CATATAN SEJARAH RAKYAT ISLAM INDONESIA 1905 - 1962 diterbitkan oleh: Episentrum Pengkajian Islam dan Riset Sosial -EMPIRIS- Dalam ...
CATATAN SEJARAH RAKYAT ISLAM INDONESIA 1905 - 1962
diterbitkan oleh:
Episentrum Pengkajian Islam dan Riset Sosial
-EMPIRIS-
Dalam sejarah perjuangan untuk merebut kemerdekaan terdapat tiga golongan kelompok besar yang bisa dikelani cirikhasnya dengan perbedaan yang mencolok,namun memiliki visi dan misi yang sama.
ketiga golongan tersebut adalah golongan islam,golongan nasionalis dan golongan sosialis-komunis,kami akan menguraikanya satu persatu kedalam 3 buah judul artikel.
ISLAM
17 Juli 1905
Di Jakarta berdiri perkumpulan al-Jam’iyat al-Khairiyah, yang mendirikan sekolah dasar untuk masyarakat Arab. Kurikulumnya modern, karena yang diajarkan di sekolah itu bukan hanya pelajaran agama, tetapi juga berhitung, sejarah, geografi dan lain-lain.
16 Oktober 1905
Syarikat Dagang Islam (SDI) berdiri di kampung Sondokan, Solo, oleh Haji Samanhudi, Sumowardoyo, Wiryotirto, Suwandi, Suryopranoto, Jarmani, Haryosumarto, Sukir dan Martodikoro.
Pengurus pertama Syarikat Dagang Islam (SDI):
1. Ketua : Haji Samanhudi
2. Penulis I : Sumowardoyo
3. Penulis II : Sukir
4. Pembantu : Jamal Surodisastro
5. Pembantu keuangan : Sukir dan Haji Saleh
6. Pembantu : Haryosumarto
7. Pembantu : Wiryosutirto
8. Pembantu : Atmo
Asas dan tujuan SDI:
1. Mengutamakan sosial ekonomi.
2. Mempersatukan pedagang-pedagang batik.
3. Mempertinggi derajat bumiputra.
4. Memajukan agama dan sekolah-sekolah Islam.
Latar-belakang pendirian SDI :
1. Kompetisi yang meningkat dalam bidang perdagangan batik, terutama terhadap golongan Cina.
2. Sikap superioritas orang-orang Cina terhadap orang-orang Indonesia sehubungan dengan berhasilnya Revolusi Cina (1911).
3. Adanya tekanan oleh masyarakat Indonesia di Solo (dari kalangan bangsawan mereka sendiri).
Tahun 1905
Gerakan reformasi dan modernisasi ini meluas di Minangkabau dan perintisnya adalah Syekh Thaher Jalaluddin. Majalah al-Iman adalah alat penyebar Reformisme keluar Minangkabau, di samping memuat ajaran agama dan peristiwa-peristiwa penting dunia.
Tahun 1909
Tirtoadisuryo mendirikan Sarekat Dagang Islamiah (SDI) di Batavia.
Pada tahun yang sama, H. Abdullah Akhmad mendirikan majalah al-Munir di Padang, yang bertujuan menyebarkan agama Islam yang sesungguhnya dan terbit di Padang tahun 1910-1916.
Tahun 1910
Tirtoadisuryo mendirikan perusahaan dagang Sarekat Dagang Islamiah NV di Bogor. Kedua organisasi tersebut (SDI Batavia dan Bogor) dimaksudkan untuk membantu pedagang-pedagang bangsa Indonesia dalam menghadapi saingan orang-orang Cina.
Tahun 1911
Ambon’s Bond didirikan oleh pegawai negeri di Ambonia, untuk memajukan pengajaran dan penghidupan rakyat Ambon. Haji Abdulhalim mendirikan Persyarikatan Ulama di Ciberelang, Majalengka, yang bergerak di bidang pendidikan dan ekonomi.
11 Juni 1912
Cokroaminoto masuk SI bersama Hasan Ali Surati, seorang keturunan India kaya, yang kelak kemudian memegang keuangan surat kabar SI, Utusan Hindia. Cokroaminoto kemudian duduk sebagai pemimpin Syarikat Islam.
12 Agustus 1912
Residen Surakarta membekukan SDI setelah organisasi itu berkembang cepat ke daerah-daerah lain di Jawa dan setelah kegiatan-kegiatan pada anggotanya di Solo meningkat tanpa dapat diawasi oleh penguasa setempat. Perkelahian terus-menerus terjadi dengan golongan Cina; sebuah pemogokan dilancarkan oleh pekerja-pekerja di perkebunan Krapyak di Mangkunegaran pada permulaan bulan Agustus 1912. Kedua macam kerusuhan ini menurut pihak penguasa disebabkan oleh Sarekat Islam.
Rijksbestuur Solo atas perintah Residen Belanda melarang untuk sementara waktu SI bekerja, karena SI di anggap berbahaya bagi ketertiban umum, membuat huru-hara di Solo, terutama terhadap kaum dagang Cina. Selain di larang bersidang dan menerima anggota baru, pemimpinnya mengalami penggeledahan, tetapi tidak berhasil.
10 September 1912
Sampai dengan awal tahun 1912, Syarikat Dagang Islam masih memakai anggaran dasar yang lama yang di buat oleh Haji Samanhudi. Karena beliau tidak puas atas anggaran dasar itu, maka beliau menugaskan kepada Cokroaminoto di Surabaya yang baru masuk Syarikat Islam, supaya membuat anggaran dasar yang baru yang disahkan di depan Notaris pada tanggal 10 September 1912. Sehingga Syarikat Dagang Islam (SDI) berganti nama menjadi Syarikat Islam (SI).
Cokroaminoto mensosialisasikan PAN-Islamisme dengan target:
1. Kemerdekaan dari Penjajahan
2. Kemerdekaan Islam
3. Kemerdekaan Dunia Islam
Syarikat Islam telah meletakkan dasar perjuangannya atas tiga prinsip dasar, yaitu:
a. Asas agama Islam sebagai dasar perjuangan organisasi.
b. Asas kerakyatan sebagai dasar himpunan organisasi.
c. Asas sosial ekonomi sebagai usaha untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat yang umumnya berada dalam taraf kemiskinan dan kemelaratan.
18 Nopember 1912
Di Yogyakarta, berdiri Muhammadiyah yang didirikan oleh K.H. Ahmad Dahlan. Muhammadiyah di sebagian besar programnya sangat mencurahkan pada usaha-usaha pendidikan serta kesejahteraan sekaligus gencar melakukan kegiatan program dakwah guna melawan usaha-usaha Kristenisasi yang mulai menjamur di daerah Jawa, juga memberantas ketakhayulan-ketakhayulan lokal yang memang sudah menjadi kepercayaan di kalangan rakyat. Muhammadiyah bertujuan memajukan pengajaran berdasarkan agama, pengertian ilmu agama dan hidup menurut peraturan agama.
26 Januari 1913
Dalam rapat raksasa SI di Kebun Binatang Surabaya, Umar Sa’id Cokroaminoto menegaskan bahwa tujuan SI adalah menghidupkan jiwa dagang bangsa Indonesia, memperkuat ekonominya agar mampu bersaing dengan bangsa asing. Usaha di bidang ekonomi tampak sekali, khususnya dengan berdirinya koperasi di Surabaya, PT. “Setia Usaha”, penerbitan surat kabar “Utusan Hindia”, menyelenggarakan penggilingan padi dan juga mendirikan bank.
Kongres SI pertama yang di pimpin oleh Cokroaminoto, yang antara lain menerangkan bahwa SI bukan partai politik dan tidak beraksi melawan Pemerintah Belanda. Walaupun begitu, dengan agama Islam sebagai lambang persatuan dan dengan penuh kemauan mempertinggi derajat rakyat, SI tersebar di seluruh Jawa bagai banjir yang hebat sekali. Ditentukan H. Samanhudi sebagai Bapak SI, Sentral Komite SI didirikan (di susun).
23 Maret 1913
Kongres umum SI kedua di Surakarta, yang diselenggarakan di taman istana Susuhunan. Dalam kongres itu diputuskan bahwa SI hanya terbuka untuk bangsa Indonesia dan pegawai pangreh praja seberapa tidak akan di beri masuk, tindakan ini di pandang perlu agar tidak berubah corak SI sebagai organisasi rakyat.
Dalam kongres terpilih H. Samanhudi sebagai ketua dan Cokroaminoto sebagai wakil ketua. Gejala konflik internal telah timbul di permukaan dan kepercayaan terhadap Central Sarikat Islam mulai berkurang. Namun Cokroaminoto tetap mempertahankan keutuhan dengan mengatakan bahwa kecenderungan untuk memisahkan diri dari CSI harus di kutuk. 30 Juni 1913
Belanda menolak permintaan SI supaya disahkan menjadi badan hukum (rechtspersoon) karena anggota SI terlalu banyak. Belanda sanggup mengesahkan perkumpulan SI ke tempat-tempat yang tidak besar jumlah anggotanya. Pemerintah Belanda menetapkan bahwa cabang-cabang harus berdiri sendiri untuk daerahnya masing-masing (SI daerah). Pemerintah tidak berkeberatan SI-SI daerah itu bekerja bersama-sama dengan badan perwakilan Pengurus Sentral
Tujuan anggaran dasar (yang semua sama) dari SI daerah-daerah itu antara lain adalah dengan mengingat peraturan agama Islam:
a. Memajukan pertanian, perdagangan, kesehatan, pendidikan dan pengajaran.
b. Memajukan hidup menurut perintah agama dan menghilangkan faham-faham keliru tentang agama
c. Mempertebal rasa persaudaraan dan saling tolong-menolong di antara anggotanya.
18 Pebruari 1914
Pengurus CSI pertama ditetapkan dalam suatu pertemuan di Yogyakarta, yang terdiri atas H. Samanhudi sebagai Ketua Kehormatan, Cokroaminoto sebagai Ketua dan Raden Gunawan sebagai Wakil Ketua. Pengurus CSI ini diakui pemerintah tanggal 18 Maret 1916.
Tahun 1914
Gerakan Islam modern juga dilakukan oleh keturunan Arab. Kelompok Arab yang bukan keturunan Sayid mendirikan perkumpulan al-Irsyad pada tahun 1914 (al-Irsyad berdiri dari pecahan al-Jam’iyat al-Khariyah), dengan bantuan Syekh Ahmad Syurkati. Organisasi ini menekankan persamaan antara ummat manusia dan berlawanan dengan pendirian golongan Sayid, yaitu golongan yang mengaku keturunan Nabi.
Sementara itu, ada pihak yang tidak sependapat dengan Ahmad Syurkati tentang madzab, mendirikan organisasi sendiri yang di sebut ar-Rabithah al-‘Alawiyah. Organisasi yang sehaluan dengan al-Irsyad, yaitu Muhammadiyah, Persis, Thawalib, sedangkan yang bersimpati dengan ar-Rabithah, yaitu Persatuan Tarbiyatul Islamiyah, Jam’iyatul Washliyah, Musyawaratut Thalibin.
Tahun 1915
Sesudah lebih dari 50 SI daerah berdiri, lalu didirikan Central Sarekat Islam (CSI). Maksud tujuan Badan
Sentral ini memajukan dan membantu SI daerah, mengadakan dan memelihara perhubungan dan pekerjaan bersama di antaranya.
30 Januari 1916
Pertemuan antara berbagai perkumpulan SI Jawa Barat dan Sumatra Selatan di Jakarta. Tujuan rapat yang diadakan Gunawan ialah membicarakan hubungan antara perkumpulan-perkumpulan ini dan CSI. Sebuah usul membentuk CSI kedua untuk Jawa Barat dan Sumatra Selatan di samping CSI yang telah ada di terima setelah perdebatan yang lama dan seru. H. Samanhudi dan Gunawan terpilih masing-masing sebagai ketua dan wakil ketua CSI yang memisahkan diri. Dari perkumpulan-perkumpulan SI di Jawa Barat, Gunawan dan Samanhudi hanya mendapat sedikit dukungan, yaitu Cikalong, Bogor dan Sukabumi. Cabang-cabang yang lain di Jawa Barat menyatakan sikap netral. Cabang Bandung menyatakan tetap setia kepada CSI yang lama. Sikap perkumpulan-perkumpulan di Sumatra Selatan, kecuali di Bengkulu, tidak seluruhnya jelas.
Januari 1916
CSI menyetujui adanya aksi Comite Indie Weerbaar serta mengambil mosi tentang itu dan mewakilkan Abdul Muis akan menyampaikan mosi itu kepada Ratu Wilhelmina, Menteri Jajahan dan Staten Generaal. ISDV dan kaum Komunis melawan aksi itu.
18 Maret 1916
Central Sarikat Islam (CSI) mendapatkan pengakuan badan hukum (rechtspersoon), dan keputusan ini diberikan oleh Gubernur Jenderal Idenburg. Anggota-anggotanya, yaitu perkumpulan-perkumpulan SI kecil yang juga disahkan oleh Belanda sebagai badan hukum (rechtspersoon).
17-24 Juni 1916
Kongres SI pertama di Bandung, yang dihadiri oleh 80 SI lokal dimana dibicarakan agama dalam pergerakan
dan hapusnya tanah partikulir (tanah swasta). Kongres itu merupakan “Kongres Nasional”, karena SI mencita-citakan supaya penduduk Indonesia menjadi satu natie atau satu bangsa, dengan kata lain mempersatukan etnik Indonesia menjadi bangsa Indonesia. Di sisi lain, SI setuju diadakannya Komite Pertahanan Hindia asal pemerintah Belanda membentuk Dewan Rakyat. Juga kongres ini di pimpin oleh Cokroaminoto. Dengan jalan evolusi berusaha mencapai pemerintahan sendiri, sekurang-kurangnya memperoleh bangsa Indonesia dapat ikut serta dalam pemerintahan Indonesia. Ini semuanya “dengan pemerintah dan untuk menyokong pemerintah”.
Kongres ini menetapkan pengurus baru CSI yaitu ketua Cokroaminoto dan wakil ketua Abdul Muis serta sekretaris R. Sosrokardono. Nama H. Samanhudi tidak muncul lagi dalam daftar kepemimpinan SI, kedudukannya terdesak dalam waktu yang relatif singkat, diantaranya ia lebih banyak terlibat dalam masalah-masalah di luar organisasi SI sendiri.
Pertengahan Agustus s/d akhir September 1916
Suatu peristiwa penting yang secara tidak langsung melibatkan SI, adalah pemberontakan Jambi di Sumatra Selatan. Controleur Walter dan beberapa pegawai Indonesia turut di bunuh oleh pemberontak. Yang di dakwa menerbitkan itu ialah Sarekat Abang, suatu sarekat agama yang menurut berita dipengaruhi oleh Sarekat Islam. Dalam hal ini yang dihadapi adalah suatu pemberontakan yang cukup luas dan hebat, yang dengan susah payah dapat di tumpas oleh pihak penguasa. Jumlah korban yang tewas dalam pemberontakan ini seluruhnya lima ratus orang.
20-27 Oktober 1917
Kongres (SI) Nasional yang kedua, yang dilangsungkan di Jakarta, dalam pembicaraannya ternyata lebih berani terhadap pemerintah dan badan-badannya daripada kongres yang pertama. Tetapi pimpinan CSI masih menyetujui aksi parlementer evolusioner. Juga usul Semaun untuk tidak ikut campur dalam gerakan Indie Weerbaar tidak di terima (pada waktu itu Abdul Muis sebagai anggota “Utusan Indie Weerbaar” memberikan laporan tentang pengalamannya di negeri Belanda).
Kongres SI kedua memutuskan bahwa azas perjuangan SI ialah mendapatkan zelf bestuur atau pemerintahan sendiri. Selain itu, ditetapkan pula azas kedua berupa “strijd tegen overheersing van het zondig kapitalisme” atau perjuangan melawan penjajahan dari Kapitalisme yang jahat.
Tetap di ambil jalan parlementer, ditentukan program azas dan daftar usaha dari partai. Pemerintahan kebangsaan menjadi maksud dari Sarekat Islam. Daftar usaha memuat: aksi untuk decentralisatie pemerintahan dan hak pemilihan, kemerdekaan bergerak, pertanian, persoalan uang dan pajak, persoalan sosial dan pembelaan negeri. CSI akan berjuang dalam Volksraad. Putusan ini tidak disetujui Semaun.
Dalam kongres ini telah disetujui suatu rumusan “Keterangan Pokok” (Asas) dan Program Kerja, yang mencerminkan sifat politik dari organisasi ini. Keterangan Pokok ini menyatakan kepercayaan CSI bahwa agama Islam itu membuka rasa pikiran tentang persamaan derajat manusia, di samping itu menjunjung tinggi kepada kekuasaan negeri, dengan harapan akan memperoleh pemerintahan sendiri (zelfbestuur) dalam ikatan dengan negeri Belanda. Tentang Program Kerja yang berjumlah delapan buah, satu diantaranya mengenai politik, Sarekat Islam menuntut berdirinya dewan-dewan daerah dan perluasan hak-hak Volksraad, yang setahun lagi akan di bentuk.
Keterangan Pokok ini mengemukakan kepercayaan CSI bahwa “agama Islam itu membuka rasa pikiran perihal persamaan derajat manusia sambil
menjunjung tinggi kepada kuasa negeri” dan “bahwasanya itulah (Islam) sebaik-baiknya agama buat mendidik budi-pekertinya rakyat”. Partai juga memandang “agama…(sebagai) sebaik-baiknya daya-upaya (yang) boleh dipergunakan” agar “jalannya budi akal masing-masing orang itu ada bersama-sama budi-pekerti…” negeri atau pemerintah “hendaknya tiada terkena pengaruhnya percampuran barang sesuatu agama, melainkan hendaklah melakukan satu rupa pemandangan di atas semua agama itu”. CSI pun “tidak mengakui sesuatu golongan rakyat (penduduk) berkuasa di atas golongan rakyat (penduduk) yang lain”.
Sebelum diadakannya Kongres SI kedua, di Jakarta muncul aliran revolusioner Sosialistis yang diwakili oleh Semaun, yang pada waktu itu menjadi ketua SI lokal Semarang.
April 1918
SI Afdelling B yang mendapat pengaruh Komunis terdapat di Priangan (Garut). Sebagai penyalur aspirasi dan wadah kepercayaan lokal, Afdeling B bertujuan menjalankan ketentuan agama Islam secara murni, berdasarkan prinsip “billahi fiisabilil-haq”, yang berarti akan diperangi setiap orang yang menghalangi agama Islam.
18 Mei 1918
Volksraad diresmikan oleh Gubernur Jendral Van Limburg Stirum. Kongres Nasional Ketiga CSI yang diadakan di Surabaya pada tahun itu memutuskan untuk mengirimkan wakilnya dalam Volksraad. Dalam Volksraad, SI menempatkan dua orang. Cokroaminoto duduk sebagai anggota yang di angkat oleh pemerintah dan Abdul Muis sebagai anggota yang di pilih.
29 September - 6 Oktober 1918
Kongres SI Nasional yang ketiga dilangsungkan di Surabaya, memutuskan menentang pemerintah
sepanjang tindakannya “melindungi Kapitalisme”, pegawai negeri Indonesia dikatakan sebagai alat, penyokong kepentingan Kapitalis. Oleh kongres dimajukan tuntutan mengadakan peraturan-peraturan sosial guna kaum buruh, untuk mencegah penindasan dan perbuatan sewenang-wenang (upah minimum, upah maksimum, lamanya bekerja dan sebagainya). Diputuskan menggerakkan semua organisasi bangsa Indonesia untuk menentang Kapitalisme, dan kongres memutuskan pula mengorganisasi kaum buruh.
Bersamaan dengan itu, berlangsung Kongres SI ketiga di Surabaya. Sementara itu, pengaruh Semaun makin menjalar ke tubuh SI.
Tahun 1918
Pada tahun yang sama, berdirilah Sumatra Thawalib, yang bertujuan untuk mengusahakan dan memajukan ilmu pengetahuan dan pekerjaan yang berguna bagi kesejahteraan dan kemajuan dunia dan akhirat menurut Islam. Kemudian organisasi itu berubah menjadi Persatuan Muslim Indonesia, yang memperluas tujuannya “Indonesia Merdeka dan Islam Jaya”. Dalam gerakan politik mencapai Indonesia Merdeka ini, orang-orang Sumatra Thawalib tampil sebagai ujung tombaknya di Sumatra Barat.
Sementara itu, para ulama (diantaranya Syekh Sulaiman ar-Rasuly) yang tidak setuju dengan Thawalib, mendirikan Persatuan Tarbiyatul Islamiyah (PERTI) di Sumatra Barat. Organisasi ini bermadzab Syafi’i dan mematuhinya secara konsekuen. Kegiatan utamanya dalam bidang pendidikan adalah mendirikan madrasah. Komunikasi dengan anggotanya dilakukan melalui majalah SUARTI (Suara Tarbiyatul Islamiyah), al-Mizan (bahasa Arab) dan PERTI Bulletin. Organisasi ini tidak bergabung dengan organisasi lain, dan setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, berdiri sebagai partai politik dengan nama Partai Tarbiyatul Islamiyah (PERTI).
Januari 1919
Gerakan SI Afdeling B yang di pimpin oleh H. Ismail mendapat izin dari SI Pusat, untuk menyebarkan organisasinya ke daerah Priangan.
7 Juli 1919
Perkara “Afdeling” B Garut dimana terjadi perlawanan Haji Hasan dan kawan-kawannya berhubung dengan angkutan padi (padi-requisite) oleh Pemerintah Belanda.
Terjadi peristiwa Cimareme, dimana beberapa anggota SI Afdeling B bersenjata golok datang ke Cimareme dan memberi bantuan kepada H. Hasan. Bantuan itu di pandang sebagai usaha memasukkan perlawanan H. Hasan dalam kerangka gerakan politik yang lebih luas, yaitu rencana pemberontakan Afdeling B. Akhirnya, Sekretaris SI Pusat, Sosrokardono, di tuduh pemerintah terlibat dalam gerakan Afdeling B, karena ia pernah hadir dalam rapat-rapat yang diselenggarakan oleh organisasi itu. Ia diajukan ke pengadilan dan di hukum empat tahun, sedangkan Cokroaminoto, ketua SI di tahan karena ia di tuduh memberikan keterangan palsu.
SI Pusat menolak adanya hubungan dengan Afdeling B, meskipun ada tuduhan bahwa Cokroaminoto, Sosrokardono dan pimpinan lainnya membeli jimat, yang berarti berpihak pada Afdeling B. Peristiwa Afdeling B menyulitkan kedudukan SI.
26 Oktober - 2 Nopember 1919
Kongres SI Nasional yang ke-empat di Surabaya, terutama membicarakan soal serikat kerja. Diputuskan memusatkan semua serikat kerja, antara lain supaya mengadakan Eerste Kamer (dari dewan perwakilan rakyat yang sejati) yang akan memimpin gerakan perlawanan kelas-kelas, perkumpulan-perkumpulan politik hendaklah mengadakan Tweede Kamer dari dewan itu. Kedua majelis ini akan merupakan Dewan Rakyat yang sesungguhnya. Diputuskan juga akan
mengadakan beberapa Komite penyelidik, untuk mempelajari soal-soal yang penting bagi pergerakan rakyat, sebuah penyelidikan akan dipergunakan memperbaiki aksinya.
Dalam kongres ini dibicarakan tentang faedahnya pergerakan sekerja, ekonomi dan agama. Comite adat, comite pergerakan sekerja dan comite cooperatie akan mempelajari soal-soal itu.
Dalam Kongres SI ke-empat, SI memperhatikan gerakan buruh atau Serikat Sekerja (SS), karena SS akan memperkuat kedudukan partai politik dalam menghadapi pemerintah kolonial. Kemudian terbentuklah persatuan SS, yang beranggotakan SS Pegadaian dan SS Pegawai Pabrik Gula dan SS Pegawai Kereta Api.
Di dalam tahun ini pula, pengaruh Sosialis-Komunis telah masuk ke tubuh SI Pusat maupun cabang-cabangnya, setelah aliran itu mempunyai wadah dalam organisasi yang disebutnya Indische Sociaal Democratische Vereniging (ISDV).
2-6 Maret 1921
Dalam kongres SI kelima di Yogyakarta, ditetapkan keterangan yang baru tentang dasar SI (pengganti keterangan dasar 1917), keterangan baru ini adalah hasil persetujuan dengan kaum Komunis. Oleh karena maksud SI itu bercocokan dengan maksud kebanyakan organisasi rakyat dan pergerakan kaum buruh seluruh dunia, maka SI pun mau bekerja bersama-sama dengan segala partai yang sepikiran dari segala negeri, tetapi dengan memperhatikan agama Islam.
Dibicarakan sikap terhadap Komunisme, kebengisan Kapitalisme dan partij-discipline. Keputusan tentang ini di undur sampai kongres yang akan datang.
6-11 Oktober 1921
Kongres SI ke-enam diadakan di Surabaya, dan disetujui adanya disiplin partai. Cokroaminoto tidak bisa datang (hadir), sebab dalam tahanan berhubung dengan tuduhan sumpah palsu dalam perkara Afdeling B itu (Cokroaminoto menerangkan tidak mengetahui sama sekali tentang adanya Afdeling B di Garut). Partai SI memberlakukan peraturan partai yang baru, yang tidak lagi memperbolehkan adanya keanggotaan yang ganda, akhirnya terjadilah perpecahan yang nyata dalam SI yang selanjutnya mempertegas wajah ke-Islam-annya. Sebagai akibat dilaksanakannya disiplin partai, maka Semaun, Tan Malaka dan kawan-kawannya dikeluarkan dari SI.
Dua masalah besar yang menjadi agenda pokok Kongres Luar Biasa (Kongres SI ke-enam) ini adalah: pertama, masalah disiplin partai dan kedua, masalah penyusunan kembali asas SI. Dalam kongres itu, H. Agus Salim merumuskan arah dan tujuan SI dengan menyusun rancangan Keterangan Asas (Beginsel Verklaring) bagi SI.
Agustus 1922
Cokroaminoto dibebaskan dari tuduhan sumpah palsu oleh Raad van Justitie.
31 Oktober - 2 Nopember 1922
Sebagai imbangan daripada “All-Indie Congres” (yang diadakan dalam tahun 1929 di Bandung dan yang mempropagandakan tujuan NIP menuju persatuan bangsa dan kemerdekaan atas dasar jadi bangsa Hindia), CSI mengadakan “Kongres al-Islam” di Cirebon yang pertama. Kongres ini bermaksud mengusahakan tercapainya persatuan aliran dan kerjasama antara semua Muslimin terhadap masalah-masalah hangat yang mengenai Islam (Pan-Islamisme).
12 Nopember 1922
Radicale Concentratie ke-2 didirikan sebagai
organisasi dari segenap pergerakan rakyat dan sekerja; bukan parlementaire combinatie saja. CSI menggabungkan diri kepada Radicale Concentratie, tetapi pengaruhnya dalam organisasi ini hanya sedikit.
17-20 Pebruari 1923
Kongres Nasional SI diadakan di Madiun. Di sana dipertimbangkan, bahwa bentuk organisasi SI itu (perkumpulan setempat terikat oleh satu badan pusat) menghalangi tumbuhnya pergerakan ini (dalam cabang-cabang yang hanya dengan lemah terikat, orang-orang dari aliran lain mudah mendapat pengaruh). Kongres mengambil keputusan akan mendirikan suatu “Partai SI” (PSI yang terdiri dari anggota-anggota yang aktif, yang akan bekerja dalam SI setempat-setempat itu untuk kepentingan partai). CSI akan tetap ada buat sementara waktu sebagai suatu badan penghubung.
Dalam Kongres SI ke-tujuh di Madiun, yang memutuskan bahwa Central Sarikat Islam (CSI) di ganti menjadi Partai Sarikat Islam (PSI). Alasan pokok untuk memulai struktur baru tersebut ialah anggapan bahwa bentuk lama membahayakan kepemimpinan organisasi, oleh sebab kedudukan yang banyak-sedikitnya bebas dari satuan-satuan Sarekat Islam lokal, sedangkan sebaliknya CSI di anggap bertanggung-jawab terhadap segala macam kekurangan dan kesalahan dari organisasi lokal. Koordinasi antara Sarekat Islam lokal dan bimbingan dari CSI sering sekali di hambat oleh langkah-langkah ataupun tindakan-tindakan pemerintah.
Selanjutnya ditetapkan berlakunya disiplin partai. Di pihak lain, cabang-cabang SI yang mendapat pengaruh Komunis, menyatakan dirinya bernaung dalam Sarekat Rakyat, yang merupakan bangunan bawah Partai Komunis Indonesia (PKI).
Kongres Nasional di Madiun itu juga membicarakan sikap politik partai terhadap pemerintah. Suatu hal
yang menarik dari kongres ini adalah adanya perubahan sikap partai terhadap pemerintah. Perubahan sikap yang di maksud adalah bahwa partai tidak lagi mempercayai pemerintah, oleh karena itu partai akan menolak kerjasama dengan pemerintah (politik non-koperasi) melalui Volksraad. Sikap partai yang mulai berubah ini disebabkan antara lain oleh penahanan terhadap pemimpin utama SI Umar Said Cokroaminoto selama tujuh bulan dalam tahun 1921-1922 karena di tuduh terlibat dalam SI Afdeling B.
Tahun 1923
S.M. Kartosuwiryo memasuki gerakan pemuda Jong Java di Surabaya, dan tidak lama setelah itu menjadi ketua cabang Jong Java di Surabaya.
Tahun 1923
Akibat dari pembatasan gerak Jamiyatul Khair di Jakarta, maka berdirilah PERSIS (Persatuan Islam) di bawah Kiai Hasan di Bandung. Organisasi ini berusaha meningkatkan kesadaran beragama dan semangat ijtihad, dengan mengadakan dakwah dan pembentukan kader melalui madrasah dan sekolah. Pemberantasan kemaksiatan merupakan tujuan utama PERSIS.
19-21 Mei 1924
Kongres al-Islam ke-2 yang diadakan di Garut, dan di pimpin oleh Agus Salim (PSI) dan Pengurus Besar Muhammadiyah. Maksud kongres itu ialah memajukan persatuan kaum Muslimin, oleh karena itu kongres harus turut bekerja bersama-sama menyelesaikan soal tentang khalifah, yang mengenai seluruh Muslimin.
8-11 Agustus 1924
Kongres Nasional SI diadakan di Surabaya. Antara lain dibicarakan pula disini soal non-koperasi terhadap Dewan Rakyat, di ambil keputusan akan menentang kaum Komunis dengan giat. Dibicarakan program politik yang baru. Ditetapkan politik berazas Islam
non-cooperatie. Diputuskan akan melawan Komunisme. Soal-soal agama diserahkan pada “al-Islam Congres”.
24-26 Desember 1924
SI mengadakan “Kongres al-Islam Luar Biasa” (Kongres al-Islam ke-3) di Surabaya, untuk membicarakan tentang pengiriman wakil Indonesia ke Kongres Khalifah yang akan diadakan di Kairo dalam bulan Maret 1925. Akan di kirim sebagai wakil ialah Haji Fachruddin (anggota Pengurus Besar Muhammadiyah dan Pengurus Besar CSI), Suryopranoto (Komisaris CSI dan ketua perkumpulan-perkumpulan sekerja) dan Haji Abdul Wahab (ketua perkumpulan-perkumpulan agama di Surabaya).
Januari 1925
Berdirinya Jong Islamieten Bond. S.M. Kartosuwiryo terjun ke dalam politik ketika memasuki perhimpunan “Jong Java” di Jakarta, dimana karena ketekunan dan keaktifannya ia pernah menjadi ketuanya. Ketika anggota-anggota Jong Java yang lebih mengutamakan ke-Islam-annya keluar dari Jong Java dan mendirikan Jong Islamieten Bond pada tahun 1925. Kartosuwiryo pindah organisasi ini, dan tidak lama kemudian menjadi ketua cabang Jong Islamieten Bond di Surabaya.
21-27 Agustus 1925
Dalam kongres CSI di Yogyakarta (diadakan bersama-sama dengan “Kongres al-Islam ke-4”), Cokroaminoto mencoba memperbaharui SI dengan jalan Pan-Islamismenya, Nasionalisme Islam, aksi menentang Kapitalisme, non-koperasi terhadap badan-badan perwakilan.
21-23 Desember 1925
Kongres Nasional ke-12 dari CSI bekerja bersama-sama dengan Muhammadiyah; dibicarakan keluhuran Islam, kewajiban orang akan naik haji dan soal
khalifah. Dibicarakan juga pergerakan kemerdekaan kaum Riff. Ditetapkan haluan non-cooperatie.
8-10 Januari 1926
“al-Islam Congres” di Cianjur. Dibicarakan kongres besar Islam di Mekkah dimana akan ditentukan pemerintahan di kota-kota suci. Berhubung dengan itu ditetapkan Cokroaminoto (SI) dan Haji Mansur (Muhammadiyah) sebagai utusan ke Mekkah untuk meminta keterangan.
31 Januari 1926
Lahirnya perkumpulan/jam’iyatul Nahdlatul Ulama di Surabaya, dari ulama-ulama yang tidak menyetujui MAIHS karena menyokong Ibnu Saud dalam kekuasaan atas agama. NU adalah organisasi sosial keagamaan atau jam’iyyah diniyah Islamiyah yang didirikan oleh para ulama, yang bertujuan tidak saja mengembangkan dan mengamalkan ajaran Islam, tetapi juga memperhatikan masalah sosial, ekonomi dan sebagainya, dalam rangka pengabdian kepada ummat manusia.
Perkumpulan keagamaan Nahdlatul Ulama didirikan sebagai :
a. Reaksi terhadap kebangsaan dan hasil baik dari golongan modernis, dan teristimewa
b. Karena kaum ulama orthodoks takut, bahwa niat SI dan Muhammadiyah tentang Kongres Dunia Kaum Islam yang ada di bawah pengaruh Raja Ibnu Saud, akan mendatangkan pengaruh Wahabi di negeri ini.
1 Juni 1926
Adalah permakluman dari Raja Ibnu Saud tentang kongres Islam sedunia untuk membicarakan pemerintahan di Madinah dan Mekkah, dalam kongres dunia yang diadakan di Mekkah itu. Berhubungan dengan inilah, maka Komite Kongres al-Islam (suatu badan tetap), yang didirikan menurut keputusan Kongres al-Islam ke-2 di Garut, dalam Kongres al-Islam ke-5, memutuskan akan mengirim itu ialah H. Umar Said Cokroaminoto (CSI) dan K.H. Mas Mansur (Muhammadiyah) sebagai utusan.
Oleh karena dengan hal demikian, Kongres al-Islam itu menggabungkan diri pada kongres dunia di Mekkah itu, maka lalu Kongres al-Islam itu di ganti namanya dengan “Kongres Islam Sedunia cabang Hindia Timur” atau MAIHS (Muktamar al-Alam al-Islam far’al Hind asy-Syarqyah).
September 1926
Kedua utusan kongres sedunia itu menyampaikan laporan perjalanannya kepada kongres bersama dari PSI dan MAIHS (Kongres al-Islam ke-6), yang diadakan di Surabaya. Di ambil keputusan ketika itu mengadakan kantor tetap dari MAIHS di Surabaya, di bawah pimpinan Agus Salim. Sesudah ini maka aksi untuk agama Islam diperhebat dan juga diadakan propaganda untuk “Hadz organisasi Hindia”. Organisasi ini didirikan sebagai badan penerangan perjalanan untuk orang-orang yang hendak naik haji.
Nahdlatul Ulama juga berkongres di Surabaya untuk menentang juga haluan PSI dan MAIHS. Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia (perserikatan mahasiswa) atau PPPI didirikan.
Pada bulan yang sama, lahirlah sebuah “Comite Persatuan Indonesia”, dalam komite ini turut duduk semua studie club, SI, Muhammadiyah, Jong Islamieten Bond, Pasundan, Persatuan Minahasa, Sarekat Ambon dan Sarekat Madura.
1-5 Desember 1926
Kongres bersama SI dan MAIHS (Kongres al-Islam ke-7) di Bogor, dikemukakan oleh MAIHS kemarahannya terhadap sangat banyaknya campur-tangan pemerintah dalam urusan agama Islam. Oleh karena itu di ambil suatu mosi menentang peraturan-peraturan pemerintah yang mengenai perkawinan,
urusan masjid-masjid dan pelajaran agama Islam.
14-17 Januari 1927
Di kongres kombinasi SI-MAIHS (Kongres al-Islam ke-8) yang diadakan di Pekalongan, dimana dibicarakan lagi sikap Belanda yang mengatur soal-soal Islam. Ditetapkan sekali lagi mosi itu dan disiarkan di seluruh pulau Jawa. Keputusan yang di ambil, berupa “pertanyaan terbuka” dan sebagainya. Pertanyaan itu ialah : “Berdasarkan hukum manakah pemerintah jajahan itu mencampuri urusan agama Islam, padahal katanya ia berdiri di luar segala agama. Dapatkah ada kepercayaan antara sesuatu bangsa dan sesuatu pemerintah yang berbedaan agamanya, jika bangsa itu tidak dibiarkan menjalankan agamanya dengan semerdeka-merdekanya”
Pertanyaan-pertanyaan ini beserta penjelasannya disebarkan pada 9 Mei 1927 di seluruh Jawa. Oleh kongres juga di ambil putusan akan mengirim 3 utusan ke Kongres Islam Sedunia di Mekkah yang akan datang. Di dalam anggaran dasar oleh kongres disebutkan maksudnya sebagai “menuju kemerdekaan kebangsaan yang berdasarkan agama Islam”. Di ambil juga keputusan akan mencari perhubungan dengan “Liga untuk menentang tindasan jajahan”. PSI memperbaharui organisasinya dengan mengadakan 3 departemen daerah (Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur), masing-masing departemen daerah itu mempunyai ketua muda.
Desember 1927
Dalam kongres PSIHT (Partai Syarikat Islam Hindia Timur) di Pekalongan, S.M. Kartosuwiryo terpilih menjadi Sekretaris Umum PSHIT. Kemudian diputuskan juga melalui kongres, bahwa pimpinan partai harus dipindahkan ke Batavia.
Kongres PSI pada tahun tersebut menegaskan azas perjuangannya, bahwa tujuannya dinyatakan
kemerdekaan Nasional berdasarkan agama Islam.
Kemudian, terjadi perubahan nama dari PSI (Partai Sarikat Islam) menjadi PSII (Partai Sarikat Islam Indonesia).
Semenjak tahun 1927, S.M. Kartosuwiryo masuk ke dalam Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII). Disinilah ia mulai memperoleh bimbingan pribadi dari H. Umar Sa’id Cokroaminoto, pemimpin PSII dan tokoh pergerakan politik terkemuka pada saat itu. Ia akhirnya menjadi sekretaris pribadi dari H. Umar Sa’id Cokroaminoto hingga tahun 1929.
26-29 Januari 1928
Kongres SI di Mataram (Yogyakarta) memperingati hari berdiri SI 15 tahun. Berdirinya Majlis Ulama. Di kongres itu dibicarakan juga tafsir Qur’an, yang sedang dikerjakan oleh Cokroaminoto, namun akhirnya penerbitannya di tunda sampai Majlis Ulama mengambil ketentuan terhadap tafsir itu. Cara H.O.S. Cokroaminoto menterjemahkan al-Qur’an ke dalam bahasa Indonesia di cela, karena menyerupai pekerjaan Ahmadiyah. Dibicarakan pula Bank Nasional.
27-30 September 1928
Rapat Majlis Ulama Indonesia (organisasi SI bagian keagamaan) di Kediri yang memutuskan, bahwa terjemahan tafsir Qur’an itu boleh diteruskan, asal dilakukan dengan pengawasan majlis itu. Di rapat itu Cokroaminoto (penterjemah) di bantu oleh utusan Ahmadiyah, Mirza Wali Ahmad Beig. Ditetapkan Bank Nasional tidak boleh memungut rente (riba).
8-11 Oktober 1928
Pada dasarnya NU tidak mencampuri urusan politik. Dalam kongresnya di Surabaya, di ambil keputusan untuk menentang reformasi kaum modernis dan perubahan-perubahan yang dilakukan Wahabi di Hijaz. Pusat-pusat NU ada di Surabaya, Kediri, Bojonegoro, Bondowoso, Kudus dan sekitarnya.
Januari 1929
Kongres PSII di Jakarta.
Tahun 1929
S.M. Kartosuwiryo menikah dengan Dewi Siti Kulsum.
Pada tahun tersebut, di dalam Kongres PSII, ia di angkat menjadi Komisaris PSII untuk wilayah Jawa Barat.
24-27 Januari 1930
Kongres PSII diadakan di Yogyakarta. Dibicarakan nasib PNI, H. Agus Salim menerangkan hasil kepergiannya ke Geneve. Sesudah dibicarakan hal-hal yang biasa (tanah partikulir, tanah erfpah, aksi-tandhim dan sebagainya), diusulkan suatu pembagian baru dalam organisasi, bermaksud akan memperbaiki keadaan serikat itu, usul itu di terima oleh kongres.
PSII jadi terpimpin oleh :
1. Dewan Partai, atau Majelis Tahkim sebagai suatu badan pembuat aturan partai. Ketua Cokroaminoto, dan anggota (Agus Salim, Suryopranoto dan 4 orang lain).
2. Lajnah Tanfidhyah, sebagai suatu badan menjalankan penetapan-penetapan partai itu, terdiri dari semua direktur departemen (urusan umum, keuangan, ibadat, pengajaran, perburuhan dan pertanian, pergerakan wanita, pergerakan pemuda). Ketua Sangaji dan ketua muda Dr. Sukiman.
Cabang-cabang partai adalah bagian-bagian yang biasa, tidak mempunyai kedudukan istimewa, cabang-cabang itu di pimpin oleh pengurus-pengurus cabang yang diawasi oleh suatu badan (majelis) yang terdiri dari anggota-anggota yang boleh dipercayai, majelis ini berhubung dengan Dewan Partai.
Anggaran dasar yang baru, menyebutkan antara lainnya, bahwa tujuan PSII ialah :
a. Membangunkan suatu persatuan yang kokoh antara semua Muslim menurut peraturan-peraturan agama Islam untuk memajukan kesentausaan negeri dan rakyat.
b. Bekerja bersama-sama dengan perkumpulan yang lain-lain, untuk kepentingan umum.
5 Mei 1930
Diadakan rapat SI yang bersamaan di 23 tempat di Jawa. Sekali ini bermaksud terdapatnya penghapusan segala jenis kerja paksaan (heerendienst).
28 Desember 1930
PSII mengadakan persidangan di beberapa tempat untuk menyatakan tidak-setujunya dengan sikap pemerintah dalam waktu penghematan yang menambah beban-beban rakyat. Rapat yang diadakan oleh 22 cabang SI di Jawa, untuk mendapatkan keringanan beban pajak, penghapusan kerja paksa, penghapusan potongan upah dan gaji, tidak memperpanjang lamanya erfpah. Juga diumumkan tentang keluarnya PSII dari gabungan PPPKI.
27 Juni 1931
Pada “Congres al-Islam Indonesia” didirikan “Pergerakan al-Islam Indonesia” di bawah pimpinan Sangaji; bermaksud akan mempertahankan Islam atas serangan-serangan dan mempersatukan Islam.
Tahun 1931
S.M. Kartosuwiryo terpilih menjadi Sekretaris Umum PSII.
Central Comite al-Islam (di bawah pengaruh PSII) mengadakan Kongres al-Islam ke-9 untuk mempertahankan kepentingan-kepentingan Islam di Tripolis. Dalam kongres, dibicarakan hal-hal yang bersangkutan dengan timbulnya krisis ekonomi
semenjak penghabisan tahun 1929, yaitu antara lain rancangan-rancangan pemerintah tentang perhentian belanja negeri dan maksud pemerintah hendak memperhentikan banyak pegawai sekaligus berhubung dengan penghematan itu, misalnya pegawai pegadaian. Juga di ambil keputusan, supaya anggota-anggota yang mempunyai tanah menanami 1/3 dari tanahnya itu dengan kapas untuk keperluan tenun dalam negeri.
14-18 April 1932
Kongres propinsi dari PSII di Padang Panjang. Dibicarakan pemberian hak tanah kepada bangsa Indo; rodi dan rintangan-rintangan pergerakan.
15-19 April 1932
“Pergerakan al-Islam Indonesia” yang berdiri di bawah pengaruh PSII mengadakan kongres di Malang. 1-6 Juli 1932
Himpunan Pemuda Islam Indonesia mengadakan konferensi di Padang Panjang (Sumatra). 17 Juli 1932
Segenap cabang PSII mengadakan rapat umum. Dibicarakan tersiarnya agama Islam di Jawa dan jatuhnya Majapahit.
16 Desember 1932
H. Agus Salim berangkat ke Lampung untuk memimpin PSII disana, berhubung partai ini mendapat beberapa kesukaran.
18 Desember 1932
Aksi umum PSII di luar Jawa menentang Ordonansi Sekolah Liar dan keberatan-keberatan pajak. Di Tanette rapat dilangsungkan dengan penjagaan militer. Di Mendayun rapat tak dapat diteruskan karena larangan, demikian pula di Payakumbuh rapat umum tak dapat berlangsung karena larangan. Di Padang Panjang rapat umum dilangsungkan tetapi dapat banyak teguran.
Akhir 1932
Dr. Sukiman di pecat dari PSII dan mendirikan Partai Islam Indonesia (Parii) di Yogyakarta.
Maret 1933
PSII mengadakan kongres, antara lainnya dibicarakan tentang perlunya penghapusan Undang-undang tentang perkawinan antara orang Islam dan daya-upaya yang perlu untuk memajukan kesentausaan kaum tani (menyerahkan kepada penduduk tanah-tanah hutan yang bukan persediaan kehutanan, menghentikan pemberian tanah erfpah, tidak memperpanjang hak atas tanah erfpah yang belum diusahakan, mendirikan perkumpulan-perkumpulan kaum tani supaya dapat mengadakan perusahaan-perusahaan bersama).
Ketika kongres SI diadakan di Jakarta, masalah Persatuan Pegawai Pegadaian Hindia (PPPH) ini menjadi salah satu pokok bahasan. Cokroaminoto dan Agus Salim menekankan kepada kongres untuk mengeluarkan Sukiman dan Suryopranoto, karena mereka telah menyalahi adat dalam PSII. Sebab masalah seperti yang terdapat di dalam PPPH itu haruslah lebih dahulu di bawa ke dan diselesaikan di dalam Dewan Partai dan Lajnah Tanfidziyah dan bila perlu, Majlis Tahkim.
Akhir Desember 1933
Mohammad Hatta mendirikan Pendidikan Nasional Indonesia di Yogyakarta, yang berdasarkan Nasionalisme dan demokrasi.
Tahun 1933
Pemerintah menyatakan bahwa PSII (seperti juga PNI dan Partindo) suatu organisasi yang terlarang dimasuki oleh pegawai negeri dan dikenai pula aturan pembatasan berapat untuk sebagian dari Sumatra (jadi bukan untuk Jawa).
20-26 Mei 1934
PSII mengadakan kongres tahunan di Banjarnegara. Di kongres ini dibicarakan antara lainnya segala adat yang di rasa bertentangan dengan agama Islam. Lagi pula di ambil keputusan jika menilik keadaan setempat-setempat di anggap perlu akan mengadakan cabang-cabang istimewa untuk kaum wanita, yang berdiri di bawah Komite Eksekutif dari Pengurus Sentral.
Tahun 1934
H. Umar Sa’id Cokroaminoto meninggal.
Maret 1935
H. Agus Salim sebagai ketua Dewan Partai SI melihat bahwa sikap pemerintah cenderung tidak menguntungkan partainya. Maka ia kemudian mengeluarkan pernyataan politik, yang di kenal sebagai “Pedoman Politik” atau istilah lain “Memori Salim”, untuk menyelamatkan partai SI.
9-11 Mei 1935
Perpecahan di kalangan pimpinan PSII terus berlanjut, yang tercermin dalam dua kelompok yang masing-masing mempertahankan sikapnya. Pertama adalah kelompok pimpinan dalan Dewan Partai di bawah pengaruh Agus Salim, A.M. Sangaji, Moh. Rum dan Sabirin. Kedua kelompok pimpinan dalam Lajnah Tanfidziyah (LT) di bawah pengaruh Abikusno, Wondoamiseno dan S.M. Kartosuwiryo. Abikusno memperjuangkan politik non-koperasi (tidak mau bekerjasama) dengan pihak kolonial, sedangkan H. Agus Salim cenderung pada sikap untuk bekerjasama dengan kekuasaan kolonial.
Kedua kelompok yang saling bersengketa itu mengadakan suatu pertemuan bersama antara Dewan Partai dan Lajnah Tanfidziyah di Jakarta, yang memutuskan untuk menangguhkan pembahasan masalah Pedoman Politik pada kongres yang akan datang.
Sebelum kongres diselenggarakan, Abikusno dan sekretarisnya S.M. Kartosuwiryo mengundurkan diri dari Lajnah Tanfidziyah dan kemudian memimpin PSII cabang Jakarta. Kedudukannya kemudian digantikan oleh A.M. Sangaji dan Sabirin.
April-Juli 1935
PSII melakukan penyelidikan tentang keadaan perekonomian rakyat, penyelidikan itu dijalankan dengan memakai daftar-daftar pertanyaan tentang pengangguran, penghidupan, beban rakyat, kekurangan uang yang tersebar, kemiskinan, akibat kemiskinan itu bersangkut dengan keamanan umum dan kesehatan dan tentang daya-upaya untuk meringankan kesusahan.
30 Juli - 4 Agustus 1935
Segala hasil penyelidikan yang dilakukan dengan tidak keahlian ini, dibicarakan di kongres kilat PSII (Kongres al-Islam ke-10) yang diadakan di Malang. Oleh karena ternyata, bahwa keterangan-keterangan itu kebanyakan amat kurang tepat dan kurang jelas sekali, dan hanya mengenai keadaan yang umum saja, jadi sebagai penyelidikan sedikit sekali harganya, maka diambillah keputusan akan mengulangi penyelidikan itu, untuk didirikan suatu bagian baru dari partai itu.
Di kongres ini diberikan juga keterangan tentang sikap partai bersangkutan dengan soal non-koperasi, mungkin sekali sebagai reaksi terhadap aliran dalam kalangan PSII yang hendak melepaskan sikap non-koperasi.
8-12 Juli 1936
Abikusno terpilih menjadi ketua partai PSII pada kongres partai ke-22 di Batavia. Ia kemudian mengangkat S.M. Kartosuwiryo sebagai Wakil Ketua (Ketua Muda) PSII. Kartosuwiryo ditugaskan oleh kongres untuk menyusun suatu brosur tentang sikap hijrah partai PSII.
(Sikap Hijrah sebagai Garis Politik)
Pedoman Politik Salim tidak dimasukkan dalam agenda pembicaraan kongres. Wondoamiseno sebagai pimpinan kongres memberikan alasannya, bahwa tidak dibahasnya Pedoman Politik itu karena sempitnya waktu untuk mempelajari secara matang.
30 Nopember 1936
Sebagai akibat ketidak-setujuannya terhadap politik non-koperasi PSII dan politik “hijrah” S.M. Kartosuwiryo, H. Agus Salim membentuk fraksi tersendiri di dalam tubuh partai PSII di bawah pimpinan Mohammad Rum, yang bernama “Barisan Penyadar PSII” (BP-PSII. Maksud barisan ini ialah hendak “menyadarkan” PSII itu atas “kehendak-kehendak zaman” yang sudah berubah itu. Barisan Penyadar PSII ini dimaksudkan hanya bergerak dalam lingkungan PSII, yaitu mengajak supaya setiap anggota partai sadar akan hak-haknya dalam organisasi, yang selama dan sesudah kongres PSII ke-22 di langgar oleh Lajnah Tanfidziyah dan Dewan Partai. Dengan cepat aksi Barisan Penyadar ini menyebar ke cabang-cabang PSII di seluruh Indonesia. Dukungan yang sangat besar diberikan oleh cabang PSII Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, Sumatra Selatan dan Sumatra Barat.
19 Desember 1936
Aksi oposisi dari Salim melalui Barisan Penyadar ini menggoyahkan kedudukan Abikusno. Oleh karena itu pimpinan PSII mengadakan rapat bersama antara Dewan Partai dan Lajnah Tanfidziyah. Rapat menegaskan kembali bahwa “hijrah” adalah politik resmi partai dan memerintahkan kepada semua pimpinan partai untuk menyebar-luaskan politik ini. Rapat itu juga melarang cabang-cabang untuk memberi bantuan kepada Barisan Penyadar dalam mengadakan pertemuan-pertemuannya serta membahas pula kemungkinan-kemungkinan
pemecatan terhadap tokoh-tokoh Pergerakan Penyadar.
Akhir Januari 1937
Partai SI memberlakukan skorsing kepada pemimpin pusat dan daerah Barisan Penyadar.
13 Pebruari 1937
H. Agus Salim, Mohammad Rum, Sabirin, Sangaji, Muslikh dan 23 anggota fraksi Salim yang lainnya dikeluarkan dari keanggotaan PSII.
23-26 Pebruari 1937
Pemecatan-pemecatan terhadap tokoh-tokoh Barisan Penyadar, membulatkan tekad mereka untuk membentuk partai sendiri, lepas dari PSII. Oleh karena itu suatu konferensi dengan maksud ini kemudian diselenggarakan di Jakarta. Konferensi ini mengambil satu keputusan penting, yaitu membentuk partai sendiri dengan nama “Pergerakan Penyadar”.
Pertengahan April dan Mei 1937
PSII menjalankan aksi umum, bentuknya ialah cabang-cabang mengadakan rapat-rapat umum yang di pimpin oleh wakil-wakil pengurus besar. Di rapat-rapat ini dijelaskan antara lainnya, sikap partai berupa non-koperasi, dikemukakan pula keberatan tentang pajak-pajak, rodi, beban desa, sedang segala yang harus dikerjakan pada waktu melakukan nikah menurut aturan agama Islam, dibicarakan juga.
19-23 Juli 1937
Kongres PSII ke-23 di Bandung di bawah pimpinan Kartosuwiryo, di bentuk suatu komisi yang harus menyusun suatu “program aksi hijrah” (Daftar Usaha Hijrah PSII). Kongres ini mengambil beberapa mosi dan keputusan.
Mosi pertama mencela penyerahan kekuasaan majelis-majelis agama (priesterraden) tentang hukum warisan kepada Landraad (Staatsblad 1937 No. 116), sedang di samping itu dinyatakan pula, bahwa Ummat
Islam mempunyai hak yang penuh untuk menyelesaikan, mengambil keputusan dan mengatur segala hal yang semata-mata hanya mengenai pendirian-pendirian Islam. Selanjutnya diharapkan, supaya pemerintah akan mengangkat ketua dan anggota-anggota majelis priesterraad daripada orang-orang Islam yang ahli dalam agama Islam, dan juga supaya pemerintah akan mengembalikan hak mengadili hal warisan kepada majelis agama itu.
Mosi yang kedua mengenai adanya Mahkamah Islam Tinggi, PSII mencela adanya badan itu. Juga dinyatakan dalam mosi itu maksud supaya oleh tiap-tiap cabang partai didirikan sebuah Majelis Ulama yang terdiri atas wakil-wakil segala organisasi Islam, untuk memusyawarahkan, mengatur dan mengambil keputusan tentang segala sesuatu soal yang terdapat dalam hal warisan atau harta-benda keluarga. Juga dinyatakan dalamnya, bahwa PSII bersedia akan bekerja bersama-sama dengan organisasi Islam lain-lain untuk mengadakan sebuah Kongres Islam Umum, yang berusaha mendirikan sebuah pengadilan Islam.
Mosi yang ketiga menentang rancangan yang di buat oleh pemerintah tentang aturan bagi pencatatan dengan sukarela daripada perkawinan untuk mereka yang hukum perkawinannya belum ditetapkan dengan peraturan umum negeri, penentangan itu disebabkan, karena hal yang demikian itu di anggap berlawanan dengan hukum-hukum Islam. Dalam mosi itu disebutkan juga, bahwa rancangan itu mengandung arti pemerintah lebih banyak campur-tangan dalam hal siaran-siaran agama Islam (suatu hal yang di anggap tidak baik), sehingga diharapkan pemerintah tidak menetapkan rancangan itu menjadi Undang-undang. Jika hal itu terjadi juga, maka PSII mengancam akan melarang anggota melakukan pernikahan menurut Undang-undang itu.
Dengan mosi yang ke-empat, kongres itu menyatakan kekecewaannya tentang maksud akan membagi-bagi Palestina.
Diambillah pula keputusan akan mengadakan panitia, yang akan bekerja bersama-sama dengan pengurus besar Parindra, untuk mengadakan suatu kongres umum yang akan membicarakan soal majelis agama, Mahkamah Islam Tinggi dan segala peraturan yang merintangi kemajuan pergerakan rakyat dan perekonomian rakyat.
Kongres itu mengambil juga keputusan akan mencabut pemecatan atas diri anggota-anggota yang dalam tahun 1933 sudah dikeluarkan oleh PSII (dan yang sudah mendirikan Parii) dan akan memberi kesempatan kepada mereka itu masuk PSII kembali.
Agustus 1937
Di Jakarta berdiri “Persatuan Guru-guru dan Muballigh Islam”, pendiri dan pengurusnya Moh. Lawit, Amir Hamzah, Hayat Sudirjo, Kartosudarmo dan lain-lainnya. Tujuan pokok ialah pengembangan Islam secara modern dalam arti luas. Di antara pemudanya memasuki partai politik.
September 1937
Atas anjuran pemimpin-pemimpin Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama, berdirilah Majelis Islam Ala Indonesia (MIAI), di sebut orang Majelis Islam Luhur.
17 September 1937
Dr. Sukiman, Wali al-Fatah dan lain-lain yang tergabung dalam Parii, menggabungkan diri kembali dalam PSII.
30 Juli - 7 Agustus 1938
Kongres PSII ke-24 di Surabaya oleh S.M. Kartosuwiryo dijelaskan, bahwa “hijrah” yang jadi sikap partai itu haruslah jangan diartikan sama dengan non-koperasi yang diadakan oleh partai-partai lain terhadap pemerintah. Kongres itu menyerahkan jabatan ketua dari Dewan Partai kepada W. Wondoamiseno dan jabatan ketua dari Lajnah Tanfidhyah kepada Abikusno. Kartosuwiryo diserahi
pekerjaan penyelenggaraan azas hijrah itu dalam lapangan politik, ekonomi dan sebagainya.Kongres PSII di Surabaya merencanakan untuk menindak-lanjuti “program aksi hijrah”. Dalam kongres ini juga diputuskan, supaya di bawah pimpinan Kartosuwiryo didirikan suatu lembaga pendidikan kader di Malangbong dengan nama “Suffah PSII”, yang sudah akan di buka pada tanggal 20 Pebruari 1939 khususnya bagi anggota PSII yang laki-laki.
6 Desember 1938
Perdamaian yang sudah di buat dengan golongan Yogya (Dr. Sukiman), tidak lama umurnya. Sehingga akhirnya mereka mendirikan PII (Partai Islam Indonesia) di Solo dan diketuai oleh R.M. Wiwoho Purbohadijoyo (anggota Dewan Rakyat, pemimpin Jong Islamieten Bond). PII berkembang cepat di daerah karena mendapat bantuan sesama anggota GAPI, terutama dari Partai Arab Indonesia (PAI) pimpinan AR. Baswedan.
Sebelum PII itu didirikan, pengurus PSII sudah menerima surat dari Dr. Sukiman, Wali al-Fatah, K.H.M. Mansur dan lain-lain yang menerangkan, bahwa mereka itu akan masuk PSII, kalau partai ini :
1. Mau melepaskan azas “hijrah” (pengirim-pengirim surat itu berpendapat, bahwa “hijrah” tidak boleh dijadikan azas perjuangan, tetapi hanyalah taktik perjuangan).
2. Semata-mata hanya mengerjakan aksi politik (pekerjaan sosial dan ekonomi haruslah diserahkan kepada perkumpulan yang lain-lain).
3. Mau selekas-lekasnya mencabut disiplin partai yang sudah dilakukan terhadap Muhammadiyah.
4. PSII membalas surat ini dengan menolak permintaan itu, hanya disiplin partai terhadap Muhammadiyah itu mungkin akan dibicarakan lagi.
Tahun 1938
Di kalangan Islam ada tendensi untuk bersatu tanpa melihat perbedaan, yang kadang-kadang mengganggu, yaitu dengan mendirikan MIAI (Majlisul Islami A’la Indonesia), meskipun antara PSII Abikusno dan PII Wiwoho saling berebut pengaruh dalam MIAI. Berkat diplomasi Wondoamiseno, konflik intern itu dapat diselesaikan.
MIAI mengadakan Kongres al-Islam ke-11, adapun yang menjadi sebab ialah tulisan Nona Siti Sumandari tentang Islam yang dianggapnya sangat menghina agama Islam dan minta kepada pemerintah agar lekas menetapkan sikap tentang hal ini. Juga diputuskan meminta kepada pemerintah agar penyelesaian urusan waris diserahkan kembali kepada raad agama (jadi di ambil lagi dari landraad).
Mei 1939
Kongres al-Islam ke-12 berlangsung di Solo. Dalam kongres ini diulangi lagi putusan-putusan kongres yang sudah (penghinaan agama Islam dan peraturan urusan waris) dan seterusnya antara lain juga di ambil putusan :
1. Pekerjaan propaganda di daerah-daerah kolonisasi diserahkan kepada Muhammadiyah (NU yang juga memperhatikan hal ini, tidak menggabungkan diri dalam kongres ke-12 ini).
2. Meminta kepada pemerintah jangan mencabut pasal 177 Indische Staatstregeling
3. Jong Islamieten Bond diwajibkan berhubungan dengan organisasi-organisasi pemuda Islam lainnya, untuk pembentukan satu badan persatuan antara perkumpulan-perkumpulan ini semuanya.
4. Di samping sekretariat MIAI, didirikan satu departemen buat urusan luar negeri.
5 Mei 1939
Organisasi PUSA (Persatuan Ulama Seluruh Aceh) di
bentuk di Peusangan, Beureun, yang diketuai oleh Tengku Muhammad Daud Beureuh. PUSA berusaha meningkatkan syi’ar Islam, dengan meningkatkan pendidikan agar terlaksana syi’ar Islam dalam masyarakat. Dalam perjuangannya, organisasi ini bergabung dalam MIAI.
Tahun 1940
Kongres PSII ke-25 di Palembang. Pada kongres ini diputuskan untuk memecat Ketua Muda S.M. Kartosuwiryo, Yusuf Tauziri, Akis, Kamran dan Sukoso dari jabatannya. Hal ini disebabkan dia memaksakan tuntutannya agar partai melaksanakan politik hijrah secara terus-menerus. Sebab pemecatan ini ialah Kartosuwiryo dan beberapa teman-temannya sudah menyatakan bantahannya dengan cara yang di pandang tidak baik, terhadap perbuatan PSII menggabungkan diri dalam GAPI itu, mereka itu tidak setuju dengan gerakan mencapai parlemen.
Maret 1940
Terbitlah “Daftar Usaha Hijrah PSII”, yang penyusunannya ditugaskan kepada Kartosuwiryo ketika dia masih menjabat sebagai Wakil Ketua PSII.
24 April 1940
Sebagai reaksi dari pemecatan dirinya, maka S.M. Kartosuwiryo bersama-sama Yusuf Tauziri dan Kamran mendirikan Komite Pertahanan Kebenaran Partai Syarikat Islam Indonesia (KPK-PSII), yang kemudian di ubah menjadi PSII tandingan. Organisasi ini hanya berhasil di Jawa Barat.
Pada kongres pertamanya, hanya enam cabang yang hadir :
1. PSII Cirebon.
2. PSII Cibadak.
3. PSII Sukabumi.
4. PSII Pasanggarahan.
5. PSII Wanaraja.
6. PSII Malangbong.
KPK-PSII bertujuan:
1. Menjalankan politik hijrah dalam segala hal.
2. Mengadakan pendidikan kader-kader pimpinan yang ahli sebagai pembela Islam yang kokoh.
3. Mendirikan Negara Islam Indonesia.
Untuk merealisasikan tujuannya, S.M. Kartosuwiryo mengadakan rapat terbuka pertama kali di Malangbong Barat pada tanggal 24 Maret 1940. Di rapat ini diterangkan, bahwa akan dijalankan “politik hijrah” yang kokoh. Juga disiarkan keputusan akan mengadakan suatu “SUFFAH”, yaitu suatu badan untuk mendidik menjadi orang-orang pemimpin yang ahli, seperti juga di masa Nabi Muhammad didirikan sesudah hijrah itu suatu suffah, yang melahirkan pembela-pembela yang tulen untuk Islam dengan yang sempurna dan keimanan yang teguh kuat.
10 Mei 1940
Pemerintah Hindia Belanda mengumumkan bahaya perang (staat van beleg), yang mengakibatkan semua kegiatan politik di larang.
Maret 1940
S.M. Kartosuwiryo kembali ke Malangbong dan mendirikan institut “Suffah” di suatu tempat antara Malangbong dan Wado, yang di bangun di atas tanah yang luasnya kira-kira 4 hektar. Lembaga Suffah tersebut dia bentuk dalam gaya sebuah pesantren tradisional, dimana para siswanya juga bertempat tinggal disana. Maka S.M. Kartosuwiryo menjadikan “Suffah” sebagai pusat latihan kemiliteran bagi pemuda-pemuda Islam pada umumnya dan pemuda-pemuda Hizbullah-Sabilillah pada khususnya, yang berasal dari Priangan Timur. Ateng Jaelani Setiawan, seorang perwira tentara Pembela Tanah Air (PETA) menjadi pelatih utamanya. Tenaga-tenaga pengajarnya adalah ulama-ulama terpilih, antara lain: Yunus Anis (Bandung), Yusuf Taujiri (Wonorejo), Musthafa Kamil (Tasikmalaya), Abdul Qudus Ghazali
Tusi (Malangbong) dan R. Oni Qital (Tasikmalaya), Abu Suja’, Ais Kartadinata, H. Sulaeman, Umar Hamzah dan lain-lain.
“Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berperang di jalan-Nya dalam barisan yang teratur seakan-akan mereka seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh” (QS. ash-Shaff: 4)
Akhir tahun 1941
Kartosuwiryo di hukum oleh pengadilan negeri Subang dengan hukuman penjara 1 ½ bulan, karena dia di tuduh menjadi mata-mata Jepang. Dia menjalani hukuman di penjara Purwakarta.
13 Juli 1942
Untuk mengambil simpati terhadap golongan Islam agar mendukung rencana Jepang di Indonesia, maka Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) dihidupkan kembali.
Tahun 1942
Dalam zaman Jepang PSII pecah dalam 3 aliran : PSII Abikusno, PSII Kartosuwiryo (KPK-PSII) dan PSII Sukiman-Wiwoho.
7 September 1943
Bappan, seksi khusus dari bagian intelejen militer Jepang, di beri tugas membentuk PETA yang seolah-olah timbul karena inisiatif bangsa Indonesia. Cara ini sudah barang tentu untuk mengelabui bangsa Indonesia, agar menaruh simpati kepada Jepang, maka dipilihnya salah seorang pemimpin Nasionalis, Gatot Mangkupraja, untuk mengajukan permohonan pembentukan PETA atas nama bangsa Indonesia kepada Guiseikan.
13 September 1943
Sementara itu para pemimpin Islam cukup tanggap terhadap situasi peperangan di Laut Pasifik dimana angkatan perang Jepang makin terdesak. Oleh karena
itu tokoh-tokoh Masyumi yang terdiri dari KH. Mas Mansyur, KH. Mohammad Adnan, H. Abdul Karim, Amarullah, H. Cholid, KH. Abdul Majid, H. Yakub, KH. Jumaidi, H. Mohammad Sadri, H. Muchtar datang ke kantor Gunseikanbu mengajukan surat permohonan
MIAI dibubarkan oleh Jepang. Ketika Jepang menguasai Indonesia, semua partai-partai Islam dibubarkan dan terjadilah fusi mengikuti kehendak Jepang, dan terbentuklah Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia), sebagai pengganti MIAI.
Tahun 1943
S.M. Kartosuwiryo menjadi Sekretaris Majelis Baitul Mal, sebuah organisasi kesejahteraan dari MIAI (Majlis Islam Ala Indonesia) yang baru di bentuk di bawah pimpinan Wondoamiseno.
25 Pebruari 1944
Pemberontakan di desa Sukamanah, kecamatan Singaparna, Tasikmalaya di bawah pimpinan. Kiai Zainal Mustofa, yang diikuti sekitar 1.000 orang di samping murid-murid pesantrennya. Mereka merencanakan penculikan orang-orang Jepang dan mengadakan aksi sabotase terhadap bidang prasarana. Akhirnya, 800 orang dipenjarakan di Tasikmalaya dan Zainal Mustofa beserta keluarganya di tembak mati di Jakarta.
Desember 1944
Atas desakan Masyumi, Jepang memberikan dan mengizinkan pembentukan Hizbullah, yang direncanakan sebagai cadangan PETA. Hizbullah merupakan organisasi pemuda yang di dukung oleh
pihak Jepang, di samping organisasi pemuda yang lain yang juga mendapat latihan militer, seperti Keibodan (pertahanan sipil), Seinendan (barisan pemuda), yang anggotanya pemuda Islam dan bukan Islam. Sebagai tambahan, suatu pasukan polisi pembantu yang berkekuatan satu juta orang, yang di sebut Korps Kewaspadaan, juga didirikan di daerah-daerah pedesaan Jawa.
Januari 1945
Diumumkan susunan pengurus Hizbullah sebagai berikut :
Ketua : KH. Zainal Arifin
Wakil Ketua : Mohammad Rum
Pengurus Umum :
1. S. Surowiyono
2. Suyono
Urusan Propaganda :
1. Anwar Cokroaminoto
2. KH. Zarkasi
3. Masyhudi
Urusan Perencanaan :
1. Sumaryo Mangunpuspito
2. Yusuf Wibisono
3. Mohammad Junaidi
Urusan Keuangan :
1. RHO. Junaidi
2. Prawoto Mangunsasmito
28 Pebruari 1945
Sementara itu setelah para ulama berhasil merekrut para pemuda untuk berjuang melalui badan perjuangan Hizbullah, maka mereka di latih pada suatu pusat latihan yang terletak di Cibarusa, ± 28 km dari Bogor, Jawa Barat. Pusat latihan di buka oleh Abdul Kahar Muzakir dan disaksikan oleh tokoh Masyumi antara lain KH Wahid Hasyim dan Mohammad Natsir. Latihan diikuti kurang-lebih 500 orang pemuda Islam berasal dari berbagai daerah Jawa, yakni karesidenan Banten, Jakarta, Sukabumi, Priangan, Purwakarta, Cirebon, Bogor, Pekalongan,Kedu, Surakarta, Semarang, Pati, Yogyakarta, Madiun, Kediri, Bojonegoro, Malang, Surabaya, Besuki. Khusus untuk Madura diadakan latihan tersendiri. Latihan ini berlangsung selama ± 3 bulan dari tanggal 28 Pebruari hingga 15 Mei 1945. Pelatihnya berasal dari serdadu-serdadu Jepang yang di bantu sejumlah instruktur PETA dan diawasi oleh perwira Jepang yang bernama Yanagawa. Sedang di bagian rohani pengajarnya antara lain KH. Mustofa Kamil dari Jawa Barat, KH. Mawardi dan Kyai Tohir Basuki dari Surakarta, KH. Zarkasi dari Ponorogo, Kyai Mursid dari Pacitan, Kiai Sahid dari Kediri, KH. Abdul Halim dari Majalengka, Kiai Roji’un dari Jakarta.
15 Mei 1945
Latihan Hizbullah di Cibarusa di tutup secara resmi oleh KH. Wahid Hasyim dan Abdul Kahar Mudzakkir, keduanya dari Masyumi. Selanjutnya para pemuda yang telah mengikuti latihan di Cibarusa itu kembali ke daerah asalnya dan mendirikan cabang-cabang Hizbullah di daerahnya masing-masing.
14 Agustus 1945
S.M. Kartosuwiryo memproklamasikan Darul Islam di daerah yang terbatas. Namun kemudian ia menarik kembali proklamasinya sesudah mendengar pernyataan kemerdekaan oleh Sukarno dan Hatta 17 Agustus 1945.
11 Nopember 1945
Pembentukan Masyumi baru di Yogyakarta, dengan susunan Dewan Eksekutif sebagai berikut:
Ketua Umum : Hasyim Ashari
Ketua : Ki Bagus Hadikusumo
Wakil Ketua : Wahid Hasyim
Wakil Ketua I : Abikusno Cokrosuyoso
Sekretaris : S.M. Kartosuwiryo
Ketika itu juga, NU dan Muhammadiyah menggabungkan diri ke dalam partai Masyumi yang baru, maka dengan demikian partai ini praktis
mewakili semua partai-partai dan organisasi Islam yang ada pada waktu itu.
Kongres itu memutuskan bahwa Masyumi memerlukan badan perjuangan di luar kesatuan-kesatuan Hizbullah yang bersifat militer untuk mobilisasi penduduk yang beragama Islam secara umum. Kemudian diprakarsai berdirinya Sabilillah yang berpusat di Malang. Adapun pengurus pusat barisan Sabilillah di pimpin oleh KH. Masykur.
Sabilillah dan Hizbullah tidak memiliki perbedaan yang tajam dan tegas, bahkan satuan-satuan gerilya Islam di sebut Hizbullah-Sabilillah tanpa perbedaan fungsi mereka yang berlainan. Hanya saja barisan Hizbullah terdiri atas kesatuan pejuang Ummat Islam yang di koordinasi di asrama, sedangkan barisan Sabilillah tersebar di masyarakat dan dikoordinir melalui susunan organisasi di kecamatan dan kelurahan.
Nopember 1945
S.M. Kartosuwiryo bersama-sama dengan Kamran, Sanusi Partawijaya, Haji Jaenuddin, Gandawijaya dan lain-lain, masuk Markas Daerah Perjuangan Pertahanan Priangan di Bandung. Kamran dalam tempo yang tidak lama, berhasil menduduki kursi pimpinan dan ia terpilih sebagai ketuanya.
Awal tahun 1946
S.M. Kartosuwiryo bersama-sama Kamran mengunjungi Majelis Persatuan Perjuangan Priangan, yang pada waktu itu berada di Bale Endah, kira-kira 12 km dari kota Bandung arah ke kota Majalaya. Dalam kunjungannya itu, ia telah mendesak kepada Sutoko, Wakil Ketua Majelis Persatuan Perjuangan Priangan, agar memberi landasan Islam kepada pasukan-pasukan dan lasykar-lasykar yang tergabung di dalam Majelis Persatuan Perjuangan Priangan. Ternyata Sutoko tidak memberikan sambutan terhadap desakan itu.
Juni 1946
Konferensi Masyumi Daerah Priangan di Garut, dimana memilih pengurus yang baru sebagai berikut :
Ketua Umum : K.H. Muchtar
Wakil Ketua : S.M. Kartosuwiryo
Sekretaris : Sanusi Partawijaya
Dalam kesempatan itu, Kartosuwiryo mengucapkan sebuah pidato tentang “Haluan Politik Islam”.
Tahun 1946
S.M. Kartosuwiryo telah merencanakan untuk menyerbu Markas Divisi Siliwangi, yang pada waktu itu berada di kota Malangbong. Sehingga oleh Panglima Divisi Siliwangi pada waktu itu, Jenderal Mayor A.H. Nasution terpaksa memerintahkan menangkap S.M. Kartosuwiryo. Sepuluh hari kemudian mereka itu dilepaskan kembali.
April 1947
R. Oni menjadi ketua Sabilillah Daerah Priangan.
7-10 FEBRUARI 1948
Masyumi Priangan melangsungkan musyawarah Ummat Islam di Pangwedusan (Priangan) dengan menghasilkan ketetapan:
1. Ummat Islam di Jawa sebelah Barat telah membulatkan tekad untuk terus melanjutkan perjuangan kemerdekaan Indonesia mengusir Belanda Penjajah berdasarkan Islam.
2. Membubarkan Masyumi di Jawa Barat dengan alasan:
a) Masyumi adalah partai yang berdiri dibawah naungan RI yang mau -tidak mau dalam segala sesuatunya harus mengikuti kedudukan RI.
b) Dengan adanya naskah Renvile, maka RI tidak punya alasan lagi untuk mengadakan hubungan dengan Jawa Barat, karena Jawa Barat telah diserahkan oleh RI kepada pihak Belanda.
3. Membentuk Majelis Islam (MI) sebagai lembaga perjuangan.
4. Mengangkat Sekarmadji Marijan Kartosoewirjo (SMK) sebagai Imam Islam yang memimpin Majelis Islam tersebut.
5. Sebagai alat perjuangan MI maka, dbentuklah Tentara Islam Indonesia (TII) dan Pahlawan Darul Islam (PADI) yang terdiri daripada bekas kelengkapan Masyumi, Hizbullah, dan Sabilillah.
Tim Verifikasi Pengangkatan Imam:
1. Putra K.H. Zaenal Mustofa
2. K.H. Mustofa Kamil
3. Mualim Aut
Daftar Calon Imam:
1. K.H. Yusuf Taujiri (Garut)
2. K.H. Sanusi (Gunung Puyuh-Sukabumi)
3. K.H. Abdul Halim (Majalengka)
4. K.H. Sobari
5. Sekarmaji Marijan Kartosuwiryo
Hasil; Imam dan Anggota Dewan Imamah
1. Sekarmaji Marijan Kartosuwiryo: IMAM
merangkap Kuasa Usaha (Menlu)
2. Kamran: Wakil Imam merangkap Menhan
3. Sanusi P.: Mensesneg merangkap Mendagri
4. K.H. Gojali Tusi: Menkeh
5. Toha Arsyad: Menpen
6. Udin Kartasasmita: Menkeu
7. Anwar Cokroaminoto: Wakil NII di RI
8. Abikusno: Wakil NII di Yogya
Agendanya:
1. Mendidik rakyat agar cocok menjadi WNII.
2. Memberikan pemnjelasan kepada rakyat bahwa Islam tidak bisa dimenangkan melalui feblisit (suara terbanyak).
3. Membangun daerah-daerah basis.
4. Memproklamasikan NII.
5. Membangun NII sehingga kokoh kedalam dan
keluar. Dalam arti didalam negeri bias melaksanakan Syariat Islam seluas-luasnya dan sesempurna-sempurnanya. Sedang keluar sanggup berdiri sejajar dengan negara-negara lain.
6. Membantu perjuangan Muslim di negara lain sehingga cepat bisa melaksanakan wajib sucinya.
7. Bersama-sama negara Islam membentuk Dewan Imamah Dunia untuk mengangkat Khalifah Dunia.
17 Februari 1948
(Hari Bersenjata TII)
DI-TII angkat senjata di gunung Cupu
2 Meret 1948
Konfresi Ummat Islam di Cipeundeuy-Cirebon dihadiri oleh wakil-wakil, didalam keputusan Musyawarah tersebut secara aklamasi menerima keputusan musyawarah Priangan Timur Pangwedusan).
25 Agustus 1948
Maklumat Imam No. I, tentang:
Pertahanan Rakyat
27 Agustus 1948
Dibentuknya Qanun Asasi NII
Muqadimah, 16 BAB 34 Pasal dan masa peralihan
28 Oktober 1948
Maklumat Imam No. 2, tentang:
Perubahan susunan DI
Pengangkatan Wakil Resmi NII di RII
2 November 1948
Maklumat Imam No. 3, tentang:
Pertahanan Rakyat dan Mobilisasi
10 Desember 1948
Maklumat Imam No. 4, tentang:
Hubungan Internasional
Perubahan kembali susunan Dewan Imamah
20 Desember 1948
Maklumat Imam No. 5, tentang:
Peryataan Perang DI-TII terhadap Belanda
21 Desember 1948
Maklumat Imam No. 6, tentang:
Peryataan Sikap; mendirikan NKA-NII sebagai kelanjutan perjuangan kemerdekaan 17-08-1945 dan wakil mutlak NII di RI
23 Desember 1948
Maklumat Imam No. 7, tentang:
Peryataan NII
1. NII dalam keadaan Perang
2. Hukum-hukum Perang
3. Dewan Imamah diganti menjadi K.T.
4. Pengesahan Pimpinan NII dan Pimpinan Majelis di tiap-tiap Daerah
25 Januari 1949
Maklumat Militer No. I, hal:
Tentara Liar dan Gerombolan
31 Maret 1949
Maklumat Militer No. 2, hal:
Bendera Negara, Bendera Tentara, Bendera Negara dan Tentara di masa Perang
7 Agustus 1949 (12 Syawal 1369)
Proklamasi Negara Karunia Allah-Negara Islam Indonesia di Jawa Barat (NKA-NII)
“PROKLAMASI BERDIRINYA NEGARA ISLAM INDONESIA“
Bismillahirrahmanirrahim
Asyhadu anla ilaha illallah wa asyhadu anna Muhammadar Rasulullah
Kami Ummat Islam Indonesia
Menyatakan Berdirinya Negara Islam Indonesia
Maka Hukum yang berlaku atas Negara Islam Indonesia ialah Hukum Islam
ALLAHU AKBAR ! ALLAHU AKBAR ! ALLAHU AKBAR !
Atas Nama Ummat Islam Bangsa Indonesia:
Imam NII
Sekarmadji Marijan Kartosoewiryo
Madinah-Indonesia
12 Syawal 1368 H/7 Agustus 1949 M
20 Agustus 1949
MP No. 1, hal:
Penjelasan Proklamasi
1949
STAAT REGHT
4 Tuntunan, 10 Bab, 30 Pasal
3 Oktober 1949
MKT. No. 1, hal:
Menetapkan Bentuk Komandemen:
1. Dewan Imamah menjadi Komandemen Tertinggi
2. PADI dan unsur-unsur lain menjadi TII
3. BKN dan unsur-unsur lain menjadi PII
10 Oktober 1949
MP No. 2, hal:
1. Bawalah UIBI ke Mardhotillah
2. Melepaskan diri dari keyakinan & kekuasaan penjajah
12 Oktober 1949
MKT. No. 2, hal:
Kewajiban Angkatan Senjata, memutuskan; dibangun suatu organisasi rakyat dengan nama dalam bentuk BARIS
14 Oktober 1949
MKT. No. 3, hal:
Hubungan Internasional dan Inter Insuler dibawah keputusan KT-APNII
15 Oktober 1949
MKT. No. 4, hal:
Peleburan Tentara dan ketentaraan diluar TII
31 Desember 1949
MP. No. 3, hal:
Kalam akhir GOOD WILL
1 Januari 1950
MKT. No. 5, hal:
Larangan atas organisasi, partai, perhimpunan, perkumpulan gerakan lainnya dengan sifat, corak, bentuk dan dasar yang manapun juga. Diluar organisasi Negara atau organisasi yang dibentuk disahkan oleh pemerintah.
7 September 1950
SP. No. 4, hal:
Semboyan; “Bawalah UIBI kearah Mardhatillah kalau perlu dengan dipaksa”
Pedoman tiada wajib dan yang maha suci melainkan hanyalah wajib dan tugas menggalang NKA-NII
Tinjauan kedepan
Oleh: KT-APNII
10 September 1950
MKT. No. 6, hal:
Pembaharuan Bai’at diwajibkan kepada:
a. Seluruh tentara mulai Komandan
b. Semua pemimpin-pemimpin Negara dalam segala tingkatan
c. Anggota-anggota kader
17 Oktober 1950
Ketetapan KT. No. I, hal:
Administrasi Keuangan Negara
7 Februari 1951
MKT. No. 7, hal:
Peringatan HUT ke-3 (APNII), ummat Islam Bangsa Indonesia-Angkatan Senjata
7 Agustus 1952
Manifesto Politik NII No. 5 oleh KUKT-APNII
Nota Rahasia I dan II
Nasihat Pemerintahan NII
12 Oktober 1952
MKT. No. 8, hal:
Memperhebat dan Mempercepat persiapan perang Totaliter.
Penyempurnaan Bentuk Komandemen
Lampiran MKT. No. 8
Penjelasan & Catatan: 5, 6-7 (Pedoman Gerilya)
17 Oktober 1952
MKT. No. 9, hal:
Pemberian Pangkat dan pemakaian Tanda Pangkat
21 Oktober 1952
MKT. No. 10, hal:
Konsolidasi Militer dan Alat Negara lainnya
Lampiran 5 MKT. No. 10
PPT. Kedudukan TII
a. Sebagai Tentara Allah
b. Sebagai Tentara Ideologi
c. Sebagai Tentara Islam
d. Sebagai Tentara Rakyat
PPT. III, Sapta Subaya
3 September 1953
S.P. No. 6, hal:
Pemakluman Perang RIK terhadap NKA-NII oleh KUKT Idarul Huda
5 Oktober 1953
S.P. No. 7, hal:
Masalah Aceh
5.B: 1 sampai 5
Penjelasan Struktur KUKT, diangkat dari AKT
19 November 1953
S.P. No. 8, hal:
Pilih NKA-NII atau Pancasila oleh KUKT I. Huda
21 Desember 1953
Statement KT-APNII No. 9, tentang;
Perkara Schmit dan Jungler oleh Jaya Sakti
7 September 1956
Statement KT-APNII No. 10, tentang;
Bukti kebenaran NII dan bukti kepalsuan, kecurangan serta kehianatan RI 1950.
Pancasila Komunis oleh AKT/Wk. KSU APNII, Jaya Sakti.
7 Agustus 1959
MKT. No. 11, hal:
Pembentukan Komando Perang dan Penyempurnaan Stel-sel Komandemen
Memutuskan:
A. Pembagian Indonesia dan 7 daerah perang atau Sapta Palagan
B. Susunan Komando Perang
1. KPSI dipimpin oleh Imam-Plm. T. APNII. Jika karena satu atau lain hal ditunjuk dan diangkatlah seorang Panglima perang, selaku penggantinya, dengan purbawiesesa penuh. Calon pengganti Panglima Perang Pusat ini diambil dari dan diantara anggota-anggota KT, termasuk didalamnya KSU dan KUKT, atau dari dan diantaranya para Panglima Perang, yang kedudukannya dianggap setaraf dengan kedudukan anggota-anggotanya KT.
Penjelasan MKT. 11, No. 4: Pemberi Komando dan Pelaksana Komando.
Pada umumnya segala saluran kenegaraan, dalam bidang-bidang Militer maupun dalam lapangan politik, juga selama masa perang ini, berjalan terus melalui system Komandemen, seperti yang tetap berlaku hingga saat ini. Tetapi di saat-saat genting-runcing, dimana Imam Plm. T. mengeluarkan Komando Umum, maka disaat itu kita hanya akan mengenai 2 (dua) tingkatan Pimpinan Peran, Pimpinan Negara dan Pimpinan Jamaah Mujahidin, Peimpinan Ummat berjuang, yakni:
A. Tingkatan Pimpinan Perang pertama selaku pemberi Komando, ialah: (1) Imam-Plm. T., (2) Plm. Per. KPWB, (3) Plm. Per. KPW, dan (4) Kmd. Pertempuran Kompas, dan
B. Tingkatan Pimpinan Perang kedua selaku pelaksana Komando, terdiri daripada (5) Komandan Pertempuran Sub-Kompas, (6) Komandan Pertempuran Sektor (7) Komandan Pertempuran Sub-Sektor, Komandan Lapangan hingga Komandan-Komandan Baris, pelaksanaan akan meliputi lapisan-lapisan rakyat jelata seluruhnya, tanpa kecuali.
1 September 1959
MKT. No. 12, hal:
Kedudukan General-staf Komandemen
22 September 1959
MKT. No. 13, hal:
Penyempurnaan Pemberiaan Pangkat dan Pemakaian Tanda Pangkat
Juni 1961
MKT No. 14 memiliki status hukum sebagai peraturan pemerintah penganti undang-undang, Sesuai bunyi Qanun Asasi NII Bab 3 pasal 9 Ayat 1.
Plm. T. S.M. Kartosuwiryo mengadakan musyawarah di ‘Mabes’, sekitar Garut, dengan dihadiri oleh:
1. Imam SMK sebagai Pimpinan Sidang
2. Kepala Majelis Keuangan AKT; Jaja Sujadi,
Umar Saiid sebagai Wakil Pemerintah
3. KPWB; Agus Abdullah sebagai Wakil APNII
4. KD; Abu Bakar Misbah sebagai Wakil Dewan Fatwa-Bid. Hukum
5. Tahmid RB sebagai Penulis
6. Kom. Bataliyon Jaga Mabes; Aceng Kurnia sebagai Anggota
7. Kom. Bataliyon-Kom. Wil. setempat; Esja sebagai Anggota
8. Sek-Pri Imam; Pak Jamhur sebagai Anggota
9. Pengawal Pribadi Imam; Pak Ajum
Keputusan Musyawarah merubah ‘Jihad Fisabilillah’ menjadi ‘Jihad Fillah’.
Imam mengeluarkan maklumat perintah “JIHAD FILLAH” dan perintah penyelamatan Dhohir dan Batin Mujahiddin dan Umat Islam
24 April 1962
Statement KT-APNII No. 11: Perintah Imam yang terakhir;
Memerintahkan penghentian tembak-menembak (Qanun Asasi Bab. IV Ps. 17).
4 Juni 1962
Imam S.M. Kartosuwiryo tertawan
TIGA MAZHAB POLITIK DAN IDEOLOGI DASAR INDONESIA
=================================================
MAZHAB POLITIK DI INDONESIA
GURU BANGSA: HOS. COKROAMINOTO
PUTERA BANGSA MAZHAB POLITIK IDEOLOGI PARTAI
SOEKARNO Nasionalis Pancasila PNI,murba,DII
SM.karto suwiryo Islam Islam masyumi,PSII,PSII-putih
Semaun Sosialis-Komunis Komunis PKI,PSI-Merah
(PERKEMBANGAN) MAZHAB POLITIK DI DALAM INDONESIA
Partai fusi Mazhab politik Komitmen dasar pijakan ideologi istilah
PDI Nasionalis, semua aga- budaya bangsa musrik, orang-orang yg
Kebangsaan ma benar politheis dpt murka ALLAH
PPP Dienul islam hanya islam al-qur'an & mu'min, orang-orang yg
yang benar as-sunnah monotheis dpt nikmat ALLAH
PRD sosialis, Semua aga- akal dan kafir,
demokrasi, ma buruk suara ter- atheis orang-orang sesat
kerakyatan banyak
Catatan:
Semenjak reformasi, ideologi & istilah mulai dikaburkan dengan tidak malu-malu dan merasa munafik sejumlah kelompok mengklaim diri atas nama ISLAM, padahal mazhabnya saja kebangsaan atau nasionalis bahkan ideologinya pun PANCASILA, MARXIS-KOMUNIS, SOSIALIS atau NASIONALIS SEKULER.
Partai-partai dan berbagai bentuk organisasi bermetamorfosis memainkan peran asalinya.
diterbitkan oleh:
Episentrum Pengkajian Islam dan Riset Sosial
-EMPIRIS-
Dalam sejarah perjuangan untuk merebut kemerdekaan terdapat tiga golongan kelompok besar yang bisa dikelani cirikhasnya dengan perbedaan yang mencolok,namun memiliki visi dan misi yang sama.
ketiga golongan tersebut adalah golongan islam,golongan nasionalis dan golongan sosialis-komunis,kami akan menguraikanya satu persatu kedalam 3 buah judul artikel.
ISLAM
17 Juli 1905
Di Jakarta berdiri perkumpulan al-Jam’iyat al-Khairiyah, yang mendirikan sekolah dasar untuk masyarakat Arab. Kurikulumnya modern, karena yang diajarkan di sekolah itu bukan hanya pelajaran agama, tetapi juga berhitung, sejarah, geografi dan lain-lain.
16 Oktober 1905
Syarikat Dagang Islam (SDI) berdiri di kampung Sondokan, Solo, oleh Haji Samanhudi, Sumowardoyo, Wiryotirto, Suwandi, Suryopranoto, Jarmani, Haryosumarto, Sukir dan Martodikoro.
Pengurus pertama Syarikat Dagang Islam (SDI):
1. Ketua : Haji Samanhudi
2. Penulis I : Sumowardoyo
3. Penulis II : Sukir
4. Pembantu : Jamal Surodisastro
5. Pembantu keuangan : Sukir dan Haji Saleh
6. Pembantu : Haryosumarto
7. Pembantu : Wiryosutirto
8. Pembantu : Atmo
Asas dan tujuan SDI:
1. Mengutamakan sosial ekonomi.
2. Mempersatukan pedagang-pedagang batik.
3. Mempertinggi derajat bumiputra.
4. Memajukan agama dan sekolah-sekolah Islam.
Latar-belakang pendirian SDI :
1. Kompetisi yang meningkat dalam bidang perdagangan batik, terutama terhadap golongan Cina.
2. Sikap superioritas orang-orang Cina terhadap orang-orang Indonesia sehubungan dengan berhasilnya Revolusi Cina (1911).
3. Adanya tekanan oleh masyarakat Indonesia di Solo (dari kalangan bangsawan mereka sendiri).
Tahun 1905
Gerakan reformasi dan modernisasi ini meluas di Minangkabau dan perintisnya adalah Syekh Thaher Jalaluddin. Majalah al-Iman adalah alat penyebar Reformisme keluar Minangkabau, di samping memuat ajaran agama dan peristiwa-peristiwa penting dunia.
Tahun 1909
Tirtoadisuryo mendirikan Sarekat Dagang Islamiah (SDI) di Batavia.
Pada tahun yang sama, H. Abdullah Akhmad mendirikan majalah al-Munir di Padang, yang bertujuan menyebarkan agama Islam yang sesungguhnya dan terbit di Padang tahun 1910-1916.
Tahun 1910
Tirtoadisuryo mendirikan perusahaan dagang Sarekat Dagang Islamiah NV di Bogor. Kedua organisasi tersebut (SDI Batavia dan Bogor) dimaksudkan untuk membantu pedagang-pedagang bangsa Indonesia dalam menghadapi saingan orang-orang Cina.
Tahun 1911
Ambon’s Bond didirikan oleh pegawai negeri di Ambonia, untuk memajukan pengajaran dan penghidupan rakyat Ambon. Haji Abdulhalim mendirikan Persyarikatan Ulama di Ciberelang, Majalengka, yang bergerak di bidang pendidikan dan ekonomi.
11 Juni 1912
Cokroaminoto masuk SI bersama Hasan Ali Surati, seorang keturunan India kaya, yang kelak kemudian memegang keuangan surat kabar SI, Utusan Hindia. Cokroaminoto kemudian duduk sebagai pemimpin Syarikat Islam.
12 Agustus 1912
Residen Surakarta membekukan SDI setelah organisasi itu berkembang cepat ke daerah-daerah lain di Jawa dan setelah kegiatan-kegiatan pada anggotanya di Solo meningkat tanpa dapat diawasi oleh penguasa setempat. Perkelahian terus-menerus terjadi dengan golongan Cina; sebuah pemogokan dilancarkan oleh pekerja-pekerja di perkebunan Krapyak di Mangkunegaran pada permulaan bulan Agustus 1912. Kedua macam kerusuhan ini menurut pihak penguasa disebabkan oleh Sarekat Islam.
Rijksbestuur Solo atas perintah Residen Belanda melarang untuk sementara waktu SI bekerja, karena SI di anggap berbahaya bagi ketertiban umum, membuat huru-hara di Solo, terutama terhadap kaum dagang Cina. Selain di larang bersidang dan menerima anggota baru, pemimpinnya mengalami penggeledahan, tetapi tidak berhasil.
10 September 1912
Sampai dengan awal tahun 1912, Syarikat Dagang Islam masih memakai anggaran dasar yang lama yang di buat oleh Haji Samanhudi. Karena beliau tidak puas atas anggaran dasar itu, maka beliau menugaskan kepada Cokroaminoto di Surabaya yang baru masuk Syarikat Islam, supaya membuat anggaran dasar yang baru yang disahkan di depan Notaris pada tanggal 10 September 1912. Sehingga Syarikat Dagang Islam (SDI) berganti nama menjadi Syarikat Islam (SI).
Cokroaminoto mensosialisasikan PAN-Islamisme dengan target:
1. Kemerdekaan dari Penjajahan
2. Kemerdekaan Islam
3. Kemerdekaan Dunia Islam
Syarikat Islam telah meletakkan dasar perjuangannya atas tiga prinsip dasar, yaitu:
a. Asas agama Islam sebagai dasar perjuangan organisasi.
b. Asas kerakyatan sebagai dasar himpunan organisasi.
c. Asas sosial ekonomi sebagai usaha untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat yang umumnya berada dalam taraf kemiskinan dan kemelaratan.
18 Nopember 1912
Di Yogyakarta, berdiri Muhammadiyah yang didirikan oleh K.H. Ahmad Dahlan. Muhammadiyah di sebagian besar programnya sangat mencurahkan pada usaha-usaha pendidikan serta kesejahteraan sekaligus gencar melakukan kegiatan program dakwah guna melawan usaha-usaha Kristenisasi yang mulai menjamur di daerah Jawa, juga memberantas ketakhayulan-ketakhayulan lokal yang memang sudah menjadi kepercayaan di kalangan rakyat. Muhammadiyah bertujuan memajukan pengajaran berdasarkan agama, pengertian ilmu agama dan hidup menurut peraturan agama.
26 Januari 1913
Dalam rapat raksasa SI di Kebun Binatang Surabaya, Umar Sa’id Cokroaminoto menegaskan bahwa tujuan SI adalah menghidupkan jiwa dagang bangsa Indonesia, memperkuat ekonominya agar mampu bersaing dengan bangsa asing. Usaha di bidang ekonomi tampak sekali, khususnya dengan berdirinya koperasi di Surabaya, PT. “Setia Usaha”, penerbitan surat kabar “Utusan Hindia”, menyelenggarakan penggilingan padi dan juga mendirikan bank.
Kongres SI pertama yang di pimpin oleh Cokroaminoto, yang antara lain menerangkan bahwa SI bukan partai politik dan tidak beraksi melawan Pemerintah Belanda. Walaupun begitu, dengan agama Islam sebagai lambang persatuan dan dengan penuh kemauan mempertinggi derajat rakyat, SI tersebar di seluruh Jawa bagai banjir yang hebat sekali. Ditentukan H. Samanhudi sebagai Bapak SI, Sentral Komite SI didirikan (di susun).
23 Maret 1913
Kongres umum SI kedua di Surakarta, yang diselenggarakan di taman istana Susuhunan. Dalam kongres itu diputuskan bahwa SI hanya terbuka untuk bangsa Indonesia dan pegawai pangreh praja seberapa tidak akan di beri masuk, tindakan ini di pandang perlu agar tidak berubah corak SI sebagai organisasi rakyat.
Dalam kongres terpilih H. Samanhudi sebagai ketua dan Cokroaminoto sebagai wakil ketua. Gejala konflik internal telah timbul di permukaan dan kepercayaan terhadap Central Sarikat Islam mulai berkurang. Namun Cokroaminoto tetap mempertahankan keutuhan dengan mengatakan bahwa kecenderungan untuk memisahkan diri dari CSI harus di kutuk. 30 Juni 1913
Belanda menolak permintaan SI supaya disahkan menjadi badan hukum (rechtspersoon) karena anggota SI terlalu banyak. Belanda sanggup mengesahkan perkumpulan SI ke tempat-tempat yang tidak besar jumlah anggotanya. Pemerintah Belanda menetapkan bahwa cabang-cabang harus berdiri sendiri untuk daerahnya masing-masing (SI daerah). Pemerintah tidak berkeberatan SI-SI daerah itu bekerja bersama-sama dengan badan perwakilan Pengurus Sentral
Tujuan anggaran dasar (yang semua sama) dari SI daerah-daerah itu antara lain adalah dengan mengingat peraturan agama Islam:
a. Memajukan pertanian, perdagangan, kesehatan, pendidikan dan pengajaran.
b. Memajukan hidup menurut perintah agama dan menghilangkan faham-faham keliru tentang agama
c. Mempertebal rasa persaudaraan dan saling tolong-menolong di antara anggotanya.
18 Pebruari 1914
Pengurus CSI pertama ditetapkan dalam suatu pertemuan di Yogyakarta, yang terdiri atas H. Samanhudi sebagai Ketua Kehormatan, Cokroaminoto sebagai Ketua dan Raden Gunawan sebagai Wakil Ketua. Pengurus CSI ini diakui pemerintah tanggal 18 Maret 1916.
Tahun 1914
Gerakan Islam modern juga dilakukan oleh keturunan Arab. Kelompok Arab yang bukan keturunan Sayid mendirikan perkumpulan al-Irsyad pada tahun 1914 (al-Irsyad berdiri dari pecahan al-Jam’iyat al-Khariyah), dengan bantuan Syekh Ahmad Syurkati. Organisasi ini menekankan persamaan antara ummat manusia dan berlawanan dengan pendirian golongan Sayid, yaitu golongan yang mengaku keturunan Nabi.
Sementara itu, ada pihak yang tidak sependapat dengan Ahmad Syurkati tentang madzab, mendirikan organisasi sendiri yang di sebut ar-Rabithah al-‘Alawiyah. Organisasi yang sehaluan dengan al-Irsyad, yaitu Muhammadiyah, Persis, Thawalib, sedangkan yang bersimpati dengan ar-Rabithah, yaitu Persatuan Tarbiyatul Islamiyah, Jam’iyatul Washliyah, Musyawaratut Thalibin.
Tahun 1915
Sesudah lebih dari 50 SI daerah berdiri, lalu didirikan Central Sarekat Islam (CSI). Maksud tujuan Badan
Sentral ini memajukan dan membantu SI daerah, mengadakan dan memelihara perhubungan dan pekerjaan bersama di antaranya.
30 Januari 1916
Pertemuan antara berbagai perkumpulan SI Jawa Barat dan Sumatra Selatan di Jakarta. Tujuan rapat yang diadakan Gunawan ialah membicarakan hubungan antara perkumpulan-perkumpulan ini dan CSI. Sebuah usul membentuk CSI kedua untuk Jawa Barat dan Sumatra Selatan di samping CSI yang telah ada di terima setelah perdebatan yang lama dan seru. H. Samanhudi dan Gunawan terpilih masing-masing sebagai ketua dan wakil ketua CSI yang memisahkan diri. Dari perkumpulan-perkumpulan SI di Jawa Barat, Gunawan dan Samanhudi hanya mendapat sedikit dukungan, yaitu Cikalong, Bogor dan Sukabumi. Cabang-cabang yang lain di Jawa Barat menyatakan sikap netral. Cabang Bandung menyatakan tetap setia kepada CSI yang lama. Sikap perkumpulan-perkumpulan di Sumatra Selatan, kecuali di Bengkulu, tidak seluruhnya jelas.
Januari 1916
CSI menyetujui adanya aksi Comite Indie Weerbaar serta mengambil mosi tentang itu dan mewakilkan Abdul Muis akan menyampaikan mosi itu kepada Ratu Wilhelmina, Menteri Jajahan dan Staten Generaal. ISDV dan kaum Komunis melawan aksi itu.
18 Maret 1916
Central Sarikat Islam (CSI) mendapatkan pengakuan badan hukum (rechtspersoon), dan keputusan ini diberikan oleh Gubernur Jenderal Idenburg. Anggota-anggotanya, yaitu perkumpulan-perkumpulan SI kecil yang juga disahkan oleh Belanda sebagai badan hukum (rechtspersoon).
17-24 Juni 1916
Kongres SI pertama di Bandung, yang dihadiri oleh 80 SI lokal dimana dibicarakan agama dalam pergerakan
dan hapusnya tanah partikulir (tanah swasta). Kongres itu merupakan “Kongres Nasional”, karena SI mencita-citakan supaya penduduk Indonesia menjadi satu natie atau satu bangsa, dengan kata lain mempersatukan etnik Indonesia menjadi bangsa Indonesia. Di sisi lain, SI setuju diadakannya Komite Pertahanan Hindia asal pemerintah Belanda membentuk Dewan Rakyat. Juga kongres ini di pimpin oleh Cokroaminoto. Dengan jalan evolusi berusaha mencapai pemerintahan sendiri, sekurang-kurangnya memperoleh bangsa Indonesia dapat ikut serta dalam pemerintahan Indonesia. Ini semuanya “dengan pemerintah dan untuk menyokong pemerintah”.
Kongres ini menetapkan pengurus baru CSI yaitu ketua Cokroaminoto dan wakil ketua Abdul Muis serta sekretaris R. Sosrokardono. Nama H. Samanhudi tidak muncul lagi dalam daftar kepemimpinan SI, kedudukannya terdesak dalam waktu yang relatif singkat, diantaranya ia lebih banyak terlibat dalam masalah-masalah di luar organisasi SI sendiri.
Pertengahan Agustus s/d akhir September 1916
Suatu peristiwa penting yang secara tidak langsung melibatkan SI, adalah pemberontakan Jambi di Sumatra Selatan. Controleur Walter dan beberapa pegawai Indonesia turut di bunuh oleh pemberontak. Yang di dakwa menerbitkan itu ialah Sarekat Abang, suatu sarekat agama yang menurut berita dipengaruhi oleh Sarekat Islam. Dalam hal ini yang dihadapi adalah suatu pemberontakan yang cukup luas dan hebat, yang dengan susah payah dapat di tumpas oleh pihak penguasa. Jumlah korban yang tewas dalam pemberontakan ini seluruhnya lima ratus orang.
20-27 Oktober 1917
Kongres (SI) Nasional yang kedua, yang dilangsungkan di Jakarta, dalam pembicaraannya ternyata lebih berani terhadap pemerintah dan badan-badannya daripada kongres yang pertama. Tetapi pimpinan CSI masih menyetujui aksi parlementer evolusioner. Juga usul Semaun untuk tidak ikut campur dalam gerakan Indie Weerbaar tidak di terima (pada waktu itu Abdul Muis sebagai anggota “Utusan Indie Weerbaar” memberikan laporan tentang pengalamannya di negeri Belanda).
Kongres SI kedua memutuskan bahwa azas perjuangan SI ialah mendapatkan zelf bestuur atau pemerintahan sendiri. Selain itu, ditetapkan pula azas kedua berupa “strijd tegen overheersing van het zondig kapitalisme” atau perjuangan melawan penjajahan dari Kapitalisme yang jahat.
Tetap di ambil jalan parlementer, ditentukan program azas dan daftar usaha dari partai. Pemerintahan kebangsaan menjadi maksud dari Sarekat Islam. Daftar usaha memuat: aksi untuk decentralisatie pemerintahan dan hak pemilihan, kemerdekaan bergerak, pertanian, persoalan uang dan pajak, persoalan sosial dan pembelaan negeri. CSI akan berjuang dalam Volksraad. Putusan ini tidak disetujui Semaun.
Dalam kongres ini telah disetujui suatu rumusan “Keterangan Pokok” (Asas) dan Program Kerja, yang mencerminkan sifat politik dari organisasi ini. Keterangan Pokok ini menyatakan kepercayaan CSI bahwa agama Islam itu membuka rasa pikiran tentang persamaan derajat manusia, di samping itu menjunjung tinggi kepada kekuasaan negeri, dengan harapan akan memperoleh pemerintahan sendiri (zelfbestuur) dalam ikatan dengan negeri Belanda. Tentang Program Kerja yang berjumlah delapan buah, satu diantaranya mengenai politik, Sarekat Islam menuntut berdirinya dewan-dewan daerah dan perluasan hak-hak Volksraad, yang setahun lagi akan di bentuk.
Keterangan Pokok ini mengemukakan kepercayaan CSI bahwa “agama Islam itu membuka rasa pikiran perihal persamaan derajat manusia sambil
menjunjung tinggi kepada kuasa negeri” dan “bahwasanya itulah (Islam) sebaik-baiknya agama buat mendidik budi-pekertinya rakyat”. Partai juga memandang “agama…(sebagai) sebaik-baiknya daya-upaya (yang) boleh dipergunakan” agar “jalannya budi akal masing-masing orang itu ada bersama-sama budi-pekerti…” negeri atau pemerintah “hendaknya tiada terkena pengaruhnya percampuran barang sesuatu agama, melainkan hendaklah melakukan satu rupa pemandangan di atas semua agama itu”. CSI pun “tidak mengakui sesuatu golongan rakyat (penduduk) berkuasa di atas golongan rakyat (penduduk) yang lain”.
Sebelum diadakannya Kongres SI kedua, di Jakarta muncul aliran revolusioner Sosialistis yang diwakili oleh Semaun, yang pada waktu itu menjadi ketua SI lokal Semarang.
April 1918
SI Afdelling B yang mendapat pengaruh Komunis terdapat di Priangan (Garut). Sebagai penyalur aspirasi dan wadah kepercayaan lokal, Afdeling B bertujuan menjalankan ketentuan agama Islam secara murni, berdasarkan prinsip “billahi fiisabilil-haq”, yang berarti akan diperangi setiap orang yang menghalangi agama Islam.
18 Mei 1918
Volksraad diresmikan oleh Gubernur Jendral Van Limburg Stirum. Kongres Nasional Ketiga CSI yang diadakan di Surabaya pada tahun itu memutuskan untuk mengirimkan wakilnya dalam Volksraad. Dalam Volksraad, SI menempatkan dua orang. Cokroaminoto duduk sebagai anggota yang di angkat oleh pemerintah dan Abdul Muis sebagai anggota yang di pilih.
29 September - 6 Oktober 1918
Kongres SI Nasional yang ketiga dilangsungkan di Surabaya, memutuskan menentang pemerintah
sepanjang tindakannya “melindungi Kapitalisme”, pegawai negeri Indonesia dikatakan sebagai alat, penyokong kepentingan Kapitalis. Oleh kongres dimajukan tuntutan mengadakan peraturan-peraturan sosial guna kaum buruh, untuk mencegah penindasan dan perbuatan sewenang-wenang (upah minimum, upah maksimum, lamanya bekerja dan sebagainya). Diputuskan menggerakkan semua organisasi bangsa Indonesia untuk menentang Kapitalisme, dan kongres memutuskan pula mengorganisasi kaum buruh.
Bersamaan dengan itu, berlangsung Kongres SI ketiga di Surabaya. Sementara itu, pengaruh Semaun makin menjalar ke tubuh SI.
Tahun 1918
Pada tahun yang sama, berdirilah Sumatra Thawalib, yang bertujuan untuk mengusahakan dan memajukan ilmu pengetahuan dan pekerjaan yang berguna bagi kesejahteraan dan kemajuan dunia dan akhirat menurut Islam. Kemudian organisasi itu berubah menjadi Persatuan Muslim Indonesia, yang memperluas tujuannya “Indonesia Merdeka dan Islam Jaya”. Dalam gerakan politik mencapai Indonesia Merdeka ini, orang-orang Sumatra Thawalib tampil sebagai ujung tombaknya di Sumatra Barat.
Sementara itu, para ulama (diantaranya Syekh Sulaiman ar-Rasuly) yang tidak setuju dengan Thawalib, mendirikan Persatuan Tarbiyatul Islamiyah (PERTI) di Sumatra Barat. Organisasi ini bermadzab Syafi’i dan mematuhinya secara konsekuen. Kegiatan utamanya dalam bidang pendidikan adalah mendirikan madrasah. Komunikasi dengan anggotanya dilakukan melalui majalah SUARTI (Suara Tarbiyatul Islamiyah), al-Mizan (bahasa Arab) dan PERTI Bulletin. Organisasi ini tidak bergabung dengan organisasi lain, dan setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, berdiri sebagai partai politik dengan nama Partai Tarbiyatul Islamiyah (PERTI).
Januari 1919
Gerakan SI Afdeling B yang di pimpin oleh H. Ismail mendapat izin dari SI Pusat, untuk menyebarkan organisasinya ke daerah Priangan.
7 Juli 1919
Perkara “Afdeling” B Garut dimana terjadi perlawanan Haji Hasan dan kawan-kawannya berhubung dengan angkutan padi (padi-requisite) oleh Pemerintah Belanda.
Terjadi peristiwa Cimareme, dimana beberapa anggota SI Afdeling B bersenjata golok datang ke Cimareme dan memberi bantuan kepada H. Hasan. Bantuan itu di pandang sebagai usaha memasukkan perlawanan H. Hasan dalam kerangka gerakan politik yang lebih luas, yaitu rencana pemberontakan Afdeling B. Akhirnya, Sekretaris SI Pusat, Sosrokardono, di tuduh pemerintah terlibat dalam gerakan Afdeling B, karena ia pernah hadir dalam rapat-rapat yang diselenggarakan oleh organisasi itu. Ia diajukan ke pengadilan dan di hukum empat tahun, sedangkan Cokroaminoto, ketua SI di tahan karena ia di tuduh memberikan keterangan palsu.
SI Pusat menolak adanya hubungan dengan Afdeling B, meskipun ada tuduhan bahwa Cokroaminoto, Sosrokardono dan pimpinan lainnya membeli jimat, yang berarti berpihak pada Afdeling B. Peristiwa Afdeling B menyulitkan kedudukan SI.
26 Oktober - 2 Nopember 1919
Kongres SI Nasional yang ke-empat di Surabaya, terutama membicarakan soal serikat kerja. Diputuskan memusatkan semua serikat kerja, antara lain supaya mengadakan Eerste Kamer (dari dewan perwakilan rakyat yang sejati) yang akan memimpin gerakan perlawanan kelas-kelas, perkumpulan-perkumpulan politik hendaklah mengadakan Tweede Kamer dari dewan itu. Kedua majelis ini akan merupakan Dewan Rakyat yang sesungguhnya. Diputuskan juga akan
mengadakan beberapa Komite penyelidik, untuk mempelajari soal-soal yang penting bagi pergerakan rakyat, sebuah penyelidikan akan dipergunakan memperbaiki aksinya.
Dalam kongres ini dibicarakan tentang faedahnya pergerakan sekerja, ekonomi dan agama. Comite adat, comite pergerakan sekerja dan comite cooperatie akan mempelajari soal-soal itu.
Dalam Kongres SI ke-empat, SI memperhatikan gerakan buruh atau Serikat Sekerja (SS), karena SS akan memperkuat kedudukan partai politik dalam menghadapi pemerintah kolonial. Kemudian terbentuklah persatuan SS, yang beranggotakan SS Pegadaian dan SS Pegawai Pabrik Gula dan SS Pegawai Kereta Api.
Di dalam tahun ini pula, pengaruh Sosialis-Komunis telah masuk ke tubuh SI Pusat maupun cabang-cabangnya, setelah aliran itu mempunyai wadah dalam organisasi yang disebutnya Indische Sociaal Democratische Vereniging (ISDV).
2-6 Maret 1921
Dalam kongres SI kelima di Yogyakarta, ditetapkan keterangan yang baru tentang dasar SI (pengganti keterangan dasar 1917), keterangan baru ini adalah hasil persetujuan dengan kaum Komunis. Oleh karena maksud SI itu bercocokan dengan maksud kebanyakan organisasi rakyat dan pergerakan kaum buruh seluruh dunia, maka SI pun mau bekerja bersama-sama dengan segala partai yang sepikiran dari segala negeri, tetapi dengan memperhatikan agama Islam.
Dibicarakan sikap terhadap Komunisme, kebengisan Kapitalisme dan partij-discipline. Keputusan tentang ini di undur sampai kongres yang akan datang.
6-11 Oktober 1921
Kongres SI ke-enam diadakan di Surabaya, dan disetujui adanya disiplin partai. Cokroaminoto tidak bisa datang (hadir), sebab dalam tahanan berhubung dengan tuduhan sumpah palsu dalam perkara Afdeling B itu (Cokroaminoto menerangkan tidak mengetahui sama sekali tentang adanya Afdeling B di Garut). Partai SI memberlakukan peraturan partai yang baru, yang tidak lagi memperbolehkan adanya keanggotaan yang ganda, akhirnya terjadilah perpecahan yang nyata dalam SI yang selanjutnya mempertegas wajah ke-Islam-annya. Sebagai akibat dilaksanakannya disiplin partai, maka Semaun, Tan Malaka dan kawan-kawannya dikeluarkan dari SI.
Dua masalah besar yang menjadi agenda pokok Kongres Luar Biasa (Kongres SI ke-enam) ini adalah: pertama, masalah disiplin partai dan kedua, masalah penyusunan kembali asas SI. Dalam kongres itu, H. Agus Salim merumuskan arah dan tujuan SI dengan menyusun rancangan Keterangan Asas (Beginsel Verklaring) bagi SI.
Agustus 1922
Cokroaminoto dibebaskan dari tuduhan sumpah palsu oleh Raad van Justitie.
31 Oktober - 2 Nopember 1922
Sebagai imbangan daripada “All-Indie Congres” (yang diadakan dalam tahun 1929 di Bandung dan yang mempropagandakan tujuan NIP menuju persatuan bangsa dan kemerdekaan atas dasar jadi bangsa Hindia), CSI mengadakan “Kongres al-Islam” di Cirebon yang pertama. Kongres ini bermaksud mengusahakan tercapainya persatuan aliran dan kerjasama antara semua Muslimin terhadap masalah-masalah hangat yang mengenai Islam (Pan-Islamisme).
12 Nopember 1922
Radicale Concentratie ke-2 didirikan sebagai
organisasi dari segenap pergerakan rakyat dan sekerja; bukan parlementaire combinatie saja. CSI menggabungkan diri kepada Radicale Concentratie, tetapi pengaruhnya dalam organisasi ini hanya sedikit.
17-20 Pebruari 1923
Kongres Nasional SI diadakan di Madiun. Di sana dipertimbangkan, bahwa bentuk organisasi SI itu (perkumpulan setempat terikat oleh satu badan pusat) menghalangi tumbuhnya pergerakan ini (dalam cabang-cabang yang hanya dengan lemah terikat, orang-orang dari aliran lain mudah mendapat pengaruh). Kongres mengambil keputusan akan mendirikan suatu “Partai SI” (PSI yang terdiri dari anggota-anggota yang aktif, yang akan bekerja dalam SI setempat-setempat itu untuk kepentingan partai). CSI akan tetap ada buat sementara waktu sebagai suatu badan penghubung.
Dalam Kongres SI ke-tujuh di Madiun, yang memutuskan bahwa Central Sarikat Islam (CSI) di ganti menjadi Partai Sarikat Islam (PSI). Alasan pokok untuk memulai struktur baru tersebut ialah anggapan bahwa bentuk lama membahayakan kepemimpinan organisasi, oleh sebab kedudukan yang banyak-sedikitnya bebas dari satuan-satuan Sarekat Islam lokal, sedangkan sebaliknya CSI di anggap bertanggung-jawab terhadap segala macam kekurangan dan kesalahan dari organisasi lokal. Koordinasi antara Sarekat Islam lokal dan bimbingan dari CSI sering sekali di hambat oleh langkah-langkah ataupun tindakan-tindakan pemerintah.
Selanjutnya ditetapkan berlakunya disiplin partai. Di pihak lain, cabang-cabang SI yang mendapat pengaruh Komunis, menyatakan dirinya bernaung dalam Sarekat Rakyat, yang merupakan bangunan bawah Partai Komunis Indonesia (PKI).
Kongres Nasional di Madiun itu juga membicarakan sikap politik partai terhadap pemerintah. Suatu hal
yang menarik dari kongres ini adalah adanya perubahan sikap partai terhadap pemerintah. Perubahan sikap yang di maksud adalah bahwa partai tidak lagi mempercayai pemerintah, oleh karena itu partai akan menolak kerjasama dengan pemerintah (politik non-koperasi) melalui Volksraad. Sikap partai yang mulai berubah ini disebabkan antara lain oleh penahanan terhadap pemimpin utama SI Umar Said Cokroaminoto selama tujuh bulan dalam tahun 1921-1922 karena di tuduh terlibat dalam SI Afdeling B.
Tahun 1923
S.M. Kartosuwiryo memasuki gerakan pemuda Jong Java di Surabaya, dan tidak lama setelah itu menjadi ketua cabang Jong Java di Surabaya.
Tahun 1923
Akibat dari pembatasan gerak Jamiyatul Khair di Jakarta, maka berdirilah PERSIS (Persatuan Islam) di bawah Kiai Hasan di Bandung. Organisasi ini berusaha meningkatkan kesadaran beragama dan semangat ijtihad, dengan mengadakan dakwah dan pembentukan kader melalui madrasah dan sekolah. Pemberantasan kemaksiatan merupakan tujuan utama PERSIS.
19-21 Mei 1924
Kongres al-Islam ke-2 yang diadakan di Garut, dan di pimpin oleh Agus Salim (PSI) dan Pengurus Besar Muhammadiyah. Maksud kongres itu ialah memajukan persatuan kaum Muslimin, oleh karena itu kongres harus turut bekerja bersama-sama menyelesaikan soal tentang khalifah, yang mengenai seluruh Muslimin.
8-11 Agustus 1924
Kongres Nasional SI diadakan di Surabaya. Antara lain dibicarakan pula disini soal non-koperasi terhadap Dewan Rakyat, di ambil keputusan akan menentang kaum Komunis dengan giat. Dibicarakan program politik yang baru. Ditetapkan politik berazas Islam
non-cooperatie. Diputuskan akan melawan Komunisme. Soal-soal agama diserahkan pada “al-Islam Congres”.
24-26 Desember 1924
SI mengadakan “Kongres al-Islam Luar Biasa” (Kongres al-Islam ke-3) di Surabaya, untuk membicarakan tentang pengiriman wakil Indonesia ke Kongres Khalifah yang akan diadakan di Kairo dalam bulan Maret 1925. Akan di kirim sebagai wakil ialah Haji Fachruddin (anggota Pengurus Besar Muhammadiyah dan Pengurus Besar CSI), Suryopranoto (Komisaris CSI dan ketua perkumpulan-perkumpulan sekerja) dan Haji Abdul Wahab (ketua perkumpulan-perkumpulan agama di Surabaya).
Januari 1925
Berdirinya Jong Islamieten Bond. S.M. Kartosuwiryo terjun ke dalam politik ketika memasuki perhimpunan “Jong Java” di Jakarta, dimana karena ketekunan dan keaktifannya ia pernah menjadi ketuanya. Ketika anggota-anggota Jong Java yang lebih mengutamakan ke-Islam-annya keluar dari Jong Java dan mendirikan Jong Islamieten Bond pada tahun 1925. Kartosuwiryo pindah organisasi ini, dan tidak lama kemudian menjadi ketua cabang Jong Islamieten Bond di Surabaya.
21-27 Agustus 1925
Dalam kongres CSI di Yogyakarta (diadakan bersama-sama dengan “Kongres al-Islam ke-4”), Cokroaminoto mencoba memperbaharui SI dengan jalan Pan-Islamismenya, Nasionalisme Islam, aksi menentang Kapitalisme, non-koperasi terhadap badan-badan perwakilan.
21-23 Desember 1925
Kongres Nasional ke-12 dari CSI bekerja bersama-sama dengan Muhammadiyah; dibicarakan keluhuran Islam, kewajiban orang akan naik haji dan soal
khalifah. Dibicarakan juga pergerakan kemerdekaan kaum Riff. Ditetapkan haluan non-cooperatie.
8-10 Januari 1926
“al-Islam Congres” di Cianjur. Dibicarakan kongres besar Islam di Mekkah dimana akan ditentukan pemerintahan di kota-kota suci. Berhubung dengan itu ditetapkan Cokroaminoto (SI) dan Haji Mansur (Muhammadiyah) sebagai utusan ke Mekkah untuk meminta keterangan.
31 Januari 1926
Lahirnya perkumpulan/jam’iyatul Nahdlatul Ulama di Surabaya, dari ulama-ulama yang tidak menyetujui MAIHS karena menyokong Ibnu Saud dalam kekuasaan atas agama. NU adalah organisasi sosial keagamaan atau jam’iyyah diniyah Islamiyah yang didirikan oleh para ulama, yang bertujuan tidak saja mengembangkan dan mengamalkan ajaran Islam, tetapi juga memperhatikan masalah sosial, ekonomi dan sebagainya, dalam rangka pengabdian kepada ummat manusia.
Perkumpulan keagamaan Nahdlatul Ulama didirikan sebagai :
a. Reaksi terhadap kebangsaan dan hasil baik dari golongan modernis, dan teristimewa
b. Karena kaum ulama orthodoks takut, bahwa niat SI dan Muhammadiyah tentang Kongres Dunia Kaum Islam yang ada di bawah pengaruh Raja Ibnu Saud, akan mendatangkan pengaruh Wahabi di negeri ini.
1 Juni 1926
Adalah permakluman dari Raja Ibnu Saud tentang kongres Islam sedunia untuk membicarakan pemerintahan di Madinah dan Mekkah, dalam kongres dunia yang diadakan di Mekkah itu. Berhubungan dengan inilah, maka Komite Kongres al-Islam (suatu badan tetap), yang didirikan menurut keputusan Kongres al-Islam ke-2 di Garut, dalam Kongres al-Islam ke-5, memutuskan akan mengirim itu ialah H. Umar Said Cokroaminoto (CSI) dan K.H. Mas Mansur (Muhammadiyah) sebagai utusan.
Oleh karena dengan hal demikian, Kongres al-Islam itu menggabungkan diri pada kongres dunia di Mekkah itu, maka lalu Kongres al-Islam itu di ganti namanya dengan “Kongres Islam Sedunia cabang Hindia Timur” atau MAIHS (Muktamar al-Alam al-Islam far’al Hind asy-Syarqyah).
September 1926
Kedua utusan kongres sedunia itu menyampaikan laporan perjalanannya kepada kongres bersama dari PSI dan MAIHS (Kongres al-Islam ke-6), yang diadakan di Surabaya. Di ambil keputusan ketika itu mengadakan kantor tetap dari MAIHS di Surabaya, di bawah pimpinan Agus Salim. Sesudah ini maka aksi untuk agama Islam diperhebat dan juga diadakan propaganda untuk “Hadz organisasi Hindia”. Organisasi ini didirikan sebagai badan penerangan perjalanan untuk orang-orang yang hendak naik haji.
Nahdlatul Ulama juga berkongres di Surabaya untuk menentang juga haluan PSI dan MAIHS. Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia (perserikatan mahasiswa) atau PPPI didirikan.
Pada bulan yang sama, lahirlah sebuah “Comite Persatuan Indonesia”, dalam komite ini turut duduk semua studie club, SI, Muhammadiyah, Jong Islamieten Bond, Pasundan, Persatuan Minahasa, Sarekat Ambon dan Sarekat Madura.
1-5 Desember 1926
Kongres bersama SI dan MAIHS (Kongres al-Islam ke-7) di Bogor, dikemukakan oleh MAIHS kemarahannya terhadap sangat banyaknya campur-tangan pemerintah dalam urusan agama Islam. Oleh karena itu di ambil suatu mosi menentang peraturan-peraturan pemerintah yang mengenai perkawinan,
urusan masjid-masjid dan pelajaran agama Islam.
14-17 Januari 1927
Di kongres kombinasi SI-MAIHS (Kongres al-Islam ke-8) yang diadakan di Pekalongan, dimana dibicarakan lagi sikap Belanda yang mengatur soal-soal Islam. Ditetapkan sekali lagi mosi itu dan disiarkan di seluruh pulau Jawa. Keputusan yang di ambil, berupa “pertanyaan terbuka” dan sebagainya. Pertanyaan itu ialah : “Berdasarkan hukum manakah pemerintah jajahan itu mencampuri urusan agama Islam, padahal katanya ia berdiri di luar segala agama. Dapatkah ada kepercayaan antara sesuatu bangsa dan sesuatu pemerintah yang berbedaan agamanya, jika bangsa itu tidak dibiarkan menjalankan agamanya dengan semerdeka-merdekanya”
Pertanyaan-pertanyaan ini beserta penjelasannya disebarkan pada 9 Mei 1927 di seluruh Jawa. Oleh kongres juga di ambil putusan akan mengirim 3 utusan ke Kongres Islam Sedunia di Mekkah yang akan datang. Di dalam anggaran dasar oleh kongres disebutkan maksudnya sebagai “menuju kemerdekaan kebangsaan yang berdasarkan agama Islam”. Di ambil juga keputusan akan mencari perhubungan dengan “Liga untuk menentang tindasan jajahan”. PSI memperbaharui organisasinya dengan mengadakan 3 departemen daerah (Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur), masing-masing departemen daerah itu mempunyai ketua muda.
Desember 1927
Dalam kongres PSIHT (Partai Syarikat Islam Hindia Timur) di Pekalongan, S.M. Kartosuwiryo terpilih menjadi Sekretaris Umum PSHIT. Kemudian diputuskan juga melalui kongres, bahwa pimpinan partai harus dipindahkan ke Batavia.
Kongres PSI pada tahun tersebut menegaskan azas perjuangannya, bahwa tujuannya dinyatakan
kemerdekaan Nasional berdasarkan agama Islam.
Kemudian, terjadi perubahan nama dari PSI (Partai Sarikat Islam) menjadi PSII (Partai Sarikat Islam Indonesia).
Semenjak tahun 1927, S.M. Kartosuwiryo masuk ke dalam Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII). Disinilah ia mulai memperoleh bimbingan pribadi dari H. Umar Sa’id Cokroaminoto, pemimpin PSII dan tokoh pergerakan politik terkemuka pada saat itu. Ia akhirnya menjadi sekretaris pribadi dari H. Umar Sa’id Cokroaminoto hingga tahun 1929.
26-29 Januari 1928
Kongres SI di Mataram (Yogyakarta) memperingati hari berdiri SI 15 tahun. Berdirinya Majlis Ulama. Di kongres itu dibicarakan juga tafsir Qur’an, yang sedang dikerjakan oleh Cokroaminoto, namun akhirnya penerbitannya di tunda sampai Majlis Ulama mengambil ketentuan terhadap tafsir itu. Cara H.O.S. Cokroaminoto menterjemahkan al-Qur’an ke dalam bahasa Indonesia di cela, karena menyerupai pekerjaan Ahmadiyah. Dibicarakan pula Bank Nasional.
27-30 September 1928
Rapat Majlis Ulama Indonesia (organisasi SI bagian keagamaan) di Kediri yang memutuskan, bahwa terjemahan tafsir Qur’an itu boleh diteruskan, asal dilakukan dengan pengawasan majlis itu. Di rapat itu Cokroaminoto (penterjemah) di bantu oleh utusan Ahmadiyah, Mirza Wali Ahmad Beig. Ditetapkan Bank Nasional tidak boleh memungut rente (riba).
8-11 Oktober 1928
Pada dasarnya NU tidak mencampuri urusan politik. Dalam kongresnya di Surabaya, di ambil keputusan untuk menentang reformasi kaum modernis dan perubahan-perubahan yang dilakukan Wahabi di Hijaz. Pusat-pusat NU ada di Surabaya, Kediri, Bojonegoro, Bondowoso, Kudus dan sekitarnya.
Januari 1929
Kongres PSII di Jakarta.
Tahun 1929
S.M. Kartosuwiryo menikah dengan Dewi Siti Kulsum.
Pada tahun tersebut, di dalam Kongres PSII, ia di angkat menjadi Komisaris PSII untuk wilayah Jawa Barat.
24-27 Januari 1930
Kongres PSII diadakan di Yogyakarta. Dibicarakan nasib PNI, H. Agus Salim menerangkan hasil kepergiannya ke Geneve. Sesudah dibicarakan hal-hal yang biasa (tanah partikulir, tanah erfpah, aksi-tandhim dan sebagainya), diusulkan suatu pembagian baru dalam organisasi, bermaksud akan memperbaiki keadaan serikat itu, usul itu di terima oleh kongres.
PSII jadi terpimpin oleh :
1. Dewan Partai, atau Majelis Tahkim sebagai suatu badan pembuat aturan partai. Ketua Cokroaminoto, dan anggota (Agus Salim, Suryopranoto dan 4 orang lain).
2. Lajnah Tanfidhyah, sebagai suatu badan menjalankan penetapan-penetapan partai itu, terdiri dari semua direktur departemen (urusan umum, keuangan, ibadat, pengajaran, perburuhan dan pertanian, pergerakan wanita, pergerakan pemuda). Ketua Sangaji dan ketua muda Dr. Sukiman.
Cabang-cabang partai adalah bagian-bagian yang biasa, tidak mempunyai kedudukan istimewa, cabang-cabang itu di pimpin oleh pengurus-pengurus cabang yang diawasi oleh suatu badan (majelis) yang terdiri dari anggota-anggota yang boleh dipercayai, majelis ini berhubung dengan Dewan Partai.
Anggaran dasar yang baru, menyebutkan antara lainnya, bahwa tujuan PSII ialah :
a. Membangunkan suatu persatuan yang kokoh antara semua Muslim menurut peraturan-peraturan agama Islam untuk memajukan kesentausaan negeri dan rakyat.
b. Bekerja bersama-sama dengan perkumpulan yang lain-lain, untuk kepentingan umum.
5 Mei 1930
Diadakan rapat SI yang bersamaan di 23 tempat di Jawa. Sekali ini bermaksud terdapatnya penghapusan segala jenis kerja paksaan (heerendienst).
28 Desember 1930
PSII mengadakan persidangan di beberapa tempat untuk menyatakan tidak-setujunya dengan sikap pemerintah dalam waktu penghematan yang menambah beban-beban rakyat. Rapat yang diadakan oleh 22 cabang SI di Jawa, untuk mendapatkan keringanan beban pajak, penghapusan kerja paksa, penghapusan potongan upah dan gaji, tidak memperpanjang lamanya erfpah. Juga diumumkan tentang keluarnya PSII dari gabungan PPPKI.
27 Juni 1931
Pada “Congres al-Islam Indonesia” didirikan “Pergerakan al-Islam Indonesia” di bawah pimpinan Sangaji; bermaksud akan mempertahankan Islam atas serangan-serangan dan mempersatukan Islam.
Tahun 1931
S.M. Kartosuwiryo terpilih menjadi Sekretaris Umum PSII.
Central Comite al-Islam (di bawah pengaruh PSII) mengadakan Kongres al-Islam ke-9 untuk mempertahankan kepentingan-kepentingan Islam di Tripolis. Dalam kongres, dibicarakan hal-hal yang bersangkutan dengan timbulnya krisis ekonomi
semenjak penghabisan tahun 1929, yaitu antara lain rancangan-rancangan pemerintah tentang perhentian belanja negeri dan maksud pemerintah hendak memperhentikan banyak pegawai sekaligus berhubung dengan penghematan itu, misalnya pegawai pegadaian. Juga di ambil keputusan, supaya anggota-anggota yang mempunyai tanah menanami 1/3 dari tanahnya itu dengan kapas untuk keperluan tenun dalam negeri.
14-18 April 1932
Kongres propinsi dari PSII di Padang Panjang. Dibicarakan pemberian hak tanah kepada bangsa Indo; rodi dan rintangan-rintangan pergerakan.
15-19 April 1932
“Pergerakan al-Islam Indonesia” yang berdiri di bawah pengaruh PSII mengadakan kongres di Malang. 1-6 Juli 1932
Himpunan Pemuda Islam Indonesia mengadakan konferensi di Padang Panjang (Sumatra). 17 Juli 1932
Segenap cabang PSII mengadakan rapat umum. Dibicarakan tersiarnya agama Islam di Jawa dan jatuhnya Majapahit.
16 Desember 1932
H. Agus Salim berangkat ke Lampung untuk memimpin PSII disana, berhubung partai ini mendapat beberapa kesukaran.
18 Desember 1932
Aksi umum PSII di luar Jawa menentang Ordonansi Sekolah Liar dan keberatan-keberatan pajak. Di Tanette rapat dilangsungkan dengan penjagaan militer. Di Mendayun rapat tak dapat diteruskan karena larangan, demikian pula di Payakumbuh rapat umum tak dapat berlangsung karena larangan. Di Padang Panjang rapat umum dilangsungkan tetapi dapat banyak teguran.
Akhir 1932
Dr. Sukiman di pecat dari PSII dan mendirikan Partai Islam Indonesia (Parii) di Yogyakarta.
Maret 1933
PSII mengadakan kongres, antara lainnya dibicarakan tentang perlunya penghapusan Undang-undang tentang perkawinan antara orang Islam dan daya-upaya yang perlu untuk memajukan kesentausaan kaum tani (menyerahkan kepada penduduk tanah-tanah hutan yang bukan persediaan kehutanan, menghentikan pemberian tanah erfpah, tidak memperpanjang hak atas tanah erfpah yang belum diusahakan, mendirikan perkumpulan-perkumpulan kaum tani supaya dapat mengadakan perusahaan-perusahaan bersama).
Ketika kongres SI diadakan di Jakarta, masalah Persatuan Pegawai Pegadaian Hindia (PPPH) ini menjadi salah satu pokok bahasan. Cokroaminoto dan Agus Salim menekankan kepada kongres untuk mengeluarkan Sukiman dan Suryopranoto, karena mereka telah menyalahi adat dalam PSII. Sebab masalah seperti yang terdapat di dalam PPPH itu haruslah lebih dahulu di bawa ke dan diselesaikan di dalam Dewan Partai dan Lajnah Tanfidziyah dan bila perlu, Majlis Tahkim.
Akhir Desember 1933
Mohammad Hatta mendirikan Pendidikan Nasional Indonesia di Yogyakarta, yang berdasarkan Nasionalisme dan demokrasi.
Tahun 1933
Pemerintah menyatakan bahwa PSII (seperti juga PNI dan Partindo) suatu organisasi yang terlarang dimasuki oleh pegawai negeri dan dikenai pula aturan pembatasan berapat untuk sebagian dari Sumatra (jadi bukan untuk Jawa).
20-26 Mei 1934
PSII mengadakan kongres tahunan di Banjarnegara. Di kongres ini dibicarakan antara lainnya segala adat yang di rasa bertentangan dengan agama Islam. Lagi pula di ambil keputusan jika menilik keadaan setempat-setempat di anggap perlu akan mengadakan cabang-cabang istimewa untuk kaum wanita, yang berdiri di bawah Komite Eksekutif dari Pengurus Sentral.
Tahun 1934
H. Umar Sa’id Cokroaminoto meninggal.
Maret 1935
H. Agus Salim sebagai ketua Dewan Partai SI melihat bahwa sikap pemerintah cenderung tidak menguntungkan partainya. Maka ia kemudian mengeluarkan pernyataan politik, yang di kenal sebagai “Pedoman Politik” atau istilah lain “Memori Salim”, untuk menyelamatkan partai SI.
9-11 Mei 1935
Perpecahan di kalangan pimpinan PSII terus berlanjut, yang tercermin dalam dua kelompok yang masing-masing mempertahankan sikapnya. Pertama adalah kelompok pimpinan dalan Dewan Partai di bawah pengaruh Agus Salim, A.M. Sangaji, Moh. Rum dan Sabirin. Kedua kelompok pimpinan dalam Lajnah Tanfidziyah (LT) di bawah pengaruh Abikusno, Wondoamiseno dan S.M. Kartosuwiryo. Abikusno memperjuangkan politik non-koperasi (tidak mau bekerjasama) dengan pihak kolonial, sedangkan H. Agus Salim cenderung pada sikap untuk bekerjasama dengan kekuasaan kolonial.
Kedua kelompok yang saling bersengketa itu mengadakan suatu pertemuan bersama antara Dewan Partai dan Lajnah Tanfidziyah di Jakarta, yang memutuskan untuk menangguhkan pembahasan masalah Pedoman Politik pada kongres yang akan datang.
Sebelum kongres diselenggarakan, Abikusno dan sekretarisnya S.M. Kartosuwiryo mengundurkan diri dari Lajnah Tanfidziyah dan kemudian memimpin PSII cabang Jakarta. Kedudukannya kemudian digantikan oleh A.M. Sangaji dan Sabirin.
April-Juli 1935
PSII melakukan penyelidikan tentang keadaan perekonomian rakyat, penyelidikan itu dijalankan dengan memakai daftar-daftar pertanyaan tentang pengangguran, penghidupan, beban rakyat, kekurangan uang yang tersebar, kemiskinan, akibat kemiskinan itu bersangkut dengan keamanan umum dan kesehatan dan tentang daya-upaya untuk meringankan kesusahan.
30 Juli - 4 Agustus 1935
Segala hasil penyelidikan yang dilakukan dengan tidak keahlian ini, dibicarakan di kongres kilat PSII (Kongres al-Islam ke-10) yang diadakan di Malang. Oleh karena ternyata, bahwa keterangan-keterangan itu kebanyakan amat kurang tepat dan kurang jelas sekali, dan hanya mengenai keadaan yang umum saja, jadi sebagai penyelidikan sedikit sekali harganya, maka diambillah keputusan akan mengulangi penyelidikan itu, untuk didirikan suatu bagian baru dari partai itu.
Di kongres ini diberikan juga keterangan tentang sikap partai bersangkutan dengan soal non-koperasi, mungkin sekali sebagai reaksi terhadap aliran dalam kalangan PSII yang hendak melepaskan sikap non-koperasi.
8-12 Juli 1936
Abikusno terpilih menjadi ketua partai PSII pada kongres partai ke-22 di Batavia. Ia kemudian mengangkat S.M. Kartosuwiryo sebagai Wakil Ketua (Ketua Muda) PSII. Kartosuwiryo ditugaskan oleh kongres untuk menyusun suatu brosur tentang sikap hijrah partai PSII.
(Sikap Hijrah sebagai Garis Politik)
Pedoman Politik Salim tidak dimasukkan dalam agenda pembicaraan kongres. Wondoamiseno sebagai pimpinan kongres memberikan alasannya, bahwa tidak dibahasnya Pedoman Politik itu karena sempitnya waktu untuk mempelajari secara matang.
30 Nopember 1936
Sebagai akibat ketidak-setujuannya terhadap politik non-koperasi PSII dan politik “hijrah” S.M. Kartosuwiryo, H. Agus Salim membentuk fraksi tersendiri di dalam tubuh partai PSII di bawah pimpinan Mohammad Rum, yang bernama “Barisan Penyadar PSII” (BP-PSII. Maksud barisan ini ialah hendak “menyadarkan” PSII itu atas “kehendak-kehendak zaman” yang sudah berubah itu. Barisan Penyadar PSII ini dimaksudkan hanya bergerak dalam lingkungan PSII, yaitu mengajak supaya setiap anggota partai sadar akan hak-haknya dalam organisasi, yang selama dan sesudah kongres PSII ke-22 di langgar oleh Lajnah Tanfidziyah dan Dewan Partai. Dengan cepat aksi Barisan Penyadar ini menyebar ke cabang-cabang PSII di seluruh Indonesia. Dukungan yang sangat besar diberikan oleh cabang PSII Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, Sumatra Selatan dan Sumatra Barat.
19 Desember 1936
Aksi oposisi dari Salim melalui Barisan Penyadar ini menggoyahkan kedudukan Abikusno. Oleh karena itu pimpinan PSII mengadakan rapat bersama antara Dewan Partai dan Lajnah Tanfidziyah. Rapat menegaskan kembali bahwa “hijrah” adalah politik resmi partai dan memerintahkan kepada semua pimpinan partai untuk menyebar-luaskan politik ini. Rapat itu juga melarang cabang-cabang untuk memberi bantuan kepada Barisan Penyadar dalam mengadakan pertemuan-pertemuannya serta membahas pula kemungkinan-kemungkinan
pemecatan terhadap tokoh-tokoh Pergerakan Penyadar.
Akhir Januari 1937
Partai SI memberlakukan skorsing kepada pemimpin pusat dan daerah Barisan Penyadar.
13 Pebruari 1937
H. Agus Salim, Mohammad Rum, Sabirin, Sangaji, Muslikh dan 23 anggota fraksi Salim yang lainnya dikeluarkan dari keanggotaan PSII.
23-26 Pebruari 1937
Pemecatan-pemecatan terhadap tokoh-tokoh Barisan Penyadar, membulatkan tekad mereka untuk membentuk partai sendiri, lepas dari PSII. Oleh karena itu suatu konferensi dengan maksud ini kemudian diselenggarakan di Jakarta. Konferensi ini mengambil satu keputusan penting, yaitu membentuk partai sendiri dengan nama “Pergerakan Penyadar”.
Pertengahan April dan Mei 1937
PSII menjalankan aksi umum, bentuknya ialah cabang-cabang mengadakan rapat-rapat umum yang di pimpin oleh wakil-wakil pengurus besar. Di rapat-rapat ini dijelaskan antara lainnya, sikap partai berupa non-koperasi, dikemukakan pula keberatan tentang pajak-pajak, rodi, beban desa, sedang segala yang harus dikerjakan pada waktu melakukan nikah menurut aturan agama Islam, dibicarakan juga.
19-23 Juli 1937
Kongres PSII ke-23 di Bandung di bawah pimpinan Kartosuwiryo, di bentuk suatu komisi yang harus menyusun suatu “program aksi hijrah” (Daftar Usaha Hijrah PSII). Kongres ini mengambil beberapa mosi dan keputusan.
Mosi pertama mencela penyerahan kekuasaan majelis-majelis agama (priesterraden) tentang hukum warisan kepada Landraad (Staatsblad 1937 No. 116), sedang di samping itu dinyatakan pula, bahwa Ummat
Islam mempunyai hak yang penuh untuk menyelesaikan, mengambil keputusan dan mengatur segala hal yang semata-mata hanya mengenai pendirian-pendirian Islam. Selanjutnya diharapkan, supaya pemerintah akan mengangkat ketua dan anggota-anggota majelis priesterraad daripada orang-orang Islam yang ahli dalam agama Islam, dan juga supaya pemerintah akan mengembalikan hak mengadili hal warisan kepada majelis agama itu.
Mosi yang kedua mengenai adanya Mahkamah Islam Tinggi, PSII mencela adanya badan itu. Juga dinyatakan dalam mosi itu maksud supaya oleh tiap-tiap cabang partai didirikan sebuah Majelis Ulama yang terdiri atas wakil-wakil segala organisasi Islam, untuk memusyawarahkan, mengatur dan mengambil keputusan tentang segala sesuatu soal yang terdapat dalam hal warisan atau harta-benda keluarga. Juga dinyatakan dalamnya, bahwa PSII bersedia akan bekerja bersama-sama dengan organisasi Islam lain-lain untuk mengadakan sebuah Kongres Islam Umum, yang berusaha mendirikan sebuah pengadilan Islam.
Mosi yang ketiga menentang rancangan yang di buat oleh pemerintah tentang aturan bagi pencatatan dengan sukarela daripada perkawinan untuk mereka yang hukum perkawinannya belum ditetapkan dengan peraturan umum negeri, penentangan itu disebabkan, karena hal yang demikian itu di anggap berlawanan dengan hukum-hukum Islam. Dalam mosi itu disebutkan juga, bahwa rancangan itu mengandung arti pemerintah lebih banyak campur-tangan dalam hal siaran-siaran agama Islam (suatu hal yang di anggap tidak baik), sehingga diharapkan pemerintah tidak menetapkan rancangan itu menjadi Undang-undang. Jika hal itu terjadi juga, maka PSII mengancam akan melarang anggota melakukan pernikahan menurut Undang-undang itu.
Dengan mosi yang ke-empat, kongres itu menyatakan kekecewaannya tentang maksud akan membagi-bagi Palestina.
Diambillah pula keputusan akan mengadakan panitia, yang akan bekerja bersama-sama dengan pengurus besar Parindra, untuk mengadakan suatu kongres umum yang akan membicarakan soal majelis agama, Mahkamah Islam Tinggi dan segala peraturan yang merintangi kemajuan pergerakan rakyat dan perekonomian rakyat.
Kongres itu mengambil juga keputusan akan mencabut pemecatan atas diri anggota-anggota yang dalam tahun 1933 sudah dikeluarkan oleh PSII (dan yang sudah mendirikan Parii) dan akan memberi kesempatan kepada mereka itu masuk PSII kembali.
Agustus 1937
Di Jakarta berdiri “Persatuan Guru-guru dan Muballigh Islam”, pendiri dan pengurusnya Moh. Lawit, Amir Hamzah, Hayat Sudirjo, Kartosudarmo dan lain-lainnya. Tujuan pokok ialah pengembangan Islam secara modern dalam arti luas. Di antara pemudanya memasuki partai politik.
September 1937
Atas anjuran pemimpin-pemimpin Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama, berdirilah Majelis Islam Ala Indonesia (MIAI), di sebut orang Majelis Islam Luhur.
17 September 1937
Dr. Sukiman, Wali al-Fatah dan lain-lain yang tergabung dalam Parii, menggabungkan diri kembali dalam PSII.
30 Juli - 7 Agustus 1938
Kongres PSII ke-24 di Surabaya oleh S.M. Kartosuwiryo dijelaskan, bahwa “hijrah” yang jadi sikap partai itu haruslah jangan diartikan sama dengan non-koperasi yang diadakan oleh partai-partai lain terhadap pemerintah. Kongres itu menyerahkan jabatan ketua dari Dewan Partai kepada W. Wondoamiseno dan jabatan ketua dari Lajnah Tanfidhyah kepada Abikusno. Kartosuwiryo diserahi
pekerjaan penyelenggaraan azas hijrah itu dalam lapangan politik, ekonomi dan sebagainya.Kongres PSII di Surabaya merencanakan untuk menindak-lanjuti “program aksi hijrah”. Dalam kongres ini juga diputuskan, supaya di bawah pimpinan Kartosuwiryo didirikan suatu lembaga pendidikan kader di Malangbong dengan nama “Suffah PSII”, yang sudah akan di buka pada tanggal 20 Pebruari 1939 khususnya bagi anggota PSII yang laki-laki.
6 Desember 1938
Perdamaian yang sudah di buat dengan golongan Yogya (Dr. Sukiman), tidak lama umurnya. Sehingga akhirnya mereka mendirikan PII (Partai Islam Indonesia) di Solo dan diketuai oleh R.M. Wiwoho Purbohadijoyo (anggota Dewan Rakyat, pemimpin Jong Islamieten Bond). PII berkembang cepat di daerah karena mendapat bantuan sesama anggota GAPI, terutama dari Partai Arab Indonesia (PAI) pimpinan AR. Baswedan.
Sebelum PII itu didirikan, pengurus PSII sudah menerima surat dari Dr. Sukiman, Wali al-Fatah, K.H.M. Mansur dan lain-lain yang menerangkan, bahwa mereka itu akan masuk PSII, kalau partai ini :
1. Mau melepaskan azas “hijrah” (pengirim-pengirim surat itu berpendapat, bahwa “hijrah” tidak boleh dijadikan azas perjuangan, tetapi hanyalah taktik perjuangan).
2. Semata-mata hanya mengerjakan aksi politik (pekerjaan sosial dan ekonomi haruslah diserahkan kepada perkumpulan yang lain-lain).
3. Mau selekas-lekasnya mencabut disiplin partai yang sudah dilakukan terhadap Muhammadiyah.
4. PSII membalas surat ini dengan menolak permintaan itu, hanya disiplin partai terhadap Muhammadiyah itu mungkin akan dibicarakan lagi.
Tahun 1938
Di kalangan Islam ada tendensi untuk bersatu tanpa melihat perbedaan, yang kadang-kadang mengganggu, yaitu dengan mendirikan MIAI (Majlisul Islami A’la Indonesia), meskipun antara PSII Abikusno dan PII Wiwoho saling berebut pengaruh dalam MIAI. Berkat diplomasi Wondoamiseno, konflik intern itu dapat diselesaikan.
MIAI mengadakan Kongres al-Islam ke-11, adapun yang menjadi sebab ialah tulisan Nona Siti Sumandari tentang Islam yang dianggapnya sangat menghina agama Islam dan minta kepada pemerintah agar lekas menetapkan sikap tentang hal ini. Juga diputuskan meminta kepada pemerintah agar penyelesaian urusan waris diserahkan kembali kepada raad agama (jadi di ambil lagi dari landraad).
Mei 1939
Kongres al-Islam ke-12 berlangsung di Solo. Dalam kongres ini diulangi lagi putusan-putusan kongres yang sudah (penghinaan agama Islam dan peraturan urusan waris) dan seterusnya antara lain juga di ambil putusan :
1. Pekerjaan propaganda di daerah-daerah kolonisasi diserahkan kepada Muhammadiyah (NU yang juga memperhatikan hal ini, tidak menggabungkan diri dalam kongres ke-12 ini).
2. Meminta kepada pemerintah jangan mencabut pasal 177 Indische Staatstregeling
3. Jong Islamieten Bond diwajibkan berhubungan dengan organisasi-organisasi pemuda Islam lainnya, untuk pembentukan satu badan persatuan antara perkumpulan-perkumpulan ini semuanya.
4. Di samping sekretariat MIAI, didirikan satu departemen buat urusan luar negeri.
5 Mei 1939
Organisasi PUSA (Persatuan Ulama Seluruh Aceh) di
bentuk di Peusangan, Beureun, yang diketuai oleh Tengku Muhammad Daud Beureuh. PUSA berusaha meningkatkan syi’ar Islam, dengan meningkatkan pendidikan agar terlaksana syi’ar Islam dalam masyarakat. Dalam perjuangannya, organisasi ini bergabung dalam MIAI.
Tahun 1940
Kongres PSII ke-25 di Palembang. Pada kongres ini diputuskan untuk memecat Ketua Muda S.M. Kartosuwiryo, Yusuf Tauziri, Akis, Kamran dan Sukoso dari jabatannya. Hal ini disebabkan dia memaksakan tuntutannya agar partai melaksanakan politik hijrah secara terus-menerus. Sebab pemecatan ini ialah Kartosuwiryo dan beberapa teman-temannya sudah menyatakan bantahannya dengan cara yang di pandang tidak baik, terhadap perbuatan PSII menggabungkan diri dalam GAPI itu, mereka itu tidak setuju dengan gerakan mencapai parlemen.
Maret 1940
Terbitlah “Daftar Usaha Hijrah PSII”, yang penyusunannya ditugaskan kepada Kartosuwiryo ketika dia masih menjabat sebagai Wakil Ketua PSII.
24 April 1940
Sebagai reaksi dari pemecatan dirinya, maka S.M. Kartosuwiryo bersama-sama Yusuf Tauziri dan Kamran mendirikan Komite Pertahanan Kebenaran Partai Syarikat Islam Indonesia (KPK-PSII), yang kemudian di ubah menjadi PSII tandingan. Organisasi ini hanya berhasil di Jawa Barat.
Pada kongres pertamanya, hanya enam cabang yang hadir :
1. PSII Cirebon.
2. PSII Cibadak.
3. PSII Sukabumi.
4. PSII Pasanggarahan.
5. PSII Wanaraja.
6. PSII Malangbong.
KPK-PSII bertujuan:
1. Menjalankan politik hijrah dalam segala hal.
2. Mengadakan pendidikan kader-kader pimpinan yang ahli sebagai pembela Islam yang kokoh.
3. Mendirikan Negara Islam Indonesia.
Untuk merealisasikan tujuannya, S.M. Kartosuwiryo mengadakan rapat terbuka pertama kali di Malangbong Barat pada tanggal 24 Maret 1940. Di rapat ini diterangkan, bahwa akan dijalankan “politik hijrah” yang kokoh. Juga disiarkan keputusan akan mengadakan suatu “SUFFAH”, yaitu suatu badan untuk mendidik menjadi orang-orang pemimpin yang ahli, seperti juga di masa Nabi Muhammad didirikan sesudah hijrah itu suatu suffah, yang melahirkan pembela-pembela yang tulen untuk Islam dengan yang sempurna dan keimanan yang teguh kuat.
10 Mei 1940
Pemerintah Hindia Belanda mengumumkan bahaya perang (staat van beleg), yang mengakibatkan semua kegiatan politik di larang.
Maret 1940
S.M. Kartosuwiryo kembali ke Malangbong dan mendirikan institut “Suffah” di suatu tempat antara Malangbong dan Wado, yang di bangun di atas tanah yang luasnya kira-kira 4 hektar. Lembaga Suffah tersebut dia bentuk dalam gaya sebuah pesantren tradisional, dimana para siswanya juga bertempat tinggal disana. Maka S.M. Kartosuwiryo menjadikan “Suffah” sebagai pusat latihan kemiliteran bagi pemuda-pemuda Islam pada umumnya dan pemuda-pemuda Hizbullah-Sabilillah pada khususnya, yang berasal dari Priangan Timur. Ateng Jaelani Setiawan, seorang perwira tentara Pembela Tanah Air (PETA) menjadi pelatih utamanya. Tenaga-tenaga pengajarnya adalah ulama-ulama terpilih, antara lain: Yunus Anis (Bandung), Yusuf Taujiri (Wonorejo), Musthafa Kamil (Tasikmalaya), Abdul Qudus Ghazali
Tusi (Malangbong) dan R. Oni Qital (Tasikmalaya), Abu Suja’, Ais Kartadinata, H. Sulaeman, Umar Hamzah dan lain-lain.
“Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berperang di jalan-Nya dalam barisan yang teratur seakan-akan mereka seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh” (QS. ash-Shaff: 4)
Akhir tahun 1941
Kartosuwiryo di hukum oleh pengadilan negeri Subang dengan hukuman penjara 1 ½ bulan, karena dia di tuduh menjadi mata-mata Jepang. Dia menjalani hukuman di penjara Purwakarta.
13 Juli 1942
Untuk mengambil simpati terhadap golongan Islam agar mendukung rencana Jepang di Indonesia, maka Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) dihidupkan kembali.
Tahun 1942
Dalam zaman Jepang PSII pecah dalam 3 aliran : PSII Abikusno, PSII Kartosuwiryo (KPK-PSII) dan PSII Sukiman-Wiwoho.
7 September 1943
Bappan, seksi khusus dari bagian intelejen militer Jepang, di beri tugas membentuk PETA yang seolah-olah timbul karena inisiatif bangsa Indonesia. Cara ini sudah barang tentu untuk mengelabui bangsa Indonesia, agar menaruh simpati kepada Jepang, maka dipilihnya salah seorang pemimpin Nasionalis, Gatot Mangkupraja, untuk mengajukan permohonan pembentukan PETA atas nama bangsa Indonesia kepada Guiseikan.
13 September 1943
Sementara itu para pemimpin Islam cukup tanggap terhadap situasi peperangan di Laut Pasifik dimana angkatan perang Jepang makin terdesak. Oleh karena
itu tokoh-tokoh Masyumi yang terdiri dari KH. Mas Mansyur, KH. Mohammad Adnan, H. Abdul Karim, Amarullah, H. Cholid, KH. Abdul Majid, H. Yakub, KH. Jumaidi, H. Mohammad Sadri, H. Muchtar datang ke kantor Gunseikanbu mengajukan surat permohonan
MIAI dibubarkan oleh Jepang. Ketika Jepang menguasai Indonesia, semua partai-partai Islam dibubarkan dan terjadilah fusi mengikuti kehendak Jepang, dan terbentuklah Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia), sebagai pengganti MIAI.
Tahun 1943
S.M. Kartosuwiryo menjadi Sekretaris Majelis Baitul Mal, sebuah organisasi kesejahteraan dari MIAI (Majlis Islam Ala Indonesia) yang baru di bentuk di bawah pimpinan Wondoamiseno.
25 Pebruari 1944
Pemberontakan di desa Sukamanah, kecamatan Singaparna, Tasikmalaya di bawah pimpinan. Kiai Zainal Mustofa, yang diikuti sekitar 1.000 orang di samping murid-murid pesantrennya. Mereka merencanakan penculikan orang-orang Jepang dan mengadakan aksi sabotase terhadap bidang prasarana. Akhirnya, 800 orang dipenjarakan di Tasikmalaya dan Zainal Mustofa beserta keluarganya di tembak mati di Jakarta.
Desember 1944
Atas desakan Masyumi, Jepang memberikan dan mengizinkan pembentukan Hizbullah, yang direncanakan sebagai cadangan PETA. Hizbullah merupakan organisasi pemuda yang di dukung oleh
pihak Jepang, di samping organisasi pemuda yang lain yang juga mendapat latihan militer, seperti Keibodan (pertahanan sipil), Seinendan (barisan pemuda), yang anggotanya pemuda Islam dan bukan Islam. Sebagai tambahan, suatu pasukan polisi pembantu yang berkekuatan satu juta orang, yang di sebut Korps Kewaspadaan, juga didirikan di daerah-daerah pedesaan Jawa.
Januari 1945
Diumumkan susunan pengurus Hizbullah sebagai berikut :
Ketua : KH. Zainal Arifin
Wakil Ketua : Mohammad Rum
Pengurus Umum :
1. S. Surowiyono
2. Suyono
Urusan Propaganda :
1. Anwar Cokroaminoto
2. KH. Zarkasi
3. Masyhudi
Urusan Perencanaan :
1. Sumaryo Mangunpuspito
2. Yusuf Wibisono
3. Mohammad Junaidi
Urusan Keuangan :
1. RHO. Junaidi
2. Prawoto Mangunsasmito
28 Pebruari 1945
Sementara itu setelah para ulama berhasil merekrut para pemuda untuk berjuang melalui badan perjuangan Hizbullah, maka mereka di latih pada suatu pusat latihan yang terletak di Cibarusa, ± 28 km dari Bogor, Jawa Barat. Pusat latihan di buka oleh Abdul Kahar Muzakir dan disaksikan oleh tokoh Masyumi antara lain KH Wahid Hasyim dan Mohammad Natsir. Latihan diikuti kurang-lebih 500 orang pemuda Islam berasal dari berbagai daerah Jawa, yakni karesidenan Banten, Jakarta, Sukabumi, Priangan, Purwakarta, Cirebon, Bogor, Pekalongan,Kedu, Surakarta, Semarang, Pati, Yogyakarta, Madiun, Kediri, Bojonegoro, Malang, Surabaya, Besuki. Khusus untuk Madura diadakan latihan tersendiri. Latihan ini berlangsung selama ± 3 bulan dari tanggal 28 Pebruari hingga 15 Mei 1945. Pelatihnya berasal dari serdadu-serdadu Jepang yang di bantu sejumlah instruktur PETA dan diawasi oleh perwira Jepang yang bernama Yanagawa. Sedang di bagian rohani pengajarnya antara lain KH. Mustofa Kamil dari Jawa Barat, KH. Mawardi dan Kyai Tohir Basuki dari Surakarta, KH. Zarkasi dari Ponorogo, Kyai Mursid dari Pacitan, Kiai Sahid dari Kediri, KH. Abdul Halim dari Majalengka, Kiai Roji’un dari Jakarta.
15 Mei 1945
Latihan Hizbullah di Cibarusa di tutup secara resmi oleh KH. Wahid Hasyim dan Abdul Kahar Mudzakkir, keduanya dari Masyumi. Selanjutnya para pemuda yang telah mengikuti latihan di Cibarusa itu kembali ke daerah asalnya dan mendirikan cabang-cabang Hizbullah di daerahnya masing-masing.
14 Agustus 1945
S.M. Kartosuwiryo memproklamasikan Darul Islam di daerah yang terbatas. Namun kemudian ia menarik kembali proklamasinya sesudah mendengar pernyataan kemerdekaan oleh Sukarno dan Hatta 17 Agustus 1945.
11 Nopember 1945
Pembentukan Masyumi baru di Yogyakarta, dengan susunan Dewan Eksekutif sebagai berikut:
Ketua Umum : Hasyim Ashari
Ketua : Ki Bagus Hadikusumo
Wakil Ketua : Wahid Hasyim
Wakil Ketua I : Abikusno Cokrosuyoso
Sekretaris : S.M. Kartosuwiryo
Ketika itu juga, NU dan Muhammadiyah menggabungkan diri ke dalam partai Masyumi yang baru, maka dengan demikian partai ini praktis
mewakili semua partai-partai dan organisasi Islam yang ada pada waktu itu.
Kongres itu memutuskan bahwa Masyumi memerlukan badan perjuangan di luar kesatuan-kesatuan Hizbullah yang bersifat militer untuk mobilisasi penduduk yang beragama Islam secara umum. Kemudian diprakarsai berdirinya Sabilillah yang berpusat di Malang. Adapun pengurus pusat barisan Sabilillah di pimpin oleh KH. Masykur.
Sabilillah dan Hizbullah tidak memiliki perbedaan yang tajam dan tegas, bahkan satuan-satuan gerilya Islam di sebut Hizbullah-Sabilillah tanpa perbedaan fungsi mereka yang berlainan. Hanya saja barisan Hizbullah terdiri atas kesatuan pejuang Ummat Islam yang di koordinasi di asrama, sedangkan barisan Sabilillah tersebar di masyarakat dan dikoordinir melalui susunan organisasi di kecamatan dan kelurahan.
Nopember 1945
S.M. Kartosuwiryo bersama-sama dengan Kamran, Sanusi Partawijaya, Haji Jaenuddin, Gandawijaya dan lain-lain, masuk Markas Daerah Perjuangan Pertahanan Priangan di Bandung. Kamran dalam tempo yang tidak lama, berhasil menduduki kursi pimpinan dan ia terpilih sebagai ketuanya.
Awal tahun 1946
S.M. Kartosuwiryo bersama-sama Kamran mengunjungi Majelis Persatuan Perjuangan Priangan, yang pada waktu itu berada di Bale Endah, kira-kira 12 km dari kota Bandung arah ke kota Majalaya. Dalam kunjungannya itu, ia telah mendesak kepada Sutoko, Wakil Ketua Majelis Persatuan Perjuangan Priangan, agar memberi landasan Islam kepada pasukan-pasukan dan lasykar-lasykar yang tergabung di dalam Majelis Persatuan Perjuangan Priangan. Ternyata Sutoko tidak memberikan sambutan terhadap desakan itu.
Juni 1946
Konferensi Masyumi Daerah Priangan di Garut, dimana memilih pengurus yang baru sebagai berikut :
Ketua Umum : K.H. Muchtar
Wakil Ketua : S.M. Kartosuwiryo
Sekretaris : Sanusi Partawijaya
Dalam kesempatan itu, Kartosuwiryo mengucapkan sebuah pidato tentang “Haluan Politik Islam”.
Tahun 1946
S.M. Kartosuwiryo telah merencanakan untuk menyerbu Markas Divisi Siliwangi, yang pada waktu itu berada di kota Malangbong. Sehingga oleh Panglima Divisi Siliwangi pada waktu itu, Jenderal Mayor A.H. Nasution terpaksa memerintahkan menangkap S.M. Kartosuwiryo. Sepuluh hari kemudian mereka itu dilepaskan kembali.
April 1947
R. Oni menjadi ketua Sabilillah Daerah Priangan.
7-10 FEBRUARI 1948
Masyumi Priangan melangsungkan musyawarah Ummat Islam di Pangwedusan (Priangan) dengan menghasilkan ketetapan:
1. Ummat Islam di Jawa sebelah Barat telah membulatkan tekad untuk terus melanjutkan perjuangan kemerdekaan Indonesia mengusir Belanda Penjajah berdasarkan Islam.
2. Membubarkan Masyumi di Jawa Barat dengan alasan:
a) Masyumi adalah partai yang berdiri dibawah naungan RI yang mau -tidak mau dalam segala sesuatunya harus mengikuti kedudukan RI.
b) Dengan adanya naskah Renvile, maka RI tidak punya alasan lagi untuk mengadakan hubungan dengan Jawa Barat, karena Jawa Barat telah diserahkan oleh RI kepada pihak Belanda.
3. Membentuk Majelis Islam (MI) sebagai lembaga perjuangan.
4. Mengangkat Sekarmadji Marijan Kartosoewirjo (SMK) sebagai Imam Islam yang memimpin Majelis Islam tersebut.
5. Sebagai alat perjuangan MI maka, dbentuklah Tentara Islam Indonesia (TII) dan Pahlawan Darul Islam (PADI) yang terdiri daripada bekas kelengkapan Masyumi, Hizbullah, dan Sabilillah.
Tim Verifikasi Pengangkatan Imam:
1. Putra K.H. Zaenal Mustofa
2. K.H. Mustofa Kamil
3. Mualim Aut
Daftar Calon Imam:
1. K.H. Yusuf Taujiri (Garut)
2. K.H. Sanusi (Gunung Puyuh-Sukabumi)
3. K.H. Abdul Halim (Majalengka)
4. K.H. Sobari
5. Sekarmaji Marijan Kartosuwiryo
Hasil; Imam dan Anggota Dewan Imamah
1. Sekarmaji Marijan Kartosuwiryo: IMAM
merangkap Kuasa Usaha (Menlu)
2. Kamran: Wakil Imam merangkap Menhan
3. Sanusi P.: Mensesneg merangkap Mendagri
4. K.H. Gojali Tusi: Menkeh
5. Toha Arsyad: Menpen
6. Udin Kartasasmita: Menkeu
7. Anwar Cokroaminoto: Wakil NII di RI
8. Abikusno: Wakil NII di Yogya
Agendanya:
1. Mendidik rakyat agar cocok menjadi WNII.
2. Memberikan pemnjelasan kepada rakyat bahwa Islam tidak bisa dimenangkan melalui feblisit (suara terbanyak).
3. Membangun daerah-daerah basis.
4. Memproklamasikan NII.
5. Membangun NII sehingga kokoh kedalam dan
keluar. Dalam arti didalam negeri bias melaksanakan Syariat Islam seluas-luasnya dan sesempurna-sempurnanya. Sedang keluar sanggup berdiri sejajar dengan negara-negara lain.
6. Membantu perjuangan Muslim di negara lain sehingga cepat bisa melaksanakan wajib sucinya.
7. Bersama-sama negara Islam membentuk Dewan Imamah Dunia untuk mengangkat Khalifah Dunia.
17 Februari 1948
(Hari Bersenjata TII)
DI-TII angkat senjata di gunung Cupu
2 Meret 1948
Konfresi Ummat Islam di Cipeundeuy-Cirebon dihadiri oleh wakil-wakil, didalam keputusan Musyawarah tersebut secara aklamasi menerima keputusan musyawarah Priangan Timur Pangwedusan).
25 Agustus 1948
Maklumat Imam No. I, tentang:
Pertahanan Rakyat
27 Agustus 1948
Dibentuknya Qanun Asasi NII
Muqadimah, 16 BAB 34 Pasal dan masa peralihan
28 Oktober 1948
Maklumat Imam No. 2, tentang:
Perubahan susunan DI
Pengangkatan Wakil Resmi NII di RII
2 November 1948
Maklumat Imam No. 3, tentang:
Pertahanan Rakyat dan Mobilisasi
10 Desember 1948
Maklumat Imam No. 4, tentang:
Hubungan Internasional
Perubahan kembali susunan Dewan Imamah
20 Desember 1948
Maklumat Imam No. 5, tentang:
Peryataan Perang DI-TII terhadap Belanda
21 Desember 1948
Maklumat Imam No. 6, tentang:
Peryataan Sikap; mendirikan NKA-NII sebagai kelanjutan perjuangan kemerdekaan 17-08-1945 dan wakil mutlak NII di RI
23 Desember 1948
Maklumat Imam No. 7, tentang:
Peryataan NII
1. NII dalam keadaan Perang
2. Hukum-hukum Perang
3. Dewan Imamah diganti menjadi K.T.
4. Pengesahan Pimpinan NII dan Pimpinan Majelis di tiap-tiap Daerah
25 Januari 1949
Maklumat Militer No. I, hal:
Tentara Liar dan Gerombolan
31 Maret 1949
Maklumat Militer No. 2, hal:
Bendera Negara, Bendera Tentara, Bendera Negara dan Tentara di masa Perang
7 Agustus 1949 (12 Syawal 1369)
Proklamasi Negara Karunia Allah-Negara Islam Indonesia di Jawa Barat (NKA-NII)
“PROKLAMASI BERDIRINYA NEGARA ISLAM INDONESIA“
Bismillahirrahmanirrahim
Asyhadu anla ilaha illallah wa asyhadu anna Muhammadar Rasulullah
Kami Ummat Islam Indonesia
Menyatakan Berdirinya Negara Islam Indonesia
Maka Hukum yang berlaku atas Negara Islam Indonesia ialah Hukum Islam
ALLAHU AKBAR ! ALLAHU AKBAR ! ALLAHU AKBAR !
Atas Nama Ummat Islam Bangsa Indonesia:
Imam NII
Sekarmadji Marijan Kartosoewiryo
Madinah-Indonesia
12 Syawal 1368 H/7 Agustus 1949 M
20 Agustus 1949
MP No. 1, hal:
Penjelasan Proklamasi
1949
STAAT REGHT
4 Tuntunan, 10 Bab, 30 Pasal
3 Oktober 1949
MKT. No. 1, hal:
Menetapkan Bentuk Komandemen:
1. Dewan Imamah menjadi Komandemen Tertinggi
2. PADI dan unsur-unsur lain menjadi TII
3. BKN dan unsur-unsur lain menjadi PII
10 Oktober 1949
MP No. 2, hal:
1. Bawalah UIBI ke Mardhotillah
2. Melepaskan diri dari keyakinan & kekuasaan penjajah
12 Oktober 1949
MKT. No. 2, hal:
Kewajiban Angkatan Senjata, memutuskan; dibangun suatu organisasi rakyat dengan nama dalam bentuk BARIS
14 Oktober 1949
MKT. No. 3, hal:
Hubungan Internasional dan Inter Insuler dibawah keputusan KT-APNII
15 Oktober 1949
MKT. No. 4, hal:
Peleburan Tentara dan ketentaraan diluar TII
31 Desember 1949
MP. No. 3, hal:
Kalam akhir GOOD WILL
1 Januari 1950
MKT. No. 5, hal:
Larangan atas organisasi, partai, perhimpunan, perkumpulan gerakan lainnya dengan sifat, corak, bentuk dan dasar yang manapun juga. Diluar organisasi Negara atau organisasi yang dibentuk disahkan oleh pemerintah.
7 September 1950
SP. No. 4, hal:
Semboyan; “Bawalah UIBI kearah Mardhatillah kalau perlu dengan dipaksa”
Pedoman tiada wajib dan yang maha suci melainkan hanyalah wajib dan tugas menggalang NKA-NII
Tinjauan kedepan
Oleh: KT-APNII
10 September 1950
MKT. No. 6, hal:
Pembaharuan Bai’at diwajibkan kepada:
a. Seluruh tentara mulai Komandan
b. Semua pemimpin-pemimpin Negara dalam segala tingkatan
c. Anggota-anggota kader
17 Oktober 1950
Ketetapan KT. No. I, hal:
Administrasi Keuangan Negara
7 Februari 1951
MKT. No. 7, hal:
Peringatan HUT ke-3 (APNII), ummat Islam Bangsa Indonesia-Angkatan Senjata
7 Agustus 1952
Manifesto Politik NII No. 5 oleh KUKT-APNII
Nota Rahasia I dan II
Nasihat Pemerintahan NII
12 Oktober 1952
MKT. No. 8, hal:
Memperhebat dan Mempercepat persiapan perang Totaliter.
Penyempurnaan Bentuk Komandemen
Lampiran MKT. No. 8
Penjelasan & Catatan: 5, 6-7 (Pedoman Gerilya)
17 Oktober 1952
MKT. No. 9, hal:
Pemberian Pangkat dan pemakaian Tanda Pangkat
21 Oktober 1952
MKT. No. 10, hal:
Konsolidasi Militer dan Alat Negara lainnya
Lampiran 5 MKT. No. 10
PPT. Kedudukan TII
a. Sebagai Tentara Allah
b. Sebagai Tentara Ideologi
c. Sebagai Tentara Islam
d. Sebagai Tentara Rakyat
PPT. III, Sapta Subaya
3 September 1953
S.P. No. 6, hal:
Pemakluman Perang RIK terhadap NKA-NII oleh KUKT Idarul Huda
5 Oktober 1953
S.P. No. 7, hal:
Masalah Aceh
5.B: 1 sampai 5
Penjelasan Struktur KUKT, diangkat dari AKT
19 November 1953
S.P. No. 8, hal:
Pilih NKA-NII atau Pancasila oleh KUKT I. Huda
21 Desember 1953
Statement KT-APNII No. 9, tentang;
Perkara Schmit dan Jungler oleh Jaya Sakti
7 September 1956
Statement KT-APNII No. 10, tentang;
Bukti kebenaran NII dan bukti kepalsuan, kecurangan serta kehianatan RI 1950.
Pancasila Komunis oleh AKT/Wk. KSU APNII, Jaya Sakti.
7 Agustus 1959
MKT. No. 11, hal:
Pembentukan Komando Perang dan Penyempurnaan Stel-sel Komandemen
Memutuskan:
A. Pembagian Indonesia dan 7 daerah perang atau Sapta Palagan
B. Susunan Komando Perang
1. KPSI dipimpin oleh Imam-Plm. T. APNII. Jika karena satu atau lain hal ditunjuk dan diangkatlah seorang Panglima perang, selaku penggantinya, dengan purbawiesesa penuh. Calon pengganti Panglima Perang Pusat ini diambil dari dan diantara anggota-anggota KT, termasuk didalamnya KSU dan KUKT, atau dari dan diantaranya para Panglima Perang, yang kedudukannya dianggap setaraf dengan kedudukan anggota-anggotanya KT.
Penjelasan MKT. 11, No. 4: Pemberi Komando dan Pelaksana Komando.
Pada umumnya segala saluran kenegaraan, dalam bidang-bidang Militer maupun dalam lapangan politik, juga selama masa perang ini, berjalan terus melalui system Komandemen, seperti yang tetap berlaku hingga saat ini. Tetapi di saat-saat genting-runcing, dimana Imam Plm. T. mengeluarkan Komando Umum, maka disaat itu kita hanya akan mengenai 2 (dua) tingkatan Pimpinan Peran, Pimpinan Negara dan Pimpinan Jamaah Mujahidin, Peimpinan Ummat berjuang, yakni:
A. Tingkatan Pimpinan Perang pertama selaku pemberi Komando, ialah: (1) Imam-Plm. T., (2) Plm. Per. KPWB, (3) Plm. Per. KPW, dan (4) Kmd. Pertempuran Kompas, dan
B. Tingkatan Pimpinan Perang kedua selaku pelaksana Komando, terdiri daripada (5) Komandan Pertempuran Sub-Kompas, (6) Komandan Pertempuran Sektor (7) Komandan Pertempuran Sub-Sektor, Komandan Lapangan hingga Komandan-Komandan Baris, pelaksanaan akan meliputi lapisan-lapisan rakyat jelata seluruhnya, tanpa kecuali.
1 September 1959
MKT. No. 12, hal:
Kedudukan General-staf Komandemen
22 September 1959
MKT. No. 13, hal:
Penyempurnaan Pemberiaan Pangkat dan Pemakaian Tanda Pangkat
Juni 1961
MKT No. 14 memiliki status hukum sebagai peraturan pemerintah penganti undang-undang, Sesuai bunyi Qanun Asasi NII Bab 3 pasal 9 Ayat 1.
Plm. T. S.M. Kartosuwiryo mengadakan musyawarah di ‘Mabes’, sekitar Garut, dengan dihadiri oleh:
1. Imam SMK sebagai Pimpinan Sidang
2. Kepala Majelis Keuangan AKT; Jaja Sujadi,
Umar Saiid sebagai Wakil Pemerintah
3. KPWB; Agus Abdullah sebagai Wakil APNII
4. KD; Abu Bakar Misbah sebagai Wakil Dewan Fatwa-Bid. Hukum
5. Tahmid RB sebagai Penulis
6. Kom. Bataliyon Jaga Mabes; Aceng Kurnia sebagai Anggota
7. Kom. Bataliyon-Kom. Wil. setempat; Esja sebagai Anggota
8. Sek-Pri Imam; Pak Jamhur sebagai Anggota
9. Pengawal Pribadi Imam; Pak Ajum
Keputusan Musyawarah merubah ‘Jihad Fisabilillah’ menjadi ‘Jihad Fillah’.
Imam mengeluarkan maklumat perintah “JIHAD FILLAH” dan perintah penyelamatan Dhohir dan Batin Mujahiddin dan Umat Islam
24 April 1962
Statement KT-APNII No. 11: Perintah Imam yang terakhir;
Memerintahkan penghentian tembak-menembak (Qanun Asasi Bab. IV Ps. 17).
4 Juni 1962
Imam S.M. Kartosuwiryo tertawan
TIGA MAZHAB POLITIK DAN IDEOLOGI DASAR INDONESIA
=================================================
MAZHAB POLITIK DI INDONESIA
GURU BANGSA: HOS. COKROAMINOTO
PUTERA BANGSA MAZHAB POLITIK IDEOLOGI PARTAI
SOEKARNO Nasionalis Pancasila PNI,murba,DII
SM.karto suwiryo Islam Islam masyumi,PSII,PSII-putih
Semaun Sosialis-Komunis Komunis PKI,PSI-Merah
(PERKEMBANGAN) MAZHAB POLITIK DI DALAM INDONESIA
Partai fusi Mazhab politik Komitmen dasar pijakan ideologi istilah
PDI Nasionalis, semua aga- budaya bangsa musrik, orang-orang yg
Kebangsaan ma benar politheis dpt murka ALLAH
PPP Dienul islam hanya islam al-qur'an & mu'min, orang-orang yg
yang benar as-sunnah monotheis dpt nikmat ALLAH
PRD sosialis, Semua aga- akal dan kafir,
demokrasi, ma buruk suara ter- atheis orang-orang sesat
kerakyatan banyak
Catatan:
Semenjak reformasi, ideologi & istilah mulai dikaburkan dengan tidak malu-malu dan merasa munafik sejumlah kelompok mengklaim diri atas nama ISLAM, padahal mazhabnya saja kebangsaan atau nasionalis bahkan ideologinya pun PANCASILA, MARXIS-KOMUNIS, SOSIALIS atau NASIONALIS SEKULER.
Partai-partai dan berbagai bentuk organisasi bermetamorfosis memainkan peran asalinya.