Syria. Hal ini dibuktikan dari sejumlah inskripsi Arab pra-Islam yang semuanya ternyata berasal dari lingkungan Kristen.
Salah satu inskripsi kuno yang ditemukan pada tahun 1881 di kota Zabad, sebelah tenggara kota Allepo (Arab: Halab), sebuah kota di Syria sekarang, meneguhkan dalil tersebut. Inskripsi Zabad ini telah dibuktikan tanggalnya berasal dari azman sebelum Islam, tepatnya tahun 512. Menariknya, inskripsi ini diawali dengan perkataan Bism-al-lah, “Dengan Nama al-lah” (bentuk singkatnya: Bismillah, “Dengan Nama Allah”), dan kemudian diusul dengan nama-nama orang Kristen Syria. Bunyi lengkap inskripsi Arab Kristen ini dapat direkonstruksi sebagai berikut:
“Bism’ al-lah: Serjius bar ‘Amad, Manaf wa Hani bar Mar al-Qais, Serjius bar Sa’d wa Sitr wa Sahuraih”
terjemahannya :
- Dengan Nama Allah: Sergius putra Amad, Manaf dan Hani putra Mat al-Qais, Sergius putra Sa’ad, Sitr dan Shauraih. (8)
Menurut Yasin Hamid al-Safadi, dalam The Islamic Calligraphy, inskripsi pra-Islam lainya yang ditemukan di Ummul Jimal dari pertengahan abad ke-6 Masehi, membuktikan bahwa berbeda dengan yang terjadi di Arab selatan, di sekitar Syria nama ‘Allah’ disembah secara benar. Inskripsi Ummul Jimmal diawali dengan kata-kata Allah ghafran (Allah mengampuni). (9)
Bahkan menurut Spencer Trimingham, dalam bukunya Christianity among the Arabs in the pre-Islamic Times, membuktikan bahwa pada tahun yang sama dengan diadakannya Majma’ (Konsili) Efesus (431), di wilayah suku Arab Hartis (Yunani: Aretas ) dipimpin seorang uskup yang bernama ‘Abd Allah (Hamba Allah). (10)
Dari bukti-bukti arkeologis ini, jelas bahwa sebutan Allah sudah dipakai di lingkungan Kristen sebelum zaman Islam yang dimaknai sebagai sebutan bagi Tuhan Yang Mahaesa, Pencipta langit dan bumi.
PENGGUNAAN BAHASA IBRANI, YUNANI DAN ARAMI PADA ZAMAN YESUS
Cukup mengherankan bahwa “para penentang Allah” itu selalu menggunakan Ha B’rit ha-Hadasah (Perjanjian Baru bahasa Ibrani) dan memperlakukannya seolah-olah itulah teks bahasa aslinya. Dalam Perjanjian Baru berbahasa Ibrani ini tentu saja kita akan menjumpai nama Yahwe. Tetapi Perjanjian Baru berbahasa Ibrani itu adalah hasil terjemahan dari bahasa Yunani. Penerjemahan dilakukan oleh United Bible Society in Israel, baru pada tahun 1970-an.
Perjanjian Baru aslinya ditulis dalam bahasa Yunani Koine dan para rasul Yesus tidak mempertahankan nama diri Yahwe. Saya setuju bahwa Yesus ketika masuk ke sinagoge, Baginda mengutip teks-teks Perjanjian Lama dalam bahasa Ibrani (Lukas 4:18-19). Namun, kita juga harus paham bahwa Baginda juga telah bercakap-cakap dalam bahasa Arami dengan murid-murid-Nya sebagai “bahasa ibunda” masyarakat Yahudi pada zaman intu.
Penulisan Perjanjian Baru dalam bahasa Yunani karena bahasa ini menjadi bahasa yang paling luas digunakan di seluruh wilayah kekaisaran Romawi pada zaman itu. Meskipun demikian, Perjanjian Baru Yunani itu tidak dapat dipahami tanpa melihat latar belakang budaya Arami. (11) Oleh karena kitab ini masih memelihara beberapa ungkapan Arami – yang waktu itu juga biasa disebut Ibrani – sebab dianggap sebagai salah satu dialek tutur saja bagi masyrakat Yahudi di Galilea. Beberapa contoh kata Arami yang dipelihara itu, antara lain: Talita Kum (Mark 5 : 41), Gabbata (Yohanes 19 : 13), Maranatha (1 Korintus 16 : 23).
Salah satu bukti bahwa Yesus membaca Targum berbahasa Arami, di mana kata Alaha (yang cognate dengan bentuk Ibrani: Eloah, dan Arab: Allah) adalah ungkapan Yesus dalam Markus 15:33, Elohi, Elohi, l’mah sh’vaktani. Sebab dalam teks Mazmur 22:2 bahasa Ibraninya: Eli, Eli lamah ‘azvatani. Selanjutnya, apabila bahasa asli Perjanjian Baru ditulis dalam bahasa Yunani dan para rasul tidak mempertahankan nama Yahwe, lalu apa pula dasar dan alasan mereka mati-matian mempertahankannya?
Para rasul penulis Perjanjian Baru menterjemahkan Kyrios (Tuhan) sebagai kata ganti Yahwe. Sebut satu contoh saja, misalnya Haddebarim/ Ulangan 6 : 4 dalam bahasa asli (Ibrani):
“Syema Ysrael, Adonai Elohenu, Adonay Ehad”.
Kutipan ayat ini ditemukan dalam Markus 12 : 29, di mana nama Yahwe diterjemahkan Kyrios – Tuhan, mengikut terjemahan Yunani Septuaginta:
“Akoue, Israel, Kurios ho theos hemin, kurios eis esti”
- Dengarlah wahai Israel, Kurios (Tuhan) itu Theos/Allah kita, Kurios/Tuhan itu Esa.
Jadi, sekali lagi Markus sang penulis Injil pun tidak mempertahankan nama Yahwe. Lalu, apakah mereka berani berkata bahwa seluruh penulis Perjanjian Baru itu adalah salah?
Dalam bahasa Ibrani istilah “Nama” juga tidak bisa dipahami secara harfiah seperti nama-nama: Suharto, Suradi, Marsudi, Wan, Ngah dan sebagainya. Dalam hal ini anda harus bedakan antara “nama” (yang berasal dari bahasa manusia yang dibatasi oleh konteks ruang dan waktu) dengan “Dia yang dinamakan” (Yang Absolute, tidak terbatas, tidak terhingga). “Nama” dalam teologi Yahudi lebih menunjuk kepada “Kuasa di balik Ia yang di-Nama-kan”. Karena itu, orang-orang Yahudi hanya mempertahankan tetagramaton (keempat huruf suci: y h w h), tetapi tidak membacanya dalam tradisi lisan. Kata itu sudah lazim dibaca dengan: Adonay (Tuhanku) atau Ha-Shem (“the Name”, Sang Nama).
Silakan mereka memeriksa tradisi Yahudi ini, misalnya literatur Yahudi: Humasah Hunasy Torah ‘im Targum Onqelos, (12) berbahasa Ibrani dan Arami yang lazim dipakai pemeluk Yahudi hingga zaman sekarang ini.
Kesimpulan saya, apabila kita menolak usulan para “penentang Allah” itu, bukan sekadar menimbang manfaat atau mudaratnya saja. Manfaatnya jelas tidak ada sama sekali. Mudaratnya jelas tidak hanya membingungkan umat Kristiani, tetapi telah membuka “barisan permusuhan” dengan umat Islam. Yang lebih penting lagi, tidak ada gunanya berdialog dengan orang-orang yang memang tidak memenuhi standard berpikir ilmiah itu. “Tetapi mereka menghujat segala sesuatu yang tidak mereka ketahui,” demikian Yudas 1:10, dan lanjutan ayat ini saya tidak tega untuk menuliskannya di sini.
Nota-nota dan Referensi
Majalah DR, “Ketika Allah diperdebatkan”, 9-14 Ogos 1999.
Andrew D. Clarcke dan Bruce W.Winters (ed.), Satu Allah satu Tuhan: Tinjauan Alkitab tentang Pluralisme Agama (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1995), hlm.50
Buthros ‘Abd al-Malik (ed.), Qamus al-Kitab al-Muqaddas (Beirut: Jami’ al-Kana’is fii al-Syarif al-Adniy, 1981), hlm.107
Al-Qamas Isodorus al-Baramus, Al-Ajabiyat: shalawat As-Sa’at wa Ruh al-Tashra’at (Kairo: Maktabah Mar Jurjis al-Syaikulaniy Syabra, 1996), hlm. 79.
“Risalat Bulus ar-Rasul ila Ahl Kurinthus al-Awwal 8 : 4-6″, dalam al-Kitab al-Muqaddas (Beirut: Dar al-Kitab al-Muqaddas fii al-Syariq al-Ausath, 1992).
Rev. C.I. Schofield (ed.), Holy Bible, Schofield Reference (London: Oxford University Press, 1945), hlm.3
Kita lihat bahwa Allah itu Al-nya merupakan hamzah washl. Kerana itu menjadi wallahi, billahi dan sebagainya. Itu berarti kata Allah bukan merupakan akar kata yang asli. Sebab akar kata yang asli pasti menggunakan hamzah qath’. Lihat: Nurcholish Madjid, Dialog Keterbukaan: Artikulasi Nilai Islam dalam Wacana Sosial Politik Kontemporer (Jakarta: Paramadina, 1998), hlm.262.
Bacaan Bism al-lah (Dengan Nama Allah) berasal dari Yasin Hamid al-Safadi, Kaligrafi Islam. Alih Bahasa: Abdul Hadi WM (Jakarta: PT. Panca Simpati, 1986), hlm. 6. Sedangkan M.A. Kugener, Note sur l’inscription triligue de Zebed (1907) seperti dikutip Spencer Trimingham Christianity Among the Arabs in pre Islamic Times (London-Beirut: Longman-Librairie du Liban, 1979), hlm. 226, membacanya “Teym al-Ilah”.
Jadi, sebagai nama diri yang diusul oleh nama-nama lainnya, bukan sebagai bunyi sebuah doa. Tetapi apa pun bunyi yang paling tepat dari awal inskripsi itu, yang jelas kata al-llah, Allah sudah dipakai dalam makna Tauhid Kristen, dan bukan dalam makna dewa berhala yaitu pagan.
Yasin Hamid al-Safadi, Loc.Cit
Spencer Trimingham, Op. Cit. Hlm. 74
Matthew Black, An Aramaic Approach to the Gospels and Acts (Oxford: At the Calrendon Press, 1967).
Rabbi Nosson Scherman-Rabbi Meir Zlotowitz (ed.), Humasah Humasy Torah ‘im Targum Onqelos (Brooklyn: Mesorah Publications, Ltd. 1993), hlm.xxvi. Selanjutnya, mengenai Nama (dan nama-nama) Allah, cf. “Parashas Shemos”, hlm.304-305.
point yang penting dari penjelasan tersebut
1. Tuhan yang disembah orang Islam sama dengan yang di sembah para nabi dan pengikutnya ,sebelum kenabian nabi Muhammad
2. bahwa Nama YHWH pernah disimpangkan,
seperti yang tertulis:
“Saya pun membuktikan berdasarkan inskripsi-inskripsi kuno yang ditemukan di Kuntilet Ajrud, di sekitar Nablus sekarang. Di daerah tersebut nama Yahweh pernah dipuja bersama-sama dewi kesuburan Asyera. Salah satu bunyi inksripsi Kuntilet Ajrud, seperti disebut Andrew D. Clarke dan Bruce W. Winters (ed.), One God, One Lord; Christianity in a world of religious Pluralism, dalam bahasa Ibrani:
Birkatekem le-Yahweh syomron we le ‘asyeratah
Yakni – Aku memberkati engkau demi Yahwe dari Samaria dan demi Asyera. (2)
Dengan fakta di atas, apakah kita dapat mengatakan kita jangan menggunakan nama Yahwe karena nama ini sekutu Asyera, dewi kesuburan Palestina? Argumentasi ini dijawab oleh mreka, bahwa semua yang saya kemukakan itu tidak perlu ditanggapi karena tidak berdasar pada Alkitab. Ya, maksud mereka adalah saya tidak perlu mengutip data-data arkeologi dalam berargumentasi, kecuali hanya berdasarkan ayat-ayat Alkitab.”
kemudian dari penjelasan intelektual yang sebelumnya adalah intelektual Kristen,yaitu Jerald f dirk
Penggunaan kata Allah yang berarti Tuhan sering kali terdengar agak aneh, esoterik, dan asing bagi telinga orang Barat. Allah adalah kata dalam bahasa Arab yang berasal dari pemadatan al dan Ilah. Ia berarti Tuhan atau menyiratkan Satu Tuhan. Secara linguistik, bahasa Ibrani dan bahasa Arab terkait dengan bahasa-bahasa Semitik, dan istilah Arab Allah atau al-Ilah terkait dengan El dalam bahasa Ibrani, yang berarti Tuhan.1 El-Elohim berarti Tuhannya para tuhan atau Sang Tuhan.2 Ia adalah kata bahasa Ibrani yang dalam Perjanjian Lama diterjemahkan Tuhan. Karena itu, kita bisa memahami bahwa penggunaan kata Allah adalah konsisten, bukan hanya dengan Al-Qur’an dan tradisi Islam, tetapi juga dengan tradisi-tradisi-biblikal yang tertua.
Persamaan mendasar antara istilah Arab al-Ilah, di mana Allah merupakan pemadatannya, dan istilah Ibrani El-Elohim bisa dipahami secara lebih jelas jika kita memerhatikan abjad bahasa Arab dan Ibrani. Baik bahasa Arab maupun Ibrani sama-sama tidak memiliki huruf untuk bunyi vokal. Abjad kedua bahasa tersebut hanya terdiri dari konsonan, dan keduanya bersandar pada penandaan sebagai bunyi vokal yang secara khas ditemukan hanya dalam tulisan formal sebagai satu petunjuk pengucapan. Transliterasi bahasa Indonesia dari istilah Arab al-Ilah dan istilah Ibrani El-Elohim telah memasukkan penandaan-penandaan vokal ini. Jika kita harus menghilangkan transliterasi Indonesia berupa penandaan-penandaan vokal ini, maka istilah Arab tersebut menjadi al-Ilh dan istilah Ibrani di atas menjadi El-Elhm. Jika kita harus menghilangkan bentuk jamak, yang hanya ditemukan dalam bahasa Ibrani, maka istilah Arabnya tetap al-Ilh, sementara istilah Ibraninya menjadi El-Elh. Akhirnya, jika kita harus melakukan transliterasi atas seluruh “alif” dalam bahasa Arab sebagai “a”, dan seluruh “alif” dalam bahasa Ibrani sebagai “a” juga, maka istilah Arabnya menjadi Al-Alh, dan istilah Ibraninyapun menjadi Al-Alh. Dengan kata lain, dengan pengecualian tunggal bahwa bahasa Ibrani menggunakan bentuk jamak, al-Ilah, di mana Allah merupakan pemadatannya, dan El-Elohim, istilah Ibrani yang diterjemahkan sebagai Tuhan dalam Perjanjian Lama, benar-benar merupakan istilah yang sama sekali identik dalam bahasa Arab dan Ibrani, dua bahasa yang memiliki hubungan sangat erat.
kemudian dari kalangan “ulama islam”
soal keunikan nama Allah, saya akan menyampaikan dari sumber tulisan orang/ulama Islam.
Kata ‘Allah’ merupakan nama Tuhan yang paling populer. Apabila anda berkata :”Allah..”, maka apa yang anda ucapkan itu telah mencakup semua nama-nama-Nya yang lain, sedangkan bila anda mengucapkan nama-nama-Nya yang lain – misalnya ‘ar-Rahmaan’, ‘al-Malik’ dan sebagainya – maka ia hanya menggambarkan sifat Rahman, atau sifat kepemilikan-Nya. Disisi lain, tidak satupun dapat dinamakan Allah, baik secara hakikat maupun secara majazi, sedangkan sifat-sifat-Nya yang lain – secara umum – dapat dikatakan bisa disandang oleh makhluk-makhluk-Nya. Bukankah kita dapat menamakan si Ali yang pengasih sebagai ‘Rahiim’?, atau Ahmad yang berpengetahuan sebagai ‘Aliim’?. Secara tegas, Tuhan Yang Maha Esa itu sendiri yang menamakan dirinya Allah.
14. Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku. (Thaahaa). Innanii = sesungguhnya Aku, anaa = Aku, Allaahu = Allah, laa ilaaha = tidak ada tuhan, illaa = melainkan, ana = Aku…
Dia juga dalam Al-Qur’an yang bertanya :”hal ta’lamu lahuu samiyyaa..” (Surat Maryam ayat 19). Ayat ini, dipahami oleh pakar-pakar Al-Qur’an bermakna :”Apakah engkau mengetahui ada sesuatu yang bernama seperti nama ini..?” atau :”Apakah engkau mengetahui sesuatu yang berhak memperoleh keagungan dan kesempurnaan sebagaimana pemilik nama itu (Allah)?” atau bermakna :”Apakah engkau mengetahui ada nama yang lebih agung dari nama ini?”, juga dapat berarti :”Apakah kamu mengetahui ada sesuatu yang sama dengan Dia (yang patut disembah)?”
Pertanyaan-pertanyaan yang mengandung makna sanggahan ini kesemuanya benar, karena hanya Tuhan Yang Maha Esa yang wajib wujudnya itu yang berhak menyandang nama tersebut, selain-Nya tidak ada, bahkan tidak boleh. Hanya Dia yang berhak memperoleh keagungan dan kesempurnaan mutlak, sebagaimana tidak ada nama yang lebih agung dari nama-Nya itu.
Para ulama dan pakar bahasa mendiskusikan kata tersebut antara lain apakah ia memiliki akar kata atau tidak. Sekian banyak ulama yang berpendapat bahwa kata ‘Allah’ tidak terambil dari satu akar kata tertentu, tapi ia adalah nama yang menunjuk kepada zat yang wajib wujud-Nya, yang menguasai seluruh hidup dan kehidupan, serta hanya kepada-Nya seharusnya seluruh makhluk mengabdi dan bermohon. Tetapi banyak ulama berpendapat, bahwa kata ‘Allah’ asalnya adalah ‘Ilaah’, yang dibubuhi huruf ‘Alif’ dan ‘Laam’ dan dengan demikian, ‘Allah’ merupakan nama khusus, karena itu tidak dikenal bentuk jamaknya. Sedangkan ‘Ilaah’ adalah nama yang bersifat umum dan yang dapat berbentuk jamak (plural), yaitu ‘Alihah’. Dalam Bahasa Inggeris, baik yang bersifat umum maupun khusus, keduanya diterjemahkan dengan ‘god’, demikian juga dalam Bahasa Indonesia keduanya dapat diterjemahkan dengan ‘tuhan’, tapi cara penulisannya dibedakan. Yang bersifat umum ditulis dengan huruf kecil ‘god/tuhan’, dan yang bermakna khusus ditulis dengan huruf besar ‘God/Tuhan’.
‘Alif’ dan ‘Laam’ yang dibubuhkan pada kata ‘Ilaah’ berfungsi menunjukkan bahwa kata yang dibubuhi tersebut merupakan sesuatu yang telah dikenal dalam benak. Kedua huruf tersebut sama dengan ‘The’ dalam bahasa Inggeris. Kedua huruf tambahan itu menjadi kata yang dibubuhi menjadi ‘ma’rifat’ atau ‘definite’ (diketahui/dikenal). Pengguna Bahasa Arab mengakui bahwa Tuhan yang dikenal dalam benak mereka adalah Tuhan Pencipta, berbeda dengan tuhan-tuhan (aliihah/bentuk jamak dari ilaah) yang lain. Selanjutnya dalam perkembangannya lebih jauh dan dengan alasan mempermudah, ‘hamzah’ yang berada antara dua ‘laam’ yang dibaca ‘i’ pada kata ‘al-Ilaah’ tidak dibaca lagi, sehingga berbunyi ‘Allah’ dan sejak itulah kata ini seakan-akan telah merupakan kata baru yang tidak memiliki akar kata, sekaligus sejak itu pula kata ‘Allah’ menjadi nama khusus bagi Pencipta dan Pengatur alam raya yang wajib wujud-Nya.
Sementara ulama berpendapat bahwa kata ‘Ilaah’ yang darinya terbentuk kata ‘Allah’ berakar dari kata ‘al-Ilaahah’, ‘al-Uluuhah’ dan ‘al-Uluuhiyyah’ yang kesemuanya menurut mereka bermakna ‘ibadah/penyembahan’, sehingga ‘Allah’ secara harfiah bermakna ‘Yang Disembah’. Ada juga yang berpendapat bahwa kata tersebut berakar dari kata ‘Alaha’ dalam arti ‘mengherankan’ atau ‘menakjubkan’ karena segala perbuatan/ciptaan-Nya menakjubkan atau karena bila dibahas hakekat-Nya akan mengherankan akibat ketidak-tahuan makhluk tentang hakekat zat Yang Maha Agung itu. Apapun yang terlintas dalam benak menyangkut hakekat zat Allah, maka Allah tidak demikian. Itu sebabnya ditemukan riwayat yang menyatakan :”Berpikirlah tentang makhluk-makhluk Allah dan jangan berpikir tentangZat-Nya”. Ada juga yang berpendapat bahwa kata ‘Allah’ terambil dari akar kata ‘Aliiha Ya’lahuu” yang berarti ‘tenang’, karena hati menjadi tenang bersama-Nya, atau dalam arti ‘menuju’ dan ‘bermohon’ karena harapan seluruh makhluk tertuju kepada-Nya dan kepada-Nya jua makhluk bermohon.
Memang setiap yang dipertuhankan pasti disembah dan kepadanya tertuju harapan dan permohonan lagi menakjubkan ciptaannya, tetapi apakah itu berarti bahwa kata ‘Ilaah’ – dan juga ‘Allah’ – secara harfiah bermakna demikian..? , dapat dipertanyakan apakah bahasa atau Al-Qur’an yang menggunakannya untuk makna ‘yang disembah’?. Kalau anda menemukan semua kata ‘Ilaah’ dalam Al-Qur’an, niscaya akan anda temukan bahwa kata itu lebih dekat untuk dipahami sebagai penguasa, pengatur alam raya atau dalam genggaman-Nya segala sesuatu, walaupun tentunya yang meyakini demikian, ada yang salah pilih ‘ilaah’nya.
Kata ‘Allah’ mempunyai kekhususan yang tidak dimiliki oleh kata selainnya, ia adalah kata-kata yang sempurna huruf-hurufnya, sempurna maknanya, serta memiliki kekhususan berkaitan dengan rahasianya, sehingga sementara ulama menyatakan bahwa kata itulah yang dinamai ‘Ismu-Ilaah al-A’zham (Nama Allah yang paling mulia). Yang bila diucapkan dalam do’a, Allah akan mengabulkannya. Dari segi lafaz terlihat keistimewaan ketika dihapus huruf-hurufnya. Bacalah kata ‘Allah’ dengan menghapus huruf awalnya, akan berbunyi ‘Lilaah’ dalam arti ‘milik/bagi Allah’, kemudian hapus huruf awal dari kata ‘Lilaah’, itu akan terbaca ‘Laahu’ dalam arti ‘bagi-Nya’, selanjutnya, hapus lagi huruf awal dari ‘Laahu’, akan terdengan dalam ucapan ‘Huu’, yang berarti ‘Dia (menunjuk Allah), dan apabila itupun dipersingkat akan terdengar suara ‘Ah’ yang sepintas atau pada lahirnya mengandung makna keluhan, tapi pada hakekatnya mengandung makna permohonan kepada Allah. Karena itu sementara ulama berkata bahwa kata ‘Allah’ terucap oleh manusia, sengaja atau tidak sengaja, suka atau tidak suka. Itulah salah satu bukti adanya ‘fitrah’ dalam diri manusia. Al-Qur’an juga menegaskan bahwa sikap orang-orang musyrik adalah :
38. Dan sungguh jika kamu bertanya kepada mereka: “Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?”, niscaya mereka menjawab: “Allah”. (Az Zumar)
dari segi makna dapat dikatakan bahwa kata ‘Allah’ mencakup segala sifat-sifat-Nya, bahkan Dia-lah yang menyandang nama-nama tersebut, karena itu jika anda berkata “Yaa..Allah..”, maka semua nama-nama/sifat-sifat-Nya telah tercakup oleh kata tersebut. Disisi lain, jika anda berkata ‘ar-Rahiim’, maka sesungguhnya yang anda maksud adalah Allah. Demikian juga ketika anda menyebut ‘al-Muntaqim’ (yang membalas kesalahan), namun kandungan makna ‘ar-Rahiim’ (Yang Maha Pengasih) tidak tercakup didalam pembalasan-Nya, atau sifat-sifat-Nya yang lain. Itulah salah satu sebab mengapa dalam syahadat seseorang selalu harus menggunakan kata ‘Allah’ ketika mengucapkan ‘Asyhadu an Laa Ilaaha Illa-llaah’ dan tidak dibenarkan menggantinya dengan nama-nama-Nya yang lain.
Demikianlah Allah, karena itu tidak heran jika ditemukan sekian banyak ayat di dalam Al-Qur’an yang memerintahkan orang-orang beriman agar memperbanyak zikir menyebut nama Allah, karena itu setiap perbuatan yang penting hendaknya dimulai dengan menyebut nama itu, nama Allah. Rasulullah bahkan mengajarkan lebih rinci lagi :”Tutuplah pintumu dan sebutlah nama Allah, padamkanlah lampumu dan sebutlah nama Allah, tutuplah periukmu dan sebutlan nama Allah, rapatkanlah kendi airmu dan sebutlah nama Allah…”