DI tengah rerimbunan hutan jati yang lebat, lanskap taman sari dibangun di atas lahan seluas 1,5 hektar. Bentuk bangunannya sekilas tampak t...
DI tengah rerimbunan hutan jati yang lebat, lanskap taman sari dibangun di atas lahan seluas 1,5 hektar. Bentuk bangunannya sekilas tampak tidak beraturan, penuh dengan tonjolan karang tajam dan berongga.
Lebih dari 500 tahun lalu, Pangeran Emas Zaenul Arifin atau Panembahan Ratu I yang berkuasa di Cirebon membangun kawasan taman sari itu. Penerus Sunan Gunung Jati itu memilih lokasi taman di atas Danau Segara Jati di tengah hutan. Jaraknya hanya sekitar 2 kilometer dari Keraton Kasepuhan.
Ia membangun banyak ruangan yang berbentuk menyerupai ceruk lebar atau lorong-lorong di dalam tanah. Oleh karena bentuk ruangannya yang seperti goa, masyarakat Cirebon sering menyebut bangunan taman sari itu dengan nama Goa Sunyaragi. Padahal, secara keseluruhan, menurut juru pelihara kawasan itu, Mulyana Yusuf (32), Goa Sunyaragi merupakan taman air atau taman sari.
”Hampir seluruh bangunan dikelilingi air. Air juga mengalir dari atap-atap bangunan sehingga membentuk seperti tirai dan mengalir juga ke dalam ruangan,” ungkapnya.
Tentu apa yang diceritakan Mulyana ini hanyalah gambaran masa lalu. Kenyataannya, taman yang dulu dipenuhi suara gemercik air sehingga mampu memunculkan perasaan tenang itu kini kering kerontang. Hanya tersisa parit-parit dan kolam dalam di sekeliling bangunan. Perubahan kawasan dari hutan menjadi kota membuat sumber-sumber mata air di hutan jati berangsur hilang.
Pada siang menjelang sore yang panas, akhir pekan lalu, kami ditemani Mulyana menjelajahi bekas hutan jati dan danau yang dulu menjadi lanskap Goa Sunyaragi. Kami pun penasaran untuk menjelajahi setiap sudut bangunan taman sari itu.
Dari halaman parkir, bangunan taman sari tidak tampak karena tertutup tembok karang. Rupanya tembok itu bagian dari deretan bangku yang dibangun menghadap ke panggung besar yang setiap bagian dekorasinya juga tertutup batu karang.
”Kami setiap tahun menggelar pentas seni besar-besaran di sini. Panggung ini bangunan baru, bukan benda cagar budaya,” ujar Mulyana. Berbagai bentuk seni tradisi dipentaskan di panggung itu, seperti sintren, tari topeng kelana, berokan, dan tayuban.
Untuk sampai ke Goa Sunyaragi tidaklah sulit. Anda hanya perlu berkendaraan sejauh 5 kilometer dari pusat kota Cirebon. Lokasi taman sari itu berada persis di pinggir jalan bypass Dharsono, jalur utama yang menghubungkan Cirebon dengan Bandung-Jakarta.
Berubah fungsi
Begitu masuk melalui gerbang utama, pandangan kami menyergap satu bangunan yang tampak lain dari Goa Sunyaragi. Bangunan di bagian depan ini berbentuk normal seperti bangunan pada umumnya, yaitu tembok licin dicat dengan tiang-tiang besar gaya Eropa.
Ini adalah gedung Pesanggrahan, benda cagar budaya paling muda di dalam area tersebut. Gedung bercat hijau ini menghadap ke timur, berbeda dengan bangunan batu karang yang membentang dari utara ke selatan.
Mulyana menuturkan, gedung Pesanggrahan baru dibangun pada 1884 setelah Cirebon dikuasai Belanda. Bangunan ini dipakai keluarga kerajaan setelah taman sari tidak layak lagi digunakan.
Berdasarkan catatan sejarah, Sunyaragi tidak dibangun sekali, tetapi bertahap. Setelah Panembahan Ratu, pembangunan Sunyaragi dilanjutkan pada 1703 oleh penerusnya, yaitu Pangeran Arya Carbon Kararangen, dan diteruskan lagi oleh Sultan Sepuh V Pangeran Syaifiudin atau dikenal sebagai Pangeran Matanghaji.
Sisi lain pemandangan taman sari Goa Sunyaragi, di Cirebon, Jawa Barat, beberapa waktu lalu. Tampak bangunan batu bata dengan dekorasi batu karang.(KOMPAS/LUSIANA INDRIASARI)Namun, menurut buku Purwaka Carabuna Nagari karya Pangeran Arya Carbon Kararangen, taman sari Sunyaragi dibangun hanya satu periode, yaitu pada masa dia berkuasa. ”Ini semacam hegemoni kekuasaan,” ungkap Mulyana.
Awalnya, taman itu ditujukan sebagai tempat peristirahatan raja dan keluarganya yang merupakan keturunan Sunan Gunung Jati. Namun, secara berangsur, seiring dengan perubahan situasi sosial politik pada masa itu, taman sari pun berubah fungsi.
Taman peristirahatan itu kemudian dimanfaatkan sebagai tempat menempa batin anak-anak raja dan tempat para prajurit berlatih olah kanuragan. Tempat itu juga menjadi lokasi pertemuan rahasia antara Raja Cirebon dan kerajaan di sekitarnya, seperti Demak, Banten, dan Mataram, pada masa penjajahan Belanda. Tidak mengherankan jika kompleks bangunan ini pernah dibom Belanda.
Ada 12 goa utama di dalam kompleks taman sari itu. Mulyana menyebutkan, Panembahan Ratu membangun enam ruangan, yaitu Goa Pengawal, Goa Pawon, Goa Lawa, kompleks Goa Peteng, Goa Padang Ati, dan Goa Kalenggengan.
Kompleks Goa Peteng ini paling besar dan berfungsi sebagai tempat meditasi sang raja. Goa-goa lain berfungsi sebagai bangunan penunjang keperluan raja dan keluarganya, seperti untuk menggembleng fisik keluarga kerajaan dan prajurit.
Tidak jauh dari sana ada satu bangunan yang disebut Bale Kambang yang dibangun penerus Panembahan Ratu. Sesuai namanya, bangunan itu dulu mengambang di atas danau dan berfungsi untuk menghubungkan satu goa dengan goa lain jika raja ingin berpindah tempat.
Bale Kambang kini ditopang oleh fondasi karena danau sudah kering. Berhati-hatilah jika ingin masuk ke Bale Kambang karena Anda harus meniti gelagar yang membentang di atas bekas kolam kering dengan kedalaman hampir 4 meter.
Di depan kompleks Goa Peteng terdapat batu kapur dengan ujung licin dan tumpul. Sekilas bentuknya mirip lingga di candi-candi. Namun, pihak keraton menyebutnya sebagai Batu Perawan Sunti. Ada mitos bahwa perempuan yang belum menikah tidak boleh memegang batu tersebut karena akan jauh dari jodoh.
Tidak kalah unik adalah Goa Pengawal. Ruangan untuk para pengawal berjaga dan beristirahat ini dari luar hanya tampak berupa celah sempit yang cukup dimasuki satu orang. Celah itu berada di gundukan tanah dengan tinggi lebih dari 2 meter.
Rupanya gundukan itu merupakan tempat para pengawal bersembunyi dan istirahat. ”Ini untuk mengelabui musuh. Dari luar, mata-mata musuh hanya melihat ada beberapa pengawal. Begitu masuk, ternyata banyak pengawal di sana,” ujar Mulyana. Ada beberapa gundukan tanah di area itu.
Bangunan di tengah hutan jati yang berjarak hanya 2 kilometer di sebelah barat Keraton Kasepuhan itu memiliki lorong-lorong untuk melarikan diri jika ada serangan musuh. Danau yang mengelilingi bangunan itu juga berfungsi mempersulit musuh yang ingin masuk ke tempat peristirahatan raja.
Namun, Goa Sunyaragi kini tidak lagi sunyi. Ketenangan itu beralih menjadi deretan permukiman dan jalan besar yang mengepung kompleks situs bersejarah tersebut. Belum lagi keriuhan dari atraksi lumba-lumba yang sering digelar di area luar yang berdekatan dengan kompleks situs. (Lusiana Indriasari)