Wangi kemenyan menguar dengan tajam, berpadu dengan aroma sesaji yang diletakkan di tengah Alas Krendhowahono. Usai mendaraskan doa, para ab...
Wangi kemenyan menguar dengan tajam, berpadu dengan aroma sesaji yang diletakkan di tengah Alas Krendhowahono. Usai mendaraskan doa, para abdi dalem lantas mengubur kepala kerbau lengkap dengan kaki dan jeroannya. Upacara Wilujengan Nagari Mahesa Lawung pun ditutup dengan kenduri bersama.
Terik matahari siang itu seketika nyaris sirna ketika kaki melangkah memasuki sebuah hutan di sisi utara Kota Bengawan. Sekilas tak ubahnya seperti hutan-hutan di kaki pegunungan pada umumnya. Namun semakin jauh masuk ke dalam, aura magis khas kejawen kian terasa kental. Tak lama berselang aroma asap kemenyan mulai merasuk hidung. Suasana hutan yang awalnya sejuk seketika berubah menjadi beraura sakral dan mistis. Maklum saja, di alas ini tengah digelar sebuah hajat dhalem dari Keraton Kasunan Surakarta Hadiningrat.Abdi dalem Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat mengikuti prosesi Upacara Adat Mahesa Lawung di Alas Krendhowahono, Gondangrejo, Karanganyar, Jawa Tengah. (Reza Fitriyanto/Maioloo.com)
Siang itu, di Alas Krendhowahono yang terletak di Kecamatan Gondangrejo, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah, sedang dilangsungkan upacara adat Mahesa Lawung. Menurut ceritanya, tradisi yang bertujuan untuk menyelaraskan alam dan nasib manusia ini telah ada sejak Wangsa Syailendra dan Sanjaya. Hal ini berdasarkan pada keberadaan arca Durga Mahesa Suramandini. Lantas prosesi ini terus dijalani secara turun – temurun tanpa henti hingga kini.
Upacara Mahesa Lawung dilaksanakan setiap tahun pada hari ke – 40 setelah acara Grebeg Maulud. Ritual yang menjadi puncak dari upacara Mahesa Lawung adalah mengubur potongan kepala dan kaki kerbau, lengkap dengan jeroannya di Hutan Krendowahono. Hutan tersebut dipilih sebagai tempat berlangsungnya upacara karena dipercayai merupakan tempat bersemayamnya Batari Kalayuwati yang menjadi pelindung gaib Keraton Solo di sisi utara.
Prosesi Wilujengan Nagari Mahesa Lawung
Ratusan abdi dalem dan para sentono dalem nampak kompak. Busananya nyaris seragam. Atasan beskap, kain jarik coklat sebagai bawahan, blangkon di kepala, berkalung samir kuning keemasan, lengkap dengan keris di belakang pinggang. Jika sentono memakai beskap putih, maka para abdi dalem mengenakan beskap hitam. Semuanya tidak ada yang mengenakan alas kaki. Hal ini sebagai bentuk penghormatan terhadap tanah sakral ini.
Abdi dalem Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat memanjatkan doa saat Upacara Adat Mahesa Lawung di Alas Krendhowahono, Gondangrejo, Karanganyar, Jawa Tengah. (Reza Fitriyanto/Maioloo.com)
Sebelum tiba di Alas Krendhowahono, prosesi Mahesa Lawung diawali dari keraton. Pada mulanya semua sesaji berupa makanan, hasil bumi, serta kepala kerbau telah dipersiapkan di dapur keraton Gondorasan. Dari dapur sesaji tersebut dibawa ke Sasana Maliki, lantas didoakan di Sitinggil, kemudian dibawa ke lokasi dengan berjalan kaki.
Sesampainya di hutan semua abdi dalem duduk bersila dan membaur menjadi satu. Secara silih berganti para sentono dalem atau kerabat keraton naik ke sebuah pepunden batu yang dipercaya sebagai tempat bersemayamnya Bathara Durga untuk memanjatkan doa. Kedua telapak tangannya saling menempel, diangkat hingga sejajar dengan wajah. Mulutnya komat-kamit merapal doa. Di depannya berjajar aneka sesaji, mulai dari kembang tujuh rupa, ayam ingkung, kelapa muda, jajanan pasar, dan yang paling utama adalah potongan kepala kerbau.
Potongan kepala kerbau menjadi inti dalam Upacara Mahesa Lawung ini. Tak sembarang kerbau bisa dijadikan sebagai sesajen utama dalam ritual sakral ini. Si kerbau haruslah seekor kerbau jantan yang belum pernah dipekerjakan dan belum pernah kawin. Kerbau bujang ini dalam bahasa jawa diistilahkan dengan sebutan Joko Umbaran. Sesuai dengan arti secara harafiahnya, mahesa yang berarti kerbau dan lawung yang berarti jantan. Usai acara doa selesai, kepala kerbau lantas dikubur di area tak jauh dari pepunden. Acara lantas ditutup dengan menikmati makanan bersama-sama.
Sebelum tiba di Alas Krendhowahono, prosesi Mahesa Lawung diawali dari keraton. Pada mulanya semua sesaji berupa makanan, hasil bumi, serta kepala kerbau telah dipersiapkan di dapur keraton Gondorasan. Dari dapur sesaji tersebut dibawa ke Sasana Maliki, lantas didoakan di Sitinggil, kemudian dibawa ke lokasi dengan berjalan kaki.
Sesampainya di hutan semua abdi dalem duduk bersila dan membaur menjadi satu. Secara silih berganti para sentono dalem atau kerabat keraton naik ke sebuah pepunden batu yang dipercaya sebagai tempat bersemayamnya Bathara Durga untuk memanjatkan doa. Kedua telapak tangannya saling menempel, diangkat hingga sejajar dengan wajah. Mulutnya komat-kamit merapal doa. Di depannya berjajar aneka sesaji, mulai dari kembang tujuh rupa, ayam ingkung, kelapa muda, jajanan pasar, dan yang paling utama adalah potongan kepala kerbau.
Potongan kepala kerbau menjadi inti dalam Upacara Mahesa Lawung ini. Tak sembarang kerbau bisa dijadikan sebagai sesajen utama dalam ritual sakral ini. Si kerbau haruslah seekor kerbau jantan yang belum pernah dipekerjakan dan belum pernah kawin. Kerbau bujang ini dalam bahasa jawa diistilahkan dengan sebutan Joko Umbaran. Sesuai dengan arti secara harafiahnya, mahesa yang berarti kerbau dan lawung yang berarti jantan. Usai acara doa selesai, kepala kerbau lantas dikubur di area tak jauh dari pepunden. Acara lantas ditutup dengan menikmati makanan bersama-sama.
Abdi Dhalem Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat menggotong ndas kebo yang akan ditanam pada Upacara Adat Mahesa Lawung di Alas Krendhowahono, Gondangrejo, Karanganyar, Jawa Tengah. (Reza Fitriyanto/Maioloo.com)
Pemilihan kepala kerbau sebagai inti dari acara ini tentu bukan tanpa alasan. Kerbau adalah simbol kebodohan. Seperti pepatah jawa kuno yang berbunyi “bodo longa-longo koyo kebo” yang berarti orang bodoh plonga-plongo seperti kerbau. Dengan mengubur kepala kerbau, secara filosofis menggambarkan upaya untuk memberantas kebodohan dalam kehidupan. Tak hanya kepalanya saja, kaki dan jeroannya pun ikut dikubur.
Selain sebagai simbol pembuang kebodohan, Upacara Mahesa Lawung juga digelar untuk memperingati perpindahan Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat dari wilayah Kartasura di Sukoharjo menuju ke Desa Sala yang sekarang berkembang menjadi Kota Solo. Dikisahkan bahwa di Alas Krendhowahono inilah tempat yang biasa digunakan raja-raja Mataram zaman dahulu untuk menyepi dan bersemadi guna mendapatkan wangsit atau petunjuk. Oleh sebab itu, wajar saja bila hawa magis di hutan ini terasa begitu kental saat pertama memasukinya.
Dalam kesempatan ini, para abdi dan sentono dalem tak menyia-nyiakan kesempatan untuk memanjatkan doa di hadapan pepunden. Mereka melantunkan doa memohon keselamatan kepada Tuhan Yang Maha Esa serta dijauhkan dari segala bencana dan marabahaya. Pepunden yang berada di bawah sebuah pohon grasak berusia ratusan tahun tersebut dipercaya para penganut kejawen sebagai tempat yang mujarab untuk memohon perlindungan dan keselamatan.
Pemilihan kepala kerbau sebagai inti dari acara ini tentu bukan tanpa alasan. Kerbau adalah simbol kebodohan. Seperti pepatah jawa kuno yang berbunyi “bodo longa-longo koyo kebo” yang berarti orang bodoh plonga-plongo seperti kerbau. Dengan mengubur kepala kerbau, secara filosofis menggambarkan upaya untuk memberantas kebodohan dalam kehidupan. Tak hanya kepalanya saja, kaki dan jeroannya pun ikut dikubur.
Selain sebagai simbol pembuang kebodohan, Upacara Mahesa Lawung juga digelar untuk memperingati perpindahan Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat dari wilayah Kartasura di Sukoharjo menuju ke Desa Sala yang sekarang berkembang menjadi Kota Solo. Dikisahkan bahwa di Alas Krendhowahono inilah tempat yang biasa digunakan raja-raja Mataram zaman dahulu untuk menyepi dan bersemadi guna mendapatkan wangsit atau petunjuk. Oleh sebab itu, wajar saja bila hawa magis di hutan ini terasa begitu kental saat pertama memasukinya.
Dalam kesempatan ini, para abdi dan sentono dalem tak menyia-nyiakan kesempatan untuk memanjatkan doa di hadapan pepunden. Mereka melantunkan doa memohon keselamatan kepada Tuhan Yang Maha Esa serta dijauhkan dari segala bencana dan marabahaya. Pepunden yang berada di bawah sebuah pohon grasak berusia ratusan tahun tersebut dipercaya para penganut kejawen sebagai tempat yang mujarab untuk memohon perlindungan dan keselamatan.
Abdi Dhalem Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat mengubur ‘ndas kebo’ atau kepala kerbau pada Upacara Adat Mahesa Lawung di Alas Krendhowahono, Gondangrejo, Karanganyar, Jawa Tengah. (Reza Fitriyanto/Maioloo.com)
Upacara Mahesa Lawung tak hanya menjadi simbol memberantas kebodohan, namun juga simbol pemberantasan sifat-sifat buruk yang ada dalam diri manusia. Kerbau tak hanya digambarkan sebagai hewan yang bodoh, tetapi juga hewan yang malas dan selalu bersikap acuh tak acuh terhadap sekelilingnya. Diharapkan dengan mengorbankan kepala kerbau yang mewakili sifat-sifat buruk dalam diri manusia tersebut tercipta keseimbangan alam dengan kehidupan manusia.
Upacara Mahesa Lawung tak hanya menjadi simbol memberantas kebodohan, namun juga simbol pemberantasan sifat-sifat buruk yang ada dalam diri manusia. Kerbau tak hanya digambarkan sebagai hewan yang bodoh, tetapi juga hewan yang malas dan selalu bersikap acuh tak acuh terhadap sekelilingnya. Diharapkan dengan mengorbankan kepala kerbau yang mewakili sifat-sifat buruk dalam diri manusia tersebut tercipta keseimbangan alam dengan kehidupan manusia.