Jakarta - Dewan Pertimbangan (Wantim) MUI hari ini selesai menggelar rapat pleno membahas putusan Mahkamah Konstitusi terkait penghayat...
Ketua Dewan Pertimbangan MUI Din Syamsuddin mengatakan rapat pleno hari ini cukup membahas masalah aktual, seperti masalah putusan MK mengenai penghayat kepercayaan. Dia mengatakan rapat pleno selanjutnya akan dipercepat.
"Kalau seandainya dipandang urgen karena akhir tahun milad di bulan Desember, kita percepat rapat pleno yang akan datang. Kita mengundang Mendagri, Menteri Agama, dan mewakili DPR komisi terkait," kata Din setelah menutup rapat pleno di kantor MUI, Jl Proklamasi No 51, Jakarta Pusat, Rabu (22/11/2017).
Dari hasil rapat pleno yang sudah berlangsung ini, Dewan Pertimbangan MUI memutuskan menyerahkan pandangan MUI ke Dewan Pimpinan MUI terkait putusan MK. Dewan Pertimbangan tidak mengeluarkan pandangan secara resmi maupun tertulis mengenai hal ini.
"Rapat pleno memutuskan untuk menyerahkan kepada Dewan Pimpinan MUI untuk mengeluarkan pandangan dan sikap serta melakukan langkah-langkah konkret, persuasif, agar keputusan MK tidak membawa dampak luas dan negatif dalam kehidupan bangsa, khususnya umat Islam. Oleh karena itu, kami secara khusus tidak mengeluarkan pandangan dan sikap secara resmi dan secara tertulis," kata Din.
Selain itu, Din mengatakan hasil dari rapat pleno banyak yang menyampaikan penyesalan dan kekecewaan terhadap putusan MK. Ia mengatakan MK dalam membahas masalah dan memutuskan masalah penghayat kepercayaan seharusnya mengundang pihak-pihak terkait, seperti Menteri Agama.
"Sejak dulu dibahas oleh MK nyaris secara diam-diam dan tidak mengundang pihak-pihak yang seharusnya diundang. Pembentuk UU, DPR, pemerintah, tentu instansi negara terkait ini menyangkut agama seharusnya Kementerian Agama diundang, namun Menteri Agama menyampaikan kepada saya, Menteri Agama tidak diundang," kata Din.
(rvk/rvk)
Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia ( MUI) Ma'ruf Amin menyebut, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) soal penghayat kepercayaan tak mempertimbangkan kesepakatan di masyarakat.
Menurut dia, putusan itu bisa menuai persoalan di masyarakat.
"MK membuat keputusan yang hanya semata-mata berpegang kepada prinsip perundang-undangan, tanpa dia memperhatikan kesepakatan di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Itu yang mengandung masalah," ujar Ma'ruf ketika ditemui di Kompleks Istana Presiden, Rabu (15/11/2017).
Kesepakatan yang dimaksud adalah bahwa salah satu unsur identitas setiap warga negara adalah agama, bukan aliran kepercayaan.
Oleh sebab itu, akan menimbulkan gejolak jika aliran kepercayaan seorang warga negara dicantumkan di dalam KTP atau KK.
"Ya pastilah. Sekarang ini sudah timbul gejolak (di masyarakat) itu. Karena apa? Karena sudah ada kesepakatan politik sebelumnya," ujar Ma'ruf.
Meski demikian, MUI menyadari bahwa putusan MK bersifat final dan mengikat. Oleh sebab itu, MUI akan menggelar koordinasi internal untuk merespons persoalan itu.
"Jadi kita sedang mencarikan, seperti apa nanti solusinya. Lagi kita cari. Akan kita bahas seperti apa ini menyelesaikannya," ujar Ma'ruf.
MK mengabulkan permohonan uji materi terkait aturan pengosongan kolom agama pada KK dan KTP.
Hal itu diatur dalam Pasal 61 Ayat (1) dan (2), serta Pasal 64 Ayat (1) dan (5) UU No 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan juncto UU No 24 Tahun 2013 tentang UU tentang Administrasi Kependudukan.
Uji materi diajukan Nggay Mehang Tana, Pagar Demanra Sirait, Arnol Purba, dan Carlim dengan nomor perkara 97/PUU-XIV/2016.
Dalam putusannya, Majelis Hakim berpendapat bahwa kata “agama” dalam Pasal 61 Ayat (1) dan Pasal 64 Ayat (1) bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak termasuk penganut aliran kepercayaan.
Artinya, penganut aliran kepercayaan memiliki kedudukan hukum yang sama dengan pemeluk enam agama yang telah diakui pemerintah dalam memperoleh hak terkait administrasi kependudukan.
"Majelis Hakim mengabulkan permohonan para Pemohon untuk seluruhnya. Kedua, menyatakan kata 'agama' dalam Pasal 61 Ayat (1) dan Pasal 64 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak termasuk aliran kepercayaan," ujar Ketua MK Arief Hidayat saat membacakan putusan pada sidang di gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta Pusat, Selasa (7/11/2017).