Budha Gautama Mungkinkah ajaran-ajaran moral yang tinggi dari Budha itu seratus persen buatan manusia? Zaman kehidupan Budha berada ...
Budha Gautama
Mungkinkah ajaran-ajaran moral yang tinggi dari Budha itu seratus persen buatan manusia? Zaman kehidupan Budha berada pada kisaran abad ke-5 SM. Manusia pada zaman itu hidup dalam kebodohan dan kejahilan luar biasa. Jadi sangat kecil kemungkinan bahwa ajaran Budha adalah seratus persen buatan manusia. Kemungkinan yang lebih besar adalah bahwa ajaran Budha datang sebagai wahyu dari Allah kepada Budha untuk diwartakan kepada kaumnya.
Ada banyak alasan mengapa Budha pantas ‘dicurigai’ sebagai Nabiyullah.
“Para Utusan (Nabi & Rasul), mereka mengemban kabar baik dan memberi peringatan, agar manusia tak mempunyai alasan untuk menentang Allah setelah (datangnya) para Utusan. Dan Allah itu Maha-perkasa, Maha-bijaksana” (Q.S. 4:165).
Seorang Rasul biasanya diutus untuk suatu kaum dengan tujuan yang digambarkan dalam ayat di atas. Mengemban kabar baik berarti menunjukan hakekat-hakekat kebenaran dalam konsep Ketuhanan yang jelas serta membawa nubuat-nubuat masa depan yang baik. Memberi peringatan berarti meluruskan ‘penyimpangan’ –baik jasmaniah maupun ruhiyah– masyarakat.
Dari uraian tersebut, maka bisa diperoleh sekurangnya 6 alasan mengapa Budha pantas ‘dicurigai’ sebagai Nabiyullah.
1. Sangat sedikit sekali kisah-kisah Budha yang sanad-nya dapat dipertanggungjawabkan. Semua sanad tentang Budha tak ada yang sampai langsung kepada Budha. Jadi pendakwaan bahwa Budha adalah Tuhan atau bahwa ia seorang pemakan daging babi sangat diragukan. Beberapa ahli seperti Vedhayarti, E.W. Wallis Budge, dan Joseph Edkins, pernah membahas masalah ini secara khusus dalam buku-buku mereka.
2. Budha berdakwah di tengah suatu kaum yang jahil, seperti halnya Muhammad Saw berdakwah di tengah kaum Quraisy. Masyarakat Asia Selatan di masa Budha hidup adalah penyembah banyak tuhan (dewa) yang membagi masyarakat ke dalam kelas-kelas berdasarkan keturunan (kasta). Ajaran Budha menghapuskan semua itu. Inti ajaran yang berpusat kepada cinta, dharma, dan bakti merupakan sebuah perbaikan fisik dan psikis bagi masyarakat Asia Selatan yang sakit ketika itu.
3. Budha ‘mengalami pencerahan’ (Maitreya) saat menyepi di bawah pohon Kalpataru, sama halnya dengan Muhammad Saw. yang memperoleh ‘pencerahan’ saat menyepi di sebuah gua di Bukit Hira. Asumsi yang paling memungkinkan adalah Malaikat Jibril as. telah mendatangi Budha di lembah Bodhisatva untuk memberikan wahyu tentang hakekat kehidupan yang sesungguhnya.
4. Budha adalah seorang pangeran yang meninggalkan segala kemewahan istana untuk mengenakan pakaian kasar dan berkelana demi mencari hakekat kehidupan yang sesungguhnya. Bandingkan ini dengan Muhammad yang rela kehilangan posisi kebangsawanan Quraisy demi menyiarkan dakwah Islam. Sejarah mengisahkan bahwa para Nabi biasa diuji dengan terusir dari tengah-tengah keluarga atau kaumnya. Nabi Yusuf as terusir ke Mesir. Nabi Musa as terusir dari Mesir. Nabi Ayyub as terusir dari tengah-tengah keluarganya setelah menderita penyakit kulit. Nabi Daud as diusir oleh anaknya hingga mengungsi ke bukit Zion. Nabi Ibrahim as. pun terusir dari Babilonia.
5. Ada Hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas ra. bahwa ada seorang nabi yang dilahirkan sebagai anak raja. Allah mewahyukan kepadanya: “Aku akan mematikan engkau segera, karena itu serahkanlah kerajaan itu kepada orang lain sebagai pewarismu, dia harus menyembah Tuhan pada waktu malam dan menjalani puasa sepanjang hari. Dia tidak boleh marah selagi mengadili orang”. Para mufassir seperti Razi dan Mujahid menyebut bahwa nabi yang dimaksud adalah Dzulkifli as. Kisah Dzulkifli as. ini benar-benar sama dengan jalan hidup Budha. Bisa jadi Dzulkifli as. yang banyak disebut dalam Al Quran adalah Sidharta Gautama.
Tambahan, Al Quran terbiasa menyebut nama para nabi tidak dengan nama aslinya. Misalnya Isa as. Secara linguistik, tidak mungkin bernama ‘Isa’ karena ‘Isa’ adalah nama Arab. Isa as. menceramahi kaumnya dengan bahasa Aramaik, sehingga kemungkinan nama aslinya adalah ‘Essho’ atau Esau (bahasa Ibrani).
“Dan Ismail dan Idris dan Dhul-Kifli; semua itu orang yang sabar” (Q.S. 21:85).
6. Tuhan menyebut seorang nabi bernama Dzulkifli yang jelas bukan dari ras Israil atau Arab. Kisah Dzulkifli sebagaimana diberikan oleh Ibnu Abbas tidak ada padanannya dalam tradisi-tradisi Yahudi dan Kristiani dan kitab-kitab suci mereka. Mujahid memang mengira bahwa Dzulkifli adalah nama lain dari Ilyas as. dan Abu-Musa Asy’ari berkata bahwa Dzulkifli bukanlah seorang nabi. Tetapi Hasan ra. mengatakan kepada kita bahwa dia adalah seorang nabi karena namanya disebut di dalam surat ‘Para Nabi’ (Al-Anbiyya). Nama Dzul-Kifli disebut bersama-sama dengan Ismail dan Idris yang diakui sebagai nabi. Karena itu, dia seorang nabi juga.
7. Budha membawa kabar nubuat kedatangan Muhammad Saw. seperti halnya para Nabi lain sebelum Muhammad. Budha memang jelas tidak menyebut nama ’Muhammad’, seperti halnya Isa as. menyebut Muhammad dengan ‘Paraclete’ dan Musa as. menyebut Muhammad sebagai ‘seorang ksatria dari Pegunungan Sela Paran (Mekkah)’. ia menyebut Muhammad dengan nama ‘Maitreya’. Maitreya berarti cahaya. Seperti kita ketahui, Muhammad Saw dilambangkan sebagai cahaya semesta. Jadi Muhammad Saw adalah Maitreya yang dinantikan dalam ajaran Budha.
“Maitreya akan menjadi cahaya yang terakhir dan sempurna” (“Saddharam Pundrik” bab 94).
“Maitreya akan menjadi nabi yang menghapus beberapa syariat dan doktrin dari agama kuno mengingat keadaan sekitarnya” (“Sacred Books of the East”, jilid 49).
“Ibunda Maitreya kelak seorang bangsawan dan rupawan. Dia adalah puteranya yang pertama” (Maha Vastu I:197, Lalit Vistar 25:5, 23:10).
Selain itu, masih banyak alasan lain mengapa Buddha adalah Dzulkifli yang diceritakan di dalam Al Quran. Dia beriman kepada kitab(wahyu)-nya sendiri dan meramalkan datangnya Muhammad (Maitreya Buddha) yang mirip dirinya. Karena itu, Allah menyebutnya ‘Dzul-kifli’ (penerima pahala ganda).
“Dan (Kami telah mengutus) para Utusan, yang sebelumnya telah Kami kisahkan kepada engkau, dan para Utusan yang tak Kami kisahkan kepada engkau”. (Q.S. 4:164).
Ada banyak alasan mengapa Budha pantas ‘dicurigai’ sebagai Nabiyullah.
“Para Utusan (Nabi & Rasul), mereka mengemban kabar baik dan memberi peringatan, agar manusia tak mempunyai alasan untuk menentang Allah setelah (datangnya) para Utusan. Dan Allah itu Maha-perkasa, Maha-bijaksana” (Q.S. 4:165).
Seorang Rasul biasanya diutus untuk suatu kaum dengan tujuan yang digambarkan dalam ayat di atas. Mengemban kabar baik berarti menunjukan hakekat-hakekat kebenaran dalam konsep Ketuhanan yang jelas serta membawa nubuat-nubuat masa depan yang baik. Memberi peringatan berarti meluruskan ‘penyimpangan’ –baik jasmaniah maupun ruhiyah– masyarakat.
Dari uraian tersebut, maka bisa diperoleh sekurangnya 6 alasan mengapa Budha pantas ‘dicurigai’ sebagai Nabiyullah.
1. Sangat sedikit sekali kisah-kisah Budha yang sanad-nya dapat dipertanggungjawabkan. Semua sanad tentang Budha tak ada yang sampai langsung kepada Budha. Jadi pendakwaan bahwa Budha adalah Tuhan atau bahwa ia seorang pemakan daging babi sangat diragukan. Beberapa ahli seperti Vedhayarti, E.W. Wallis Budge, dan Joseph Edkins, pernah membahas masalah ini secara khusus dalam buku-buku mereka.
2. Budha berdakwah di tengah suatu kaum yang jahil, seperti halnya Muhammad Saw berdakwah di tengah kaum Quraisy. Masyarakat Asia Selatan di masa Budha hidup adalah penyembah banyak tuhan (dewa) yang membagi masyarakat ke dalam kelas-kelas berdasarkan keturunan (kasta). Ajaran Budha menghapuskan semua itu. Inti ajaran yang berpusat kepada cinta, dharma, dan bakti merupakan sebuah perbaikan fisik dan psikis bagi masyarakat Asia Selatan yang sakit ketika itu.
3. Budha ‘mengalami pencerahan’ (Maitreya) saat menyepi di bawah pohon Kalpataru, sama halnya dengan Muhammad Saw. yang memperoleh ‘pencerahan’ saat menyepi di sebuah gua di Bukit Hira. Asumsi yang paling memungkinkan adalah Malaikat Jibril as. telah mendatangi Budha di lembah Bodhisatva untuk memberikan wahyu tentang hakekat kehidupan yang sesungguhnya.
4. Budha adalah seorang pangeran yang meninggalkan segala kemewahan istana untuk mengenakan pakaian kasar dan berkelana demi mencari hakekat kehidupan yang sesungguhnya. Bandingkan ini dengan Muhammad yang rela kehilangan posisi kebangsawanan Quraisy demi menyiarkan dakwah Islam. Sejarah mengisahkan bahwa para Nabi biasa diuji dengan terusir dari tengah-tengah keluarga atau kaumnya. Nabi Yusuf as terusir ke Mesir. Nabi Musa as terusir dari Mesir. Nabi Ayyub as terusir dari tengah-tengah keluarganya setelah menderita penyakit kulit. Nabi Daud as diusir oleh anaknya hingga mengungsi ke bukit Zion. Nabi Ibrahim as. pun terusir dari Babilonia.
5. Ada Hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas ra. bahwa ada seorang nabi yang dilahirkan sebagai anak raja. Allah mewahyukan kepadanya: “Aku akan mematikan engkau segera, karena itu serahkanlah kerajaan itu kepada orang lain sebagai pewarismu, dia harus menyembah Tuhan pada waktu malam dan menjalani puasa sepanjang hari. Dia tidak boleh marah selagi mengadili orang”. Para mufassir seperti Razi dan Mujahid menyebut bahwa nabi yang dimaksud adalah Dzulkifli as. Kisah Dzulkifli as. ini benar-benar sama dengan jalan hidup Budha. Bisa jadi Dzulkifli as. yang banyak disebut dalam Al Quran adalah Sidharta Gautama.
Tambahan, Al Quran terbiasa menyebut nama para nabi tidak dengan nama aslinya. Misalnya Isa as. Secara linguistik, tidak mungkin bernama ‘Isa’ karena ‘Isa’ adalah nama Arab. Isa as. menceramahi kaumnya dengan bahasa Aramaik, sehingga kemungkinan nama aslinya adalah ‘Essho’ atau Esau (bahasa Ibrani).
“Dan Ismail dan Idris dan Dhul-Kifli; semua itu orang yang sabar” (Q.S. 21:85).
6. Tuhan menyebut seorang nabi bernama Dzulkifli yang jelas bukan dari ras Israil atau Arab. Kisah Dzulkifli sebagaimana diberikan oleh Ibnu Abbas tidak ada padanannya dalam tradisi-tradisi Yahudi dan Kristiani dan kitab-kitab suci mereka. Mujahid memang mengira bahwa Dzulkifli adalah nama lain dari Ilyas as. dan Abu-Musa Asy’ari berkata bahwa Dzulkifli bukanlah seorang nabi. Tetapi Hasan ra. mengatakan kepada kita bahwa dia adalah seorang nabi karena namanya disebut di dalam surat ‘Para Nabi’ (Al-Anbiyya). Nama Dzul-Kifli disebut bersama-sama dengan Ismail dan Idris yang diakui sebagai nabi. Karena itu, dia seorang nabi juga.
7. Budha membawa kabar nubuat kedatangan Muhammad Saw. seperti halnya para Nabi lain sebelum Muhammad. Budha memang jelas tidak menyebut nama ’Muhammad’, seperti halnya Isa as. menyebut Muhammad dengan ‘Paraclete’ dan Musa as. menyebut Muhammad sebagai ‘seorang ksatria dari Pegunungan Sela Paran (Mekkah)’. ia menyebut Muhammad dengan nama ‘Maitreya’. Maitreya berarti cahaya. Seperti kita ketahui, Muhammad Saw dilambangkan sebagai cahaya semesta. Jadi Muhammad Saw adalah Maitreya yang dinantikan dalam ajaran Budha.
“Maitreya akan menjadi cahaya yang terakhir dan sempurna” (“Saddharam Pundrik” bab 94).
“Maitreya akan menjadi nabi yang menghapus beberapa syariat dan doktrin dari agama kuno mengingat keadaan sekitarnya” (“Sacred Books of the East”, jilid 49).
“Ibunda Maitreya kelak seorang bangsawan dan rupawan. Dia adalah puteranya yang pertama” (Maha Vastu I:197, Lalit Vistar 25:5, 23:10).
Selain itu, masih banyak alasan lain mengapa Buddha adalah Dzulkifli yang diceritakan di dalam Al Quran. Dia beriman kepada kitab(wahyu)-nya sendiri dan meramalkan datangnya Muhammad (Maitreya Buddha) yang mirip dirinya. Karena itu, Allah menyebutnya ‘Dzul-kifli’ (penerima pahala ganda).
“Dan (Kami telah mengutus) para Utusan, yang sebelumnya telah Kami kisahkan kepada engkau, dan para Utusan yang tak Kami kisahkan kepada engkau”. (Q.S. 4:164).
Sejarah Agama Budha
Agama Buddha lahir di negara India, lebih tepatnya lagi di wilayah Nepal sekarang, sebagai reaksi terhadap agamaBrahmanisme. Sejarah agama Buddha mulai dari abad ke-6 SM sampai sekarang dari lahirnya Siddharta Gautama. Dengan ini, ini adalah salah satu agama tertua yang masih dianut di dunia. Agama Buddha berkembang dengan unsur kebudayaan India, ditambah dengan unsur-unsur kebudayaan Helenistik (Yunani), Asia Tengah, Asia Timur dan Asia Tenggara. Dalam proses perkembangannya, agama ini praktis telah menyentuh hampir seluruh benua Asia dan telah menjadi agama mayoritas di beberapa negara Asia seperti Thailand, Singapura, Kamboja, Myanmar, Taiwan, dsb. Pencetusnya ialah Siddhartha Gautamayang dikenal sebagai Gautama Buddha oleh pengikut-pengikutnya. Ajaran Buddha sampai ke negara Tiongkok pada tahun 399Masehi, dibawa oleh seorang bhiksu bernama Fa Hsien. Masyarakat Tiongkok mendapat pengaruhnya dari Tibet disesuaikan dengan tuntutan dan nilai lokal.
Setiap aliran Buddha berpegang kepada Tripitaka sebagai rujukan utama karena dalamnya tercatat sabda dan ajaran sang hyang Buddha Gautama. Pengikut-pengikutnya kemudian mencatat dan mengklasifikasikan ajarannya dalam 3 buku yaituSutta Piṭaka (kotbah-kotbah Sang Buddha), Vinaya Piṭaka (peraturan atau tata tertib para bhikkhu) dan Abhidhamma Piṭaka(ajaran hukum metafisika dan psikologi)
Perlu ditekankan bahwa Buddha bukan Tuhan. Konsep ketuhanan dalam agama Buddha berbeda dengan konsep dalam agama Samawi dimana alam semesta diciptakan oleh Tuhan dan tujuan akhir dari hidup manusia adalah kembali ke surga ciptaan Tuhan yang kekal.
Ketahuilah para bhikkhu bahwa ada sesuatu Yang Tidak Dilahirkan, Yang Tidak Menjelma, Yang Tidak Tercipta, Yang Mutlak. Duhai para Bhikkhu, apabila tidak ada Yang Tidak Dilahirkan, Yang Tidak Menjelma, Yang Tidak Diciptakan, Yang Mutlak, maka tidak akan mungkin kita dapat bebas dari kelahiran, penjelmaan, pembentukan, pemunculan dari sebab yang lalu. Tetapi para bhikkhu, karena ada Yang Tidak Dilahirkan, Yang Tidak Menjelma, Yang Tidak Tercipta, Yang Mutlak, maka ada kemungkinan untuk bebas dari kelahiran, penjelmaan, pembentukan, pemunculan dari sebab yang lalu.
|
”
|
Ungkapan di atas adalah pernyataan dari Buddha yang terdapat dalam Sutta Pitaka, Udana VIII : 3, yang merupakan konsep Ketuhanan Yang Mahaesa dalam agama Buddha. Ketuhanan Yang Mahaesa dalam bahasa Pali adalah Atthi Ajatang Abhutang Akatang Asamkhatang yang artinya "Suatu Yang Tidak Dilahirkan, Tidak Dijelmakan, Tidak Diciptakan dan Yang Mutlak". Dalam hal ini, Ketuhanan Yang Maha Esa adalah suatu yang tanpa aku (anatta), yang tidak dapat dipersonifikasikan dan yang tidak dapat digambarkan dalam bentuk apa pun. Tetapi dengan adanya Yang Mutlak, yang tidak berkondisi (asamkhata) maka manusia yang berkondisi (samkhata) dapat mencapai kebebasan dari lingkaran kehidupan (samsara) dengan cara bermeditasi.
Dengan membaca konsep Ketuhanan Yang Maha Esa ini, kita dapat melihat bahwa konsep Ketuhanan dalam agama Buddha adalah berlainan dengan konsep Ketuhanan yang diyakini oleh agama-agama lain. Perbedaan konsep tentang Ketuhanan ini perlu ditekankan di sini, sebab masih banyak umat Buddha yang mencampur-adukkan konsep Ketuhanan menurut agama Buddha dengan konsep Ketuhanan menurut agama-agama lain sehingga banyak umat Buddha yang menganggap bahwa konsep Ketuhanan dalam agama Buddha adalah sama dengan konsep Ketuhanan dalam agama-agama lain.
Bila kita mempelajari ajaran agama Buddha seperti yang terdapat dalam kitab suci Tripitaka, maka bukan hanya konsep Ketuhanan yang berbeda dengan konsep Ketuhanan dalam agama lain, tetapi banyak konsep lain yang tidak sama pula. Konsep-konsep agama Buddha yang berlainan dengan konsep-konsep dari agama lain antara lain adalah konsep-konsep tentang alam semesta, terbentuknya Bumi dan manusia, kehidupan manusia di alam semesta, kiamat dan Keselamatan atau Kebebasan.
Di dalam agama Buddha tujuan akhir hidup manusia adalah mencapai kebuddhaan (anuttara samyak sambodhi) atau pencerahan sejati dimana satu makhluk tidak perlu lagi mengalami proses tumimbal lahir. Untuk mencapai itu pertolongan dan bantuan pihak lain tidak ada pengaruhnya. Tidak ada dewa - dewi yang dapat membantu, hanya dengan usaha sendirilah kebuddhaan dapat dicapai. Buddha hanya merupakan contoh, juru pandu, dan guru bagi makhluk yang perlu melalui jalan mereka sendiri, mencapai pencerahan rohani, dan melihat kebenaran & realitas sebenar-benarnya
Dalam ajaran agama Buddha, Sang Buddha bukanlah Tuhan dalam agama Buddha yang bersifat non-teis (yakni, pada umumnya tidak mengajarkan keberadaan Tuhan sang pencipta, atau bergantung kepada Tuhan sang pencipta demi dalam usaha mencapai pencerahan; Sang Buddha adalah pembimbing atau guru yang menunjukkan jalan menuju nirwana).
Pandangan umum tentang Tuhan menjelaskan suatu keberadaan yang tidak hanya memimpin tetapi juga menciptakan alam semesta. Pemikiran dan konsep tentang inilah yang sering diperdebatkan oleh banyak Buddhis dalam perpecahan agama Buddha. Dalam agama Buddha, asal muasal dan penciptaan alam semesta bukan berasal dari Tuhan, melainkan karena hukum sebab dan akibat yang telah disamarkan oleh waktu. Bagaimanapun, beberapa Sutra Mahayana tertentu (seperti Sutra Nirwana dan Sutra Teratai) dan terutama tantra-tantra tertentu seperti Kunjed Gyalpo Tantra memberikan menunjukkan bahwa sikap memandang Buddha yang maha hadir, mempunyai intisari yang membebaskan dan abadi kenyataan dari segala benda, sampai sejauh ini, boleh dibilang sudah mendekati pandangan Tuhan sebagai segalanya.
Moral dalam Buddhisme
Sebagai mana agama Islam dan Kristen ajaran Buddha juga menjunjung tinggi nilai-nilai kemoralan. Nilai-nilai kemoralan yang diharuskan untuk umat awam umat Buddha biasanya dikenal dengan Pancasila. Kelima nilai-nilai kemoralan untuk umat awam adalah:
- Panatipata Veramani Sikkhapadam Samadiyami
- Adinnadana Veramani Sikkhapadam Samadiyami
- Kamesu Micchacara Veramani Sikhapadam
- Musavada Veramani Sikkhapadam Samadiyami
- Surameraya Majjapamadatthana Veramani Sikkhapadam Samadiyami
Yang artinya:
- Aku bertekad akan melatih diri menghindari pembunuhan makhluk hidup.
- Aku bertekad akan melatih diri menghindari pencurian/mengambil barang yang tidak diberikan.
- Aku bertekad akan melatih diri menghindari melakukan perbuatan asusila
- Aku bertekad akan melatih diri menghidari melakukan perkataan dusta
- Aku bertekad akan melatih diri menghindari makanan atau minuman yang dapat menyebabkan lemahnya kesadaran
Selain nilai-nilai moral di atas, agama Buddha juga amat menjunjung tinggi karma sebagai sesuatu yang berpegang pada prinsip sebab akibat. Kamma (bahasa Pali) atau Karma (bahasa Sanskerta) berarti perbuatan atau aksi. Jadi ada aksi atau karma baik dan ada pula aksi atau karma buruk. Saat ini, istilah karma sudah terasa umum digunakan, namun cenderung diartikan secara keliru sebagai hukuman turunan/hukuman berat dan lain sebagainya. Guru Buddha dalam Nibbedhika Sutta; Anguttara Nikaya 6.63 menjelaskan secara jelas arti dari kamma:
”Para bhikkhu, cetana (kehendak)lah yang kunyatakan sebagai kamma. Setelah berkehendak, orang melakukan suatu tindakan lewat tubuh, ucapan atau pikiran.”
Jadi, kamma berarti semua jenis kehendak (cetana), perbuatan yang baik maupun buruk/jahat, yang dilakukan oleh jasmani (kaya), perkataan (vaci) dan pikiran (mano), yang baik (kusala) maupun yang jahat (akusala).
Kamma atau sering disebut sebagai Hukum Kamma merupakan salah satu hukum alam yang berkerja berdasarkan prinsip sebab akibat. Selama suatu makhluk berkehendak, melakukan kamma (perbuatan) sebagai sebab maka akan menimbulkan akibat atau hasil. Akibat atau hasil yang ditimbulkan dari kamma disebut sebagai Kamma Vipaka.
AJARAN BUDDHISME
Ajaran dasar Buddhisme dikenal sebagai Empat Kebenaran Mulia, yang meliputi:
- Dukkha Ariya Sacca (Kebenaran Arya tentang Dukkha),
Dukha ialah penderitaan. Dukha menjelaskan bahwa ada lima pelekatan kepada dunia yang merupakan penderitaan. Kelima hal itu adalah kelahiran, umur tua, sakit, mati, disatukan dengan yang tidak dikasihi, dan tidak mencapai yang diinginkan.
- Dukkha Samudaya Ariya Sacca (Kebenaran Ariya tentang Asal Mula Dukkha),
Samudaya ialah sebab. Setiap penderitaan pasti memiliki sebab, contohnya: yang menyebabkan orang dilahirkan kembali adalah adanya keinginan kepada hidup.
- Dukkha Nirodha Ariya Sacca (Kebenaran Ariya tentang Terhentinya Dukkha),
Nirodha ialah pemadaman. Pemadaman kesengsaraan dapat dilakukan dengan menghapus keinginan secara sempurna sehingga tidak ada lagi tempat untuk keinginan tersebut.
- Dukkha Nirodha Ariya Sacca (Kebenaran Ariya tentang Jalan yang Menuju Terhentinya Dukkha).
Marga ialah jalan kelepasan. Jalan kelepasan merupakan cara-cara yang harus ditempuh kalau kita ingin lepas dari kesengsaraan. Delapan jalan kebenaran akan dibahas lebih mendalam pada pokok pembahasan yang selanjutnya.
Inti ajaran Buddha menjelaskan bahwa hidup adalah untuk menderita. Jika di dunia ini tidak ada penderitaan, maka Buddha pun tidak akan menjelma di dunia. Semua hal yang terjadi pada manusia merupakan wujud dari penderitaan itu sendiri. Saat hidup, sakit, dipisahkan dari yang dikasihi dan lain-lain, merupakan wujud penderitaan seperti yang sudah dijelaskan diatas. Bahkan kesenangan yang dialami manusia, dianggap sebagai sumber penderitaan karena tidak ada kesenangan yang kekal di dunia ini. Kesenangan atau kegirangan bergantung kepada ikatannya dengan sumber kesenangannya itu, padahal sumber kesenangan tadi berada di luar diri manusia. Sumber itu tidak mungkin dipengang atau diraba oleh manusia, karena tidak ada sesuatu yang tetap berada. Semua penderitaan disebabkan karena kehausan. Untuk menerangkan hal ini diajarkanlah yang disebut pratitya samutpada, artinya pokok permulaan yang bergantungan. Setiap kejadian pasti memiliki keterkaitan dengan pokok permulaan yang sebelumnya. Ada 12 pokok permulaan yang menjadi fokus pratitya samutpada.
Agar terlepas dari penderitaan mereka mereka harus melalui Jalan Utama Berunsur Delapan Sradha atau iman, yaitu:
- Percaya yang benar (Samma ditthi).
Sraddha atau iman yang terdiri dari “percaya yang benar” ini memberikan pendahuluan yang terdiri dari: Percaya dan menyerahkan diri kepada Buddha sebagai guru yang berwenang mengajarkan kebenaran, percaya menyerahkan diri kepada dharma atau ajaran buddha, sebagai yang membawanya kepada kelepasan, dan percaya setelah menyerahkan diri kepada jemaat sebagai jalan yang dilaluinya. Sila yaitu usaha untuk mencapai moral yang tinggi. - Maksud yang benar (Samma sankappa), merupakan hasil “percaya yang benar” yakin bahwa jalan petunjuka budha adalah jalan yang benar
- Kata-kata yang benar (Samma vaca), maksudnya orang harus menjauhkan diri dari kebohongan dan membicarakan kejahatan orang lain, mengucapkan kata-kata yang kasar, serta melakukan percakapan yang tidak senonoh.
- Perbuatan yang benar (Samma kammanta), maksudnya bahwa dalam segala perbuatan orang tak boleh mencari keuntungan sendiri.
- Hidup yang benar (Samma ajiva), maksudnya secara lahir dan batin orang harus murni atau bebas dari penipuan diri
- Usaha yang benar (Samma vayama), maksudnya seperti pengawasan hawa nafsu agar jangan sampai terjadi tabiat-tabiat yang jahat.
- Ingatan yang benar (Samma sati), maksudnya pengawasan akal, rencana atau emosi yang merusak kesehatan moral
- Semadi yang benar (Samma samadhi)
Semadi itu sendiri terbagi menjadi 2 bagian yaitu persiapan atau upcara semadi dan semadinya sendiri. Persiapan atau upacara semadi ini maksudnya kita harus merenungi kehidupan dalam agamannya seperti 7 jalan kebenaran yang dibahas tadi dengan empat bhawana,yaitu: metta (persahabatan yang universal), karuna (belas kasih yang universal), mudita (kesenangan dalam keuntungan dan akan segala sesuatu), dan upakkha (tidak tergerak oleh apa saja yang menguntungkan diri sendiri, teman, musuh dan sebagainya. Sesudah merenungkan hal-hal tersebut barulah masuk kedalam semadi yang sebenarnya dalam 4 tingkatan yaitu: mengerti lahir dan batinnya, mendapatkan damai batiniahnya, menghilangkan kegirangannya sehingga menjadi orang yang tenang, sampai akhirnya sukha dan dukha lenyap dari semuanya, dan rasa hatinya disudikan. Dengan demikianlah orang sampai pada kelepasan dari penderitaan.
Secara umum sama dengan aliran agama Buddha lainnya, Theravada mengajarkan mengenai pembebasan akan dukkha (penderitaan) yang ditempuh dengan menjalankan sila (kemoralan), samadhi (konsentrasi) dan panna (kebijaksanaan).
Agama Buddha Theravada hanya mengakui Buddha Gautama sebagai Buddha sejarah yang hidup pada masa sekarang. Meskipun demikian Theravada mengakui pernah ada dan akan muncul Buddha-Buddha lainnya.
Dalam Theravada terdapat 2 jalan yang dapat ditempuh untuk mencapai Pencerahan Sempurna yaitu Jalan Arahat(Arahatship) dan Jalan Kebuddhaan (Buddhahood).